Aku bangun penuh gemuruh rasa tidak enak hati yang menyelimuti. Sungguh perasaan tak enak membuncah memenuhi dada. Semoga tidak ada apa-apa, pikirku. Tapi rasanya bangun kali ini berbeda, aku tak merasakan apa-apa di perut. Ringan sekali. Seperti tidak hamil. Pikiranku sudah kemana-mana tapi aku masih berusaha untuk berpikiran positif, Azka sehat.
Hari ini aku masih bekerja seperti biasa. Walaupun ada sedikit rasa ngga enak tapi kupaksakan. Toh nanti sore aku ke dokter kandungan. Selain memang jadwal kontrol bulanan, sekalian memastikan kenapa malaikat kecilku tak jua bergerak.
Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa. Tak ada keluhan layaknya keluhan orang hamil. Hanya perutku tak berasa apa-apa. Hari itu aku masih sempat menyelesaikan tugasku untuk mengejar Menkumham yang baru, Yasona H Laoly yang katanya susah buat dikejar. Tapi di tanganku aku bisa mendapatkan wawancaranya panjang lebar meski dengan doorstop. Ya, bahkan hari itu aku masih bisa doorstop, berdiri di hadapan menteri berebut wawancara bersama beberapa wartawan lainnya. Aku masih berpikiran positif, aku tidak apa-apa, bayiku tidak apa-apa.
Tapi aku tidak dapat memungkiri pikiranku yang mulai berkecamuk. Seusai liputan, sambil menunggu anak magang selesai belajar live on tape (LOT), aku browsing tentang janin yang tidak bergerak. Dan kebanyakan hasilnya adalah kematian janin dalam kandungan. Aku masih menyangkalnya. Bahkan, sambil duduk di tangga aula Setjen KESDM waktu itu, aku sempat bertanya tentang gerakan bayi pada kameramenku yang kebetulan istrinya juga mengandung seusiaku. Dan dia berkata gerakannya aktif sekali, hingga saat ini. Tapi kenapa bayiku tidak?
Selesai dari KESDM aku solat, berdoa agar tidak terjadi apa-apa dan berharap ada gerakan dari janinku. Ayo dek bergerak, pikirku. Namun perasaan semakin berkecamuk, pulang liputan aku minta driver untuk mampir ke RS untuk daftar kontrol hari ini. Tidak seperti biasanya, rasanya hari ini aku ingin cepat-cepat ke RS. Aku semakin dibayangi rasa takut.
Menunggu jam 5 sore pun rasanya lama sekali. Ya, dokter kandunganku memang praktik jam 5 sore. Aku bahkan masih sempat bercanda bercengkerama sama teman-teman di kantor. Semata-mata untuk menghilangkan rasa tak enak hati. Tapi tetap saja tak bisa.
Hingga akhirnya aku pergi ke RS. Sore itu tampaknya cukup ramai tapi tidak dengan hatiku. Ini pasti ada apa-apanya, pikirku. Sampai tiba giliranku dipanggil oleh perawat. Rasanya sudah tak karuan. Hari biasanya aku bertemu dr Arman, obsgynku menjadi hari yang menyenangkan, tapi kali ini justru menegangkan.
Aku bercerita tentang keluhanku, bahwa Azka diam saja akhir-akhir ini. Obsgynku masih bilang, mungkin aku capek dan saat aku istirahat baru gerakan bayi muncul. Tapi aku bilang, ini ngga muncul sama sekali.
Seperti biasa, aku pun diajak untuk usg. Dag dig dug kecemasan hatiku semakin menjadi. Apalagi melihat dr Arman yang biasanya memperlihatkan monitor usg ke arahku mendadak serius mengarahkan ke mukanya. Aku sudah tidak bisa berpikir apapun.
“Hmmm..saya melihat ada yang ngga bagus emang.”
Deg.
Pikiranku sudah kemana-mana. Atau lebih tepatnya mungkin aku sudah tidak bisa berpikir apapun.
“Saya ngga menemukan denyut jantung bayi kamu. Inilah yang kita sebut kematian janin dalam kandungan.”
Entah apa yang bisa menggambarkan hati dan pikiran saya saat itu. Saya hanya bisa diam. Bahkan untuk menangis pun saya tak sanggup. Raut muka suami saya kecewa dan juga sedih. Ia sempat tertunduk dan mengelus-elus kaki saya. Menguatkan. Tapi saya terlanjur tidak kuat. Pembicaraan antara dokter dan suami saya masih berlanjut tentang kenapa kok bisa seperti ini. Tapi pikiran saya sudah melayang-layang. Rasanya untuk kembali menjejak lantai pun sulit.
Ketika dokter masih menerangkan macam-macam aku sudah tak sanggup lagi mendengar. Bayiku meninggal. Bayiku sudah tak ada nyawanya. Mendadak penyesalan dan rasa bersalah muncul, walau berkali-kali dr Arman bilang ini bukan dari faktor luar. Bukan dari makanan, kecapekan, atau jatuh. Ini murni coincidence. Ya, kebetulan. Lalu kebetulan yang seperti apa? Yang bagaimana? Aku masih tak bisa menerimanya, tapi tanpa tahu bagaimana harus menjelaskannya.
Hingga dr Arman tanya “Ada yang mau ditanyakan lagi?” aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil menarik nafas sesak di antara rentetan diamku.
“Maaf ya Wi, beritanya tidak bagus,” ujarnya.
Aku keluar. Ini mimpi bukan? Ini masih mimpi? Bukan, ini kenyataan. Kenyataan bahwa aku gagal menjadi ibu malam itu juga.
Ibu sayang Azka :*