Penyesalan memang selalu datang terlambat. Seolah penyesalan dan kata terlambat memang sudah satu paket. Kesedihanku membuncah di dalam taksi yang kami naiki malam itu menuju ke rumah. Air mata tak berhenti mengalir. Dimana bayiku? Kembalikan bayiku?
Di perjalanan hingga ke rumah, rasa sesal memenuhi benakku. Andai saja aku peka sejak beberapa hari yang lalu. Andai saja aku tak terlalu capek. Andai saja aku pergi ke doker lebih awal. Andai saja..andai saja yang lain muncul. Tak peduli kata dr Arman bahwa ini bukan salahku. Bahwa murni ini memang belum rejeki dan kalaupun sudah dari kemarin ketahuan, tak ada yang bisa diperbuat karena letak bayi di dalam perut.
Aku masih diliputi rasa sesal. Seolah waktu dan pengorbananku kemarin terbuang sia-sia dan percuma. Satu tahun kami menunggu momongan dan kemudian hadir melalui program kehamilan. Suamiku berusaha untuk kuat dan tabah. Mencoba menenangkanku yang terus menyalahkan diri sendiri. Mengajakku untuk ke rumah sakit lain esok dan berharap dr Arman salah.
Ya, aku lalu teringat bahwa dr Arman dengan terbuka mempersilahkan kami untuk mencari second opinion. Berharap pendapatnya yang salah. Atau mungkin ada dari peralatannya yang salah. Tapi ia pun sudah memberi rujukan untuk melahirkan bayi kami yang sudah meninggal. Lalu adakah yang salah? Siapakah yang salah?
Aku masih histeris. “Mana dedekku, kembalikan dedekku,” teriakku terus menerus di pelukan suamiku. Ia bilang, dedek sudah tenang. Aku masih belum bisa menerima kenyataan.
Kami kalut, bahkan terlalu kalut malam itu. Untuk berkomunikasi dengan siapapun kami tak sanggup. Bahkan, adik iparku yang satu rumah belum aku beritahu. Apalagi orang tua kami di kampung sana. Pastilah hancur harapannya untuk menimang cucu. Ini cucu pertama mereka dan meninggal tanpa sempat mereka timang.
Benteng pertahanan suami saya pun koyak. Akhirnya air matanya keluar juga. Menyesali kenapa ia tidak ekstra memperhatikan saya ketika saya hamil. Kenapa ia cuek saat saya bilang Azka sudah tidak bergerak. Mengapa ia tega mengajak saya capek-capekan ketika saya hamil. Mengapa ia kerap pulang malam dan tidur begitu saja hingga melewatkan saat-saat Azka ‘caper’ menendangi perut saya. Dan kami pun akhirnya saling menguatkan. Mencoba menerima kenyataan bahwa kami telah kehilangan buah hati kami. Kehilangan harapan kami. Kehilangan Azka…
Ibu sayang Azka :*