Nggak terasa akhirnya setahun ini saya jadi ibu. Rasanya cepat kalau di-flashback, tapi lama kalau dijalani, hahaha. Kalau dijabarkan ya pasti rasanya nano-nano. Tapi satu hal yang pasti adalah saya nggak nyangka bisa sampai tahap ini. Dulu, saya kira jadi ibu dan punya anak hanya ada dalam angan. Dulu, saya kira perjuangan panjang saya nggak akan berbuah hasil. Tapi kini semuanya berbeda. Apalagi setelah masa setahun saya bersama Aqsa.
Ada banyak hal yang berubah pada saya (dan juga suami) saat sebelum dan sesudah punya anak. Banyak sekali. Dari bagaimana kita memandang sesuatu, prinsip, bagaimana bersikap, dan masih banyak lagi. Tapi ada juga beberapa hal yang masih stay on focus dan dipertahankan karena memang bermanfaat seperti teguh untuk memberikan ASI bagi bayi. Tapi sejauh ini, kami mencoba untuk menjadi orang tua yang bahagia. Bukan orang tua yang sempurna.
Kenapa bahasan tentang jadi orang tua yang sempurna ini muncul? Karena duluuuu, dulu banget saat belum punya anak saya khususnya pengen jadi ibu yang sempurna. Yang melakukan hal-hal untuk anak secara ideal. Pada perencanaan dan perkiraannya saya sudah memikirkan banyak hal yang semuanya memungkinkan banget untuk dilakukan. Tapi begitu ada anak, teori-teori itu menguap. Praktiknya ternyata nggak semudah yang kita kira.
Saya ibu yang tak sempurna
Lihat gambaran ibu muda yang tampak cantik di instagram, tetap bisa tampil kece, sabar menghadapi anak, nggak mengeluarkan kata-kata ´jangan´ pada anak saat si kecil mulai bereksplorasi seperti halnya petunjuk tip-tip parenting, nggak berteriak sama anak saat emosi, bisa terus-terusan kasih MPASI anak hasil masakan sendiri, mengajarkan disiplin makan sama anak, nggak kasih anak gadget ternyata pada praktiknya susah untuk istiqamah dijalani. Dan yang pasti adalah m.e.l.e.l.a.h.k.an.
Serius, dulu saya coba terapkan semua. Apalagi buat saya yang ambisius, yang berprinsip pasti selalu bisa ideal. Toh pada praktiknya nggak bisa juga. Saya masih sering teriak sama anak kalau kesal, entah sudah berapa kata ´jangan´ yang keluar tiap harinya ketika Aqsa mulai geratakin sesuatu, kalau bangun kesiangan pun saya masih suka kasih makan anak MPASI instan atau yang beli di pinggir jalan, kalau Aqsa mulai kumat GTM-nya juga saya biarkan aja makan sambil pecicilan dan nggak duduk di kursi, atau saya juga masih suka kasih Aqsa gadget hanya demi biar dia diam ketika saya sudah kelelahan sekali. Banyak hal yang tidak ideal yang saya lakukan pada akhirnya. Semua itu dilakukan semata-mata juga agar kewarasan saya tetap terjaga.
Daripada menjadi ibu yang sempurna, concern saya sekarang adalah jadi ibu yang bahagia. Toh, buat apa jadi sempurna tapi palsu. Buat apa jadi sempurna tapi nggak bahagia. Buat apa jadi sempurna tapi tertekan. Saya memilih jadi ibu yang bahagia agar aura bahagianya juga menular ke anak. Agar anak saya juga jadi anak yang tumbuh dengan aura positif, bukan aura penuh tuntutan dan tertekan untuk jadi sempurna.
Tapi jadi bahagia nggak melulu membuat saya terlalu ´longgar´ dengan semua prinsip-prinsip saya. Masih ada kok beberapa prinsip yang saya pegang teguh seperti kasih ASI ke Aqsa hingga usia 2 tahun. Untuk yang satu ini saya usahakan banget. Padahal sebelumnya, dokter anak Aqsa sudah mewanti-wanti untuk penambahan sufor karena BB Aqsa cenderung kurang. Saya yang masih nggak rela harus kasih Aqsa sufor karena berhasil melewati 6 bulan ASIX dan 1 tahun masih ASI mengusahakan mati-matian bagaimana caranya Aqsa bisa enjoy makan tanpa harus ditambah susu. Untuk yang satu ini saya memang strict dan rada ´galak´ karena menurut saya, saya mengusahakan yang terbaik. Jadi kalaupun saya punya gelar sebagai seorang ibu sekarang, saya adalah ibu yang tak sempurna tapi bahagia dan mengusahakan yang terbaik untuk anaknya.
Jadi ibu yang tidak judgemental
Setelah jadi ibu, saya mengerti sedikit banyak tentang orang yang judgemental. Orang yang judgemental kemungkinan besar karena tidak pernah, belum pernah, atau pernah mengalami sesuatu tapi di-judge juga oleh orang di sekitarnya. Kalau untuk kasus saya, saya jadi judgemental karena belum pernah mengalami jadi menganggap enteng semuanya.
Satu contohnya adalah ketika dulu, dulu yaaa, saya lihat orang tua-orang tua yang kasih gadget ke anaknya. Contoh paling dekat adalah sepupu saya. Buat saya, dulu orang tua yang kasih gadget ke anaknya itu orang tua-orang tua yang malas, yang maunya praktis. Makanya biar anak diam, gadget dipilih sebagai jalan keluar. Tapi setelah saya punya anak, saya lebih bisa memaklumi kenapa seorang orang tua melakukan suatu hal.
Sebagai contoh aja, ketika orang tua kasih gadget ke anak saya nggak langsung judge dia malas lah, maunya praktis lah, bodoh lah karena nggak tahu efek negatif gadget ke anak gimana. Nggak sama sekali. Karena toh saya pun kadang kasih gadget ke anak pas lagi capek banget sementara anak merengek terus, pas saya mau salat sementara Aqsa selalu nangis saat ditinggal salat, atau saya pernah nontonin Youtube ke anak karena Aqsa susaaahhh banget makan dan jalan keluarnya (saat itu) yang praktis ya kasih tontonan ke anak walaupun saya tahu itu salah dan pada akhirnya sadar.
Dari situlah saya dan suami jadi paham kenapa orang tua kasih sesuatu yang kayaknya nggak ideal ke anak. Bukan langsung men-judge, tapi kami mencoba memahami bahwa kalau-kalau apa yang mereka lakukan ke anak ada alasan yang bisa diterima akal sehat di belakangnya. Akhirnya toh kami memaklumi banyak hal yang tidak ideal yang dilakukan para orang tua asalkan mereka tahu dan bertanggung jawab atas efek yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Hati-hati berbagi
Satu hal lagi yang saya pelajari ketika sudah memiliki anak adalah hati-hati berbagi, khususnya berbagi data anak. Saya yang suka narsis dan gatal pengen sharing ini-itu jadi dipikir bukan hanya 2-3 kali tapi puluhan kali. Euforia 5 tahun berjuang kemudian berhasil menghasilkan anak yang sehat dan ceria, jangan sampai buat saya lupa diri bahwa keselamatan anak yang utama. Apalagi sekarang di zaman digital dimana rekam jejak bisa diakses kalau sedikit saja kita lengah dan dimanfaatkan oleh orang lain.
Walaupun orang-orang mungkin saja tahu tanggal lahir Aqsa, tapi paling tidak mereka nggak tahu nama lengkapnya. Iya, saya emang sengaja nggak woro-woro nama lengkap Aqsa ke publik baik itu di social media ataupun blog. Biarlah saya, ayahnya, dan orang-orang terdekat aja yang tahu nama lengkapnya Aqsa. Lagian nggak penting juga ditulis di socmed atau blog, nama lengkapnya siapa.
Biar saya saja…
Kalau ada yang bilang setelah punya anak maka apa-apa jadinya ke anak, buat saya nggak sepenuhnya benar sih. Contohnya belanja, katanya kalau punya anak maka nafsu buat beli barang-barang pribadi berkurang dan beralih jadi barang-barang anak. Tapi buat saya itu nggak berlaku. Saya tetep weh sering belanja buat keperluan pribadi. Bukannya apa-apa, saya cuma rasional. Dulu, mungkin sempat akan iya apa-apa ke anak.
Tapi setelah menyadari misalnya beli baju anak karena nafsu dan akhirnya malah cuma dipakai 1-2 kali, saya pun jadi berprinsip mending beli yang seperlunya aja. Apalagi anak bayi ternyata cepat banget pertumbuhannya. Hal ini terjadi mungkin juga karena anak saya laki-laki yang barang-barang atau aksesorisnya ya itu-itu saja. Kalau anak perempuan mungkin beda cerita.
Namun, lain cerita kalau udah menyangkut soal sakit. Kayaknya ini juga jadi naluri alamiah seorang ibu ya yang nggak pernah tega lihat anaknya sakit. Kalau bisa mendingan sakitnya dipindahin ke saya aja. Alhamdulillah, selama hampir setahun ini, Aqsa bisa dikatakan nyaris nggak pernah sakit. Palingan cuma meler flu biasa yang kalau dijemur sama malamnya dikasih uap air panas dan minyak kayu putih udah sembuh. Nggak pernah demam tinggi yang sampai harus minum obat. Pernah pun minum obat itu juga gara-gara habis imunisasi (Aqsa jarang demam setelah imunisasi) dan kelihatan lesu plus saat diraba badannya sedikit hangat. Itu juga pas diminumkan obat demamnya dimuntahin lagi. Tapi setelahnya alhamdulillah nggak apa-apa, sehat lagi. Mudah-mudahan, seterusnya Aqsa akan sehat terus. Itu harapan saya.
Saya nggak tega kalau lihat Aqsa sakit, setelah punya anak saya pun nggak akan membiarkan diri saya sakit. Kalau saya sakit efeknya bisa domino. Anak, suami, dan rumah bisa nggak keurus. Kalau penyakitnya menular kayak flu bisa ping-pong ke anak dan suami, sedih saya tuh. Makanya kalau udah ada gejala-gejala sakit, saya langsung sadar diri. Istirahat yang cukup kek, benahin pola makan kek, atau minum suplemen. Yang penting jangan sampai badan drop karena yang paling kasihan nantinya adalah Aqsa.
Last but not least setahun ini ternyata membuka lembar dengan warna-warna baru di hidup saya. Saya belajar bahwa jadi ibu itu nggak cuma enaknya aja, nggak cuma happy-happy-nya aja. Saya belajar bahwa jadi ibu juga butuh kesabaran, ketelatenan, dan yang pasti jiwa yang bahagia.
Buat saya ini baru tahun pertama. Saya yakin akan ada tahun-tahun berikutnya yang tantangannya nggak kalah berat. Saya hanya butuh mempersiapkan diri saja agar nantinya bisa menjalani semuanya dengan lancar dan bahagia.
Finally, happy birthday Aqsa! Terima kasih telah mengantarkan dan mengajarkan saya pada banyak hal baru.