Jauh sebelum Aqsa diprogramkan, saya udah bertekad untuk suatu hari nanti memberikan ASI (Air Susu Ibu) pada anak saya. Bahkan, saya sudah jor-joran bilang ke suami untuk belajar menjadi ayah ASI jauh-jauh hari. Selain karena fitrahnya bayi meminum ASI, segudang manfaat baik itu dari sisi kesehatan, kepraktisan, hingga material yang didapat karena meminum ASI
Dan nyatanya alhamdulillah saya berhasil memberikan ASI eksklusif untuk Aqsa hingga 6 bulan. Jangan ditanya perjuangannya seperti apa. Dari segala proses, hamil-melahirkan-hingga menyusui justru menyusui lah yang paling drama. Saya boleh hamil dengan bahagia karena ikut hypnobirthing atau melahirkan dengan minim trauma karena mempraktikan teknik relaksasi. Tapi untuk menyusui, saya benar-benar clueless.
Selama hamil, saya memang konsentrasi pada kehamilan. Maklum saja, dua kali trauma kegagalan memiliki anak membuat saya terus berpikir bagaimana mempertahankan kehamilan tetap sehat dan selamat hingga waktunya melahirkan nanti. Bahkan euforia persiapan kelahiran anak pun hanya berkutat pada soal beli baju dan perlengkapan bayi tanpa mempertimbangkan alat tempur menyusui.
Dan ketika tiba saatnya Aqsa lahir, saya merasa sudah berhasil. Berhasil mempertahankan kehamilan, berhasil melahirkan minim trauma, berhasil selamat dan sehat semuanya, tapi ternyata setelah itu masih ada hal selanjutnya yang lebih besar yang harus dilewati. Hal tersebut bernama menyusui.
Drama-Drama Menyusui
Problem dan drama menyusui atau sekarang lebih kerennya disebut mengASIhi dalam diri saya terjadi karena minimnya informasi dan sumbernya. Info pertama yang seharusnya bisa saya dapat dari ibu justru tidak tersampaikan karena gap usia yang teramat jauh. Jadi pengetahuan menyusui ibu saya masih pengetahuan jadul. Sumber info lain seperti praktisi, konselor laktasi, atau kelas-kelas breastfeeding nggak sempat saya dapatkan karena keburu bulannya melahirkan. Dengan begitu, drama menyusui pun dimulai…
Drama pertama…
Puting saya tipikal yang melesak ke dalam. Waktu sehabis dilahirkan, Aqsa nggak sempat IMD karena saya tidur dan dia buru-buru diobservasi karena sempat nggak menangis setelah menangis sebentar lalu berhenti. Kemudian setelah rawat gabung, ASI saya belum mau keluar juga sementara Aqsa mulai gelisah. Kata dokter dan suster, walaupun ASI belum keluar tetap harus disusukan untuk merangsang keluarnya ASI. Okelah saya turuti. Tapi sayangnya ketika menyusu mulut Aqsa selalu meleset dari puting dan areola. Jadi udah haus tapi meleset-meleset mulu, nggak dapet objek buat minum. Drama ini akhirnya selesai dengan saya disarankan memakai nipple shield pada saat awal menyusui untuk merangsang keluarnya puting.
Drama kedua…
Aqsa dinyatakan kuning sehingga harus ditinggal dan disinar di rumah sakit sehari lagi. Sementara itu, saya harus selalu setor ASI tiap 2 jam sekali. Saya dan suami pun bingung, mau setor ASI pakai apa. Kami bahkan nggak mempersiapkan pompa ASI dan kantungnya saat masih hamil. Dengan panik, kami pun mencari pompa ASI dari telepon sepupu saya buat pinjam sampai akhirnya berakhir jadi beli dadakan di baby shop dekat rumah sakit tempat saya melahirkan.
Ternyata dari situ belum selesai dramanya, saya yang nggak ngerti soal menyusui bahkan sampai harus mengalami payudara bengkak yang akhirnya dikompres dan dipijat sama suster rumah sakit karena ASI-nya belum dikeluarkan. Rasanya sakit dan ngilu banget, sampai pengen nangis. Setelah itu, saya, ibu, dan suami juga masih harus cari hotel di dekat RS (karena jarak rumah ke RS lumayan jauh dan macet) demi setor ASI per 2 jam. Saat itu ASI saya belum terlalu banyak, tapi hampir tiap 2 jam saya usahain memompa biar Aqsa nggak kehabisan ASI di RS.
Drama ketiga…
Aqsa punya tali lidah (tongue tie). Sebenarnya soal tali lidah ini sudah diberitahukan sebelumnya oleh dokter anak. Berhubung pas hari-hari pertama nggak ngaruh maka saran insisi tongue tie saya abaikan. Tapi ternyata pas sampai rumah aduhai asoy banget ini tali lidah. Rasanya kayak nyilet-nyilet puting pas Aqsa nyusu. Bahkan sempat sampai puting kanan kiri saya berdarah. Duh, kualat dulu saya yang suka bilang dalam hati drama banget ibu-ibu yang menyusui sampai nangis-nangis dan trauma. Dalam hati dulu saya bilang ¨Emang apa susahnya sih nyusuin?¨, ternyata emang semenantang itu berhadapan sama bayi yang bahkan belum punya gigi.
Drama keempat…
Frekuensi menyusu Aqsa yang berbanding terbalik sama kuantitas ASI saya. Saya sempat bangga karena Aqsa bukan termasuk bayi yang rewel. Bahkan saya selalu bilang ¨Ini baby hynobirthing nih, tenang banget¨. Tapi ternyata nggak rewelnya dia itu sampai susah nenen. Kerjaannya dia tiduuuurrr mulu. Kalau nggak dibangunin sampai ditepuk-tepuk, bedong dibuka, atau dikelitikin nggak akan bangun dan nyusu. Nyusu pun cuma dikit kadang. Alhasil, ASI saya yang tumpah ruah itu harus selalu dipompa biar payudara nggak mengeras atau bahkan sampai mastitis. Bahkan, saya sampai beli kulkas baru 2 pintu buat menampung ASI di bagian freezernya. Freezer saat itu pun penuh dengan kantung-kantung ASI. Tapi bersyukurnya saya adalah ASI saya lancar jaya.
Drama kelima…
BB turun awal-awal MPASI. Setelah jalan dua bulan, proses mengASIhi berlangsung aman, tenteram, dan lancar hingga akhirnya MPASI. BB Aqsa naik secara signifikan bahkan DSA-nya sempat sampai kagum karena ternyata Aqsa ada tongue tie tapi BBnya bisa naik banyak. Namun, setelah MPASI drama menyusui nggak selesai sampai di situ. Justru pas awal MPASI BB Aqsa malah turun 100 gram. DSA-nya bilang untuk pantau dia serta saya diminta untuk pumping ASI kembali karena takutnya produksi dan freakuensi ASI saya berkurang gara-gara Aqsa MPASI. Bahkan saya sampai dikasih obat untuk booster ASI.
Memang sih, saya sempat salah kaprah soal MPASI ini. Saya kira setelah MPASI, frekuensi nenen bayi jadi berkurang karena dia sudah makan. Jadi makan yang utama. Ternyata saya salah. Namanya juga MPASI, makanan pendamping ASI. Jadi tetap ASI masih jadi yang utama sedangkan makanannya baru bersifat pendamping. Prosentasenya masih 25 persen MPASI dan 75 persen ASI.
Berbagai Dukungan MengASIhi
Perkara mengASIhi ini ternyata emang kompleks. Dulu saya pikir, menyusui ya tinggal menyusui. Trus pas masih jadi reporter, saya liputan tentang kampanye memberikan ASI saya sempat mikir ngapain sampai dikampanyekan, kan emang fitrahnya ibu habis melahirkan ya menyusui anaknya pakai ASI. Ternyata nggak sesederhana itu. Banyak faktor yang bikin proses menASIhi berhasil. Semakin kesini saya semakin sadar kalau mengASIhi ada kampanyenya karena saya lihat sendiri di kampung halaman saya justru banyak bayi yang setelah lahir nggak mendapatkan hak ASI dari ibunya dengan berbagai alasan.
Support system dan lingkungan merupakan penentu keberhasilan menyusui buat saya. Untung waktu itu suami keukeuh saat Aqsa masih disinar di RS buat bolak-balik tiap 2 jam dan rela ´staycation´dadakan di hotel demi bisa memenuhi ASI Aqsa. Padahal ibu saya hampir goyah kalau memang nggak cukup ASI-nya yang mana saat itu Aqsa minumnya lumayan kuat, ya sufor aja. Dengan tekad kuat walau tengah malam harus pumping, nyuci botol, sterilin alat-alat, akhirnya pemenuhan ASI Aqsa saat disinar tercapai juga.
Hingga enam bulan kemudian Aqsa lulus jadi sarjana ASI. Rasanya senang banget.
Mungkin kalau dulu saya nggak keukeuh ASI bakal keluar walaupun 3 hari pertama masih belum, mungkin kalau dulu ayahnya Aqsa mengeluh capek antar ASI ke RS, mungkin kalau dulu saya putus asa pas puting lecet, mungkin kalau saya nggak rajin pumping dan nabung ASIP, Aqsa nggak akan jadi anak ASIX. Beruntungnya saya punya support system yang mengerti.
Selain support system, sarana dan prasarana pendukung ngASI juga penting. Alat yang dulu bahkan ragu buat saya beli malah berguna banget nget sampai sekarang. Bahkan sampai ketika Aqsa turun BB, DSA-nya meminta saya untuk pumping lagi buat mengetahui apakah volume ASI yang dihasilkan dan kemudian diminumkan ke Aqsa masih banyak.
Alat-Alat Penunjang MengASIhi
Satu pompa ASI yang jadi favorit saya adalah Medela Harmony.
Kenapa Medela Harmony?
Merek Medela sendiri, jauh dari sebelum saya melahirkan sudah jadi pertimbangan untuk rekomendasi pompa ASI. Bukannya tanpa alasan, merek ini sudah familiar dipakai teman-teman kerja saya saat dulu masih jadi reporter. Jadi, saya sering penasaran sama busui-busui reporter yang suka pumping di dalam mobil liputan. Rata-rata merek pompa ASI yang mereka pakai ya Medela.
Tapi namanya juga Ratna Dewi, saya adalah orang yang suka judge a book by it´s cover. Itulah jeleknya saya yang kadang suka meremehkan. Saat pertama kali ´bersentuhan´ dengan Medela Harmony, yang ada di pikiran saya ¨Kok ini ringan banget gini, kayak nggak meyakinkan? Kayaknya kalau buat mompa nggak bisa mantap deh.¨
Dan selanjutnya saya ketulah alias kena karma karena saya jatuh cinta banget sama Medela Harmony.
Saya cerita awalnya dulu ya. Medela Harmony memiliki kemasan berwarna kuning soft, warna kuning soft ini bukan hanya pada kemasan tetapi juga pada kaki botol, tutup, hingga beberapa komponennya. Warnanya cantik dan lembut, saya suka banget. Harganya saya lihat di official store Medela di marketplace adalah Rp 590.000.
Dalam satu kemasan Medela Harmony ini, terdapat beberapa komponen yaitu corong, handle atau pegangan, konektor, membran katup cadangan, botol, kaki botol, dan tutup botol. Corongnya berupa breast shield seukuran 24 mm. Sedangkan bagian pegangan memiliki 2 tuas yaitu tuas panjang untuk memompa dan tuas yang pendek untuk stimulasi serta dilengkapi dengan tangkai berbentuk O-ring. Pada bagian konektor terdapat membran katup dan ujung katup. Sementara itu, botol bisa menampung hingga 150 ml ASI dan dilengkapi dengan tutup apabila setelah memompa ASI ingin langsung disimpan.
Cukup mudah buat merakit komponen-komponen Medela Harmony ini. Namun, tadinya saya agak sangsi dengan bagian pegangan karena setelah dirakit kok kayak oglek, kendur, atau nggak pas gitu. Masih bisa goyang-goyang dan memutar. Ternyata eh ternyata memang selain memiliki 2 tuas pegangan, handle juga bisa diputar 360 derajat. Oke, sampai di sini saya cukup maklum dan mengerti, tetapi rasa sangsi akan kekuatan alat ini masih bercokol. Kalau goyang-goyang begini, apakah nantinya bisa memompa dan menghisap dengan kuat?
Iseng, saya mulai tempelkan di payudara sebelah kanan dan langsung pakai tuas yang panjang. Pada pompaan pertama, ASI saya langsung keluar donk. Padahal kalau pakai pompa-pompa ASI yang sebelumnya pernah saya pakai, harus nunggu hingga 2-3 kali tekanan baru ASI keluar. Saya langsung amazing. Ternyata walaupun bagian tutup kayak ringkih karena handle bisa diputar, nyatanya ketika sudah bekerja memompa bisa menghasilkan pompaan yang mantap tapi nggak berat. Sebelumnya, saya pernah pakai merek lain dan memang rada berat kalau pas memompa. Pun, Medela Harmony ini juga buat saya ergonomis banget tuasnya.
Karena punya 2 tuas dan payudara kanan saya langsung mancur hanya dengan pakai 1 tuas, saya cobalah di payudara satunya lagi. Payudara kiri saya memang rada ´rewel´. Selain produksi ASI-nya nggak sebanyak dan sekencang payudara kanan, payudara kiri juga relatif lebih susah keluarnya. Itulah kenapa, Aqsa nggak suka nenen di payudara kiri dan saya harus tengkurep kalau kasih nenen yang sebelah kiri demi dia yang mau nenen ke semua payudara dan akhirnya kosong semua.
Saat dicoba ke payudara kiri, tuas pendeknya berguna banget untuk stimulasi payudara kiri saya. Jadi rasanya kayak ada hisapan-hisapan bayi, nggak lama kemudian keluar deh ASI-nya. Tinggal pompa hingga payudara kosong mengguanakan tuas yang panjang.
Setelah memompa, saya bisa langsung menyimpan ASI yang sudah diperas di botol dengan tutupnya yang sudah tersedia. Sementara itu, kaki botolnya berguna banget untuk menegakkan pompa ASI setelah atau sebelum digunakan.
Selain tuas multifungsinya, hal lain yang saya suka dari Medela Harmony adalah komponen-komponennya yang praktis dan sederhana. Cocok banget kalau dibawa traveling (dan sekarang saya tahu kenapa mama reporter suka bawa itu saat liputan). Selain itu, cara membersihkannya pun sangat mudah, hanya dengan air dan cairan pembersih botol khusus bayi, lalu disterilkan dengan air panas maka alat pun bisa digunakan kembali. Hanya saja, ada satu hal yang disayangkan yaitu corongnya yang nggak ada tutupnya. But, it’s okay. Berarti saya harus menjaga kebersihan hasil perahan dan alatnya dengan lebih lagi.
Selain pompa ASI, satu ´senjata´ buat saya saat menyusui sekarang ini adalah Purelan 100 dari Medela. Purelan 100 ini merupakan lanolin cream yang berfungsi salah satunya adalah untuk mengatasi lecet di puting akibat menyusui. Saya intip-intip harganya di marketplace ternyata untuk ukuran 7gr adalah Rp 100.000++. Kalau dulu saat masih ASIX, drama menyusui Aqsa sih nggak sampai bikin puting lecet, crack, atau kayak sobek gitu walaupun dia punya tongue tie. Paling banter ya cuma berdarah, lalu saya olesin ASI di sekitar puting, besoknya udah sembuh.
Nah sekarang beda kasusnya. Aqsa dalam masa mau tumbuh gigi. Segala macam barang masuk ke mulut dan digesek-gesekkan ke gusi karena kemungkinan gatal. Termasuk puting saya juga. Kalau nenen, nggak langsung disedot tetapi digigit-gigit dulu dan dimainin. Sekarang juga kalau nenen hanya bagian puting yang masuk ke mulutnya, jadi setelah itu suka ngilu.
Selama belum parah banget sakitnya, masih bisa saya tahan sih. Ketika sudah mulai ngilu, saya oleskan ASI dulu. Kalau udah nggak tahan banget, saya oleskan Purelan 100 ini. Dua hal yang saya sukai dari Purelan 100 ini adalah selain bisa untuk puting yang lecet, cream ini juga bisa digunakan buat kulit kering. Bahkan bisa buat bibir pecah-pecah juga. Enaknya lagi, cream ini bisa digunakan baik itu buat ibu ataupun bayinya, multifungsi!
Keuntungan kedua dari Purelan 100 ini adalah hypoallergenic, yang tentunya udah melalui segala tes dan uji apalagi ini diperuntukkan bagi ibu dan bayi. Buat saya, cream ini ringan banget karena ketika dioleskan di puting efeknya jadi terasa lembab dan dingin. Creamnya juga nggak berbau. Bahkan, puting bisa langsung buat menyusui karena aman. Kalau saya sih biasanya dibersihkan dulu karena takutnya berasa aneh di mulut Aqsa. Dibersihinnya juga gampang, cuma diseka pakai lap basah.
Hal yang saya suka lagi dari Purelan 100 adalah komposisinya yang 100% Lanolin USP/EP yang diklaim tanpa bahan pengawet. Untuk memakainya pun sangat gampang. Biasanya saya bersihkan dulu puting pakai lap basah, keringkan, lalu oles tipis-tipis saja Purelan 100. Alhamdulillah, sampai sekarang drama puting lecet saat jelang tumbuh gigi nggak parah-parah amat. Tapi tetap saya stok Purelan 100 ini buat jaga-jaga kalau nanti gigi Aqsa udah beneran tumbuh dan tambah brutal gigitinnya.
So far, proses menyusui Aqsa sekarang udah minim drama sih. Paling tinggal persiapan mental menuju dia tumbuh gigi. Saya bersyukur banget berada di lingkungan yang mendukung ibu menyusui dan pemberian ASI. Doakan saya ya bisa mencukupi pemenuhan ASI Aqsa hingga 2 tahun dengan minim drama.
Kalau mama-mama sekalian, gimana pengalaman mengASIhinya? Share yuk di kolom komentar!