Momen ke Bandung beberapa saat yang lalu adalah momen ‘less expectation’ buat saya khususnya. Padahal ke Bandung kemarin adalah momen kembali lagi ke Bandung setelah setahun lebih nggak kesana. Apalagi saya udah setahun lebih nggak ke Bandung setelah ketahuan hamil. Penyebab less expectation-nya apalagi kalau bukan nggak ditemenin suami kesananya. Nggak ada orang lain yang dekat banget dengan Aqsa yang bisa diajak gantian pegang dia. Walaupun ke Bandungnya sama keluarga saya, tapi Aqsa nggak lengket banget sama mereka.
Ke Bandung kemarin saya nggak ngarep dan nggak bikin rencana mau kemana gitu. Saya cuma pengen makan lumpia basah, bakso, mie kocok, yamin, dan masakan Budhe saya yang emang enak banget. Itu semua alhamdulillah keturutan karena gampang dijangkau. Tapi yang heboh malah Budhe saya, yang katanya kasihan lihat saya dan keluarga ke Bandung cuma di rumah atau jalan ke Pasar Andir aja. Padahal saya mah santai karena kalaupun kelilingan juga capek gendong Aqsa. Pun dengan ibu, bapak, dan adik saya yang nggak harus wajib pelesiran kalau ke tempat saudara. Justru Budhe saya yang keukeuh ngajakin ke Floating Market walaupun kami bilang nggak usah. Beliau sampai telepon supir yang biasa dipakainya, tapi karena dadakan ya nggak bisa. Mungkin kalau perjalanan kali ini sama suami, sewa mobil Bandung tanpa supir bisa jadi solusi. Tapi sayangnya, suami nggak jadi nyusul karena kerja.
Selama Budhe ‘heboh’ saya bilang aja “Udah nggak apa-apa Budhe, nanti kita jalan-jalan di tempat yang dekat aja. Ke Kings belanja atau Alun-Alun juga nggak masalah kok”. Untungnya Budhe nurut. Sambil nidurin Aqsa, saya juga browsing tempat wisata baru yang sekiranya dekat, ramah anak dan lansia, serta belum pernah saya kunjungi. Sekilas saya langsung ingat sama China Town Bandung yang sempat saya lihat dulu pas masih baru-barunya, nggak jauh dari Pasar Ciroyom. Dan ternyata pas saya browsing saya salah. Bukan dekat Pasar Ciroyom melainkan Pasar Andir. Saya mbatin, ini mah dekat banget. Apalagi sehari sebelumnya saya ke Pasar Andir makan bakso kikil. Ya sudah, saya bilang aja ke Budhe mending ke China Town aja, lebih dekat.
Kami berangkat Hari Jumat siang jam 14.00. Saya, Aqsa, Budhe, 1 keponakan, dan adik saya. Naik mobil bisa langsung turun di depannya. Yang masih belum tahu, China Town Bandung ini di Jalan Kelenteng, dekat Kelenteng Satya Budi dan persis di sebelah Hotel Grand Serela. Gampang banget kok dicari karena begitu turun mobil langsung di depan spotnya. Hanya saja yang saya lihat, bagian depannya sempit. Jadi buat yang berencana membawa mobil kesana siap-siap aja pusing parkirnya. Better pakai kendaraan umum saja.
Biaya masuk ke China Town Bandung cukup terjangkau, Rp 30.000 per orang di hari kerja dan bisa dibayar pakai cash ataupun debit. Sementara itu untuk di dalam lokasi, transaksi jual beli dilakukan secara nontunai menggunakan kartu debit bank apapun atau Flazz. Untuk anak-anak, di atas tinggi 110 cm sudah dikenakan tiket masuk.
Saya pun beli tiket untuk 5 orang pengunjung. Setelah mendapat tiket kami masuk ke pintu masuk yang berada di sisi sebelah kanan. Oh ya, sama seperti The Voyage, tempat wisata kekinian yang juga mengusung konsep instagramable, masuk ke China Town Bandung ini tidak diperkenankan membawa makanan dan minuman dari luar ya. So, jangan harap mau ngebotram siga dina kebon binatang, hahaha. Tapi jangan khawatir, di dalam ada banyak penjual makanan kok. Harganya pun masih masuk akal.
Begitu masuk ke China Town Bandung, kami langsung disambut sebuah kaca besar yang sudah instagramable buat foto-foto. Di sebelah kirinya, ada semacam museum kecil seukuran satu kamar untuk menyimpan benda-benda jadul kayak televisi, tempat makan, lampu, dan masih banyak lagi. Sampai di sini saja, Budhe dan ibu saya sudah heboh karena nostalgia barang-barang masa kecilnya.
Lanjut ke spot berikutnya adalah sisi-sisi sebelah kanan yang dibuat seperti toko-toko Pecinan zaman dulu. Di dalamnya terdapat spot-spot foto dari yang bersetting ruang tamu jadul, hutan bambu dengan boneka pandanya, naga dan sangkarnya, studio foto (literally studio foto untuk berfoto menggunakan kostum ala China), toko baju, sampai toko makanan dan souvenir jadul. Di toko souvenir dan makanan jadul inilah, Budhe dan ibu saya berhenti lama untuk nostalgia sambil beli-beli makanan kayak permen karet Yosan. Sedangkan barang-barang jadul juga diperjualbelikan di sini seperti perabotan makan seng, gundu, lampu minyak, termos, dan masih banyak lagi. Harganya pun masih masuk akal dan bisa dibayar dengan tunai ataupun debit.
Selain suasana, bangunannya pun dibuat semirip mungkin dengan Pecinan atau kampung Tionghoa. Atap-atap gazebo dibuat seperti gazebo yang mengingatkan saya dengan setting serial Mandarin kayak Yoko (Return of The Condor Heroes) atau Putri Huan Zu lengkap dengan jembatan di atas sungai kecil yang cocok buat spot berfoto. Apalagi kalau yang mau berfoto memakai baju khas Tionghoa, pasti cucok banget foto di tempat ini.
Sisi tengah bagian depan China Town Bandung adalah sisi yang paling pewe dan menyita perhatian saya. Sisi ini adalah tempat makan beralaskan rumput sintetis dengan konsep lesehan dan bean bag sebagai alas duduk. Di atasnya dihias dengan sangkar-sangkar burung yang diisi lampu dan dibikin seolah jadi lampion serta dedaunan. Konon, saat malam hari tempat ini bagus banget dengan lampion-lampionnya.
Selain tempat makan lesehan, ada juga tempat makan lain di bagian belakang baik itu yang tertutup atap, terbuka, atau malah di ruangan yang unik banget. Saya bilang unik karena desainnya vintage gitu. Nih saya kasih fotonya aja daripada ngebayangin atau saya tulis deskripsinya tapi malah tambah lieur bayanginnya.
Foodcourt atau stand-stand makanan di Chine Town Bandung pun banyak. Jadi buat kalian yang mau kesana, jangan khawatir kelaparan. Ada banyak makanan dan minuman dari yang camilan bernuansa Jepang banget macam takoyaki sampai yang Bandung banget macam siomay, batagor, atau mie kocok. Pun dengan minuman, dari yang kekinian macam Thai Tea sampai yang jadul macam es cincau hijau. Selain itu, jajanan-jajanan lainnya juga ada di foodcourtnya seperti lotek, Soto Tasik, gelato, sampai es campur Pak Oyen.
Nah, buat yang membawa anak kecil, jangan khawatir mati gaya karena ada playground terbuka di bagian paling belakang China Town ini. Untuk masuk dan bermain di playground, dikenakan biaya 35.000 per anak sepuasnya alias nggak terbatas jam. Ini pas banget buat saya yang bawa Aqsa dan keponakan. Aqsa bisa bermain di playground bagian bawah seperti bermain kuda, sepeda, ayunan, sampai mandi bola. Sementara keponakan saya juga bisa puas sampai manjat-manjat ke bagian atas playground. Playground-nya pun dilapisi sama rumput sintetis, jadi nggak khawatir kalau anak jatuh trus lecet.
Sementara itu, ibu, adik, dan Budhe saya menunggu di luar sambil mencicipi aneka jajanan. Saat waktu salat tiba pun jangan khawatir karena ada musala yang terletak persis di sebelah playground. Jadi nggak perlu khawatir karena pergi ke China Town trus nggak ada tempat ibadah Muslim. No…no…!! Bahkan musalanya juga bersih dan unik konsepnya, lho!
Selain itu di depan area playground ada semacam tempat buat duduk-duduk dan juga berfoto yang beralaskan rumput sintetis. Enak banget ini tempatnya buat ngumbar Aqsa yang udah bosan main di playground. Tempatnya juga asyik buat foto-foto karena di atasnya dihias dengan kain-kain jaring dan dedaunan. Sementara itu, di bagian samping tempat ini terdapat bilik-bilik selfie dengan berbagai tema. Nah, ini pas banget nih buat para penyuka selfie kekinian yang suka foto di tempat-tempat berlatar lampu kelap-kelip atau warna-warni, semuanya ada di bilik ini. Tinggal pintar-pintar aja ambil fotonya. Sayangnya, saya nggak sempat ambil foto di dalam biliknya. Riweuh banget euy sambil bawa Aqsa.
Last but not least, kalau ditanya worth it nggak ke China Town Bandung? Buat saya worth banget karena letaknya dekat sama rumah Budhe saya dan mudah dijangkau. Dengan tiket seharga 30.000 saya nggak kecewa dan lumayan murah kata saya sih. Yah walaupun murah atau nggaknya kan relatif ya.
Selain itu, bawa orang tua kayak ibu saya yang udah kepala 6 juga nggak melelahkan karena banyak tempat istirahat dan malah mengingatkan mereka sama masa lalu. Ibu saya bahkan tahu kaleng-kaleng bekas yang terpajang di suatu sudut adalah kaleng sampo pada zamannya. Gaul juga nih. Sementara Budhe saya jadi keinget sama zaman susah dulu pas lihat motor Honda tua yang mengingatkan sama motor pertama Pakdhe saya.
So, buat kalian yang mau eksis ‘kasih makan’ feed instagram dengan foto-foto bagus dan instaworthy, nggak ada salahnya main ke China Town Bandung. Paling enak sih hari kerja karena cenderung sepi. Jangan lupa bawa baju ganti yang banyak ya biar bisa explore foto di banyak tempat. Tapi kalaupun nggak bisa di hari kerja, Sabtu-Minggu pun ada nilai plusnya kok yaitu bisa nonton pertunjukkan barongsai di sore hari. Jadi semua ada plus minusnya. Yang penting, jangan lupa jaga kebersihan tempat wisatanya ya biar selalu indah buat dikunjungi.
Happy travelling!!