Pandemi belum kelihatan hilal ujungnya. Sekarang saya justru ngerasanya kok makin jauh dari ujung. Apalagi sejak covid-19 gelombang 2 yang akhir-akhir ini melanda. Rasa tegang dan takutnya melebihi saat awal covid-19 masuk ke Indonesia. Rasanya seperti corona semakin mendekat ke arah saya dengan menyerang circle terdekat. Alhamdulillah, sejauh ini saya dan keluarga masih sehat walafiat dan jangan sampai deh tertular virus ini.
Setiap hari, selalu ada aja berita menyedihkan. Emtah speaker masjid yang mengumumkan berita kematian warga, telepon yang berbunyi dan mengabarkan kerabat positif, pesan di whatsapp yang mengabarkan teman dan saudara-saudaranya yang akhirnya terpapar, sampai berita-berita di media massa yang menggambarkan betapa ganasnya virus ini.
Efeknya ke saya sendiri emang selain jadi panik dan khawatir juga timbul psikomatis. Saya batuk dikit karena kebanyakan gorengan aja udah deg-degan. Habis dari pasar, tangan dilumuri handsanitizer banyak-banyak trus buru-buru mandi. Ingusan yang memang tiap hari saya alami karena alergi jadi menambah deg-degan hati karena takut ini gejala corona. Belum lagi tiap bangun tidur saya baru bisa merasa lega kalau sudah mencium bau sesuatu, apapun itu yang berarti penciuman saya masih normal.
Begitulah sehari-hari saya. Kalau dirasain emang tegang banget kadang. Tapi untungnya saya sekarang di kampung halaman, pas banget mudik dan terjebak PPKM di rumah makanya masih punya sedikit ruang gerak. Walaupun kadang ya tegang dan panik juga karena di kampung halaman orang pada abai banget dengan covid. Makanya, saya perlu stress release setiap hari biar rada santai menjalani hidup.
Tiap orang pasti berbeda-beda cara menghilangkan stres di masa pandemi. Kalau saya, yang pasti harus punya me time. Tapi mengisi kegiatan me time ini kan beda-beda ya tiap orang. Inilah beberapa cara yang dilakukan untuk mengurangi stres di masa pandemi:
-
Nonton
Selama pandemi, lalu pulang kampung, dan menghadapi PPKM Darurat, menonton adalah jalan ninja saya buat stress release. Nontonnya tentu saja tontonan yang menghibur. Biasanya saya nonton serial atau drama, mulai dari drama China, Korea, Indonesia, sampai Jepang. Temanya pokoknya yang menghibur, jangan yang nambah beban pikiran semacam tema psikopat. Makanya saya suka nonton yang genre romance atau rom-com.Selama pandemi juga, hape saya dipenuhi dengan aplikasi VOD (video on demand) dan mulai berlangganan VIP. Jujur, tadinya saya memang penonton telegram, tapi semakin ke sini saya mendingan nonton yang legal di aplikasi. Lebih lega rasanya dan menghargai para sineas. Lagian juga lebih enak nonton di aplikasi legal. Kecuali untuk drama-drama yang memang susyaaahh banget ditonton di aplikasi legal atau Youtube karena memang nggak tersedia, baru saya lari ke Tele. Itu pun udah juaraang banget.
Saking hobinya saya nonton di masa pandemi ini, saya sampai bikin blog sendiri khusus review tontonan #terniat, haha. Di situ saya bisa mencurahkan semua pendapat saya tentang suatu tontonan. Jangan lupa ya baca review tontonan ala saya di inireview.com.
Selain nonton drama, saya juga masih jadi penggemar setia Youtube. Vlog makan-makan, bincang-bincang ringan, podcast yang menyenangkan, sampai video-video yang menghangatkan kayak vlognya Kimbab Family masih sering saya tonton. Beneran deh rasanya release banget nonton tuh. Selain saya, suami juga ikutan nonton drama sekarang. Tapi dia nontonnya drama-drama action.
-
Baca buku
Ini adalah hobi saya yang tak lekang oleh waktu. Saat pandemi, saya beli beberapa buku dari buku fisik sampai ebook. Sayangnya kadang buku ini terbengkalai karena saya sibuk nonton. Tapi sekarang saya mulai kembali membaca buku-buku yang masih tersegel dan ebook di ipad. Alasannya sih sederhana, biar saya nggak gadgetan muluk di depan Aqsa. Karena kalau nonton kan pasti pegang gadget dan Aqsa suka merangsek minta main game di hape.Kalau baca buku kan saya bisa ngawasin dia main sambil membaca. Buku yang saya baca pastinya nggak jauh-jauh dari tema yang ringan. Novel dewasa, genre romance, komedi, motivasi, sampai buku-buku parenting biasanya jadi santapan saya.
-
Menulis
Menulis bukan cuma jadi hobi, buat saya menulis juga jadi sarana healing. Kalau saya lagi punya uneg-uneg, mendingan saya tulis trus jadi konten original deh (hidupnya nggak jauh-jauh dari konten, haha). Selain itu, saya juga dapat bonus lain dari menulis yaitu rezeki materi. Gimana nggak cinta saya sama kegiatan yang satu ini.
Selain itu, menulis juga jadi sarana saya healing. Setelah tanya sama teman psikolog hingga konsultasi resmi dengan psikolog klinis, saya masih disarankan untuk journaling dan menuliskan hal-hal apa yang dialami baik itu yang disukai dan kecewa dalam satu hari. Nggak lupa juga, saya juga disarankan untuk membuat jurnal syukur setiap hari agar beban berat dan stres di masa pandemi karena di rumah saja dan 24/7 bersama suami jadi sedikit ringan. Buat kalian yang merasa stres, di ambang depresi, atau berat banget saat menghadapi pandemi, coba deh mulai saat ini mulai untuk journaling. Kalau mau malah pakai tulisan tangan di buku tertentu, kayak nulis diary gitu zaman dulu. Rasanya fresh banget habis itu.
-
Ngobrol
Konon perempuan butuh mengeluarkan 20.000 kata setiap hari, benar nggak? Kalau saya sih iya. Rasanya kalau seharian nggak ngobrol, curhat, atau cerita, saya stres banget. Kayak nggak ada teman buat berbagi. Makanya saya bahagia banget kalau pulkam karena jadi punya teman cerita panjang lebar yaitu ibu saya. Topiknya ya apaaa aja diobrolin, dari yang ngobrol ringan, ngobrolin gosip, bahkan sampai eyel-eyelan. Tapi ya itulah gaya komunikasi saya dan ibu, nggak ada sekat atau hierarki orang tua-anak dalam ngobrol. Kami kayak teman aja. Karena suami saya orang yang nggak suka buat ngobrol, makanya kadang kalau di rumah saya merasa kesepian. Kalau sudah kesepian saya suka tertekan dan overthinking.
Makanya kalau di rumah, saya banyak cerita ke teman-teman komunitas di WAG. Ya bisa jadi teman-teman saya di grup chat komunitas ini adalah teman ngobrol dan penyaluran rasa stres saya. Yang diobroling jangan ditanya, topiknya ngalor ngidul, haha. Apa aja diobrolin yang penting bukan debat kusir, malah tambah stres nanti. Kalau debat kusir, mendingan saya ngalah dan milih jadi silent reader.
Selain itu, saya juga mulai ngobrol dengan profesional kalau sedang stres. Biasanya saya ngobrol dengan psikolog klinis di aplikasi kesehatan. Ngobrol dengan psikolog ini lebih terarah curhatnya dan solutif. Biayanya pun murah, cari saja yang lagi promo/diskon, biar nggak bikin kantong bolong. Sekali-kali, ngobrol dengan psikolog juga biar bisa cari tahu apa ada yang salah dari kita sehingga gampang stres di masa pandemi. Luapkan saja uneg-uneg kalian selama ini sama mereka, biar lega dan dapat solusinya.
-
Olahraga
Saya memang udah lama banget nggak workout. Workout terakhir itu sebelum bulan puasa. Saat puasa saya libur workout, trus keterusan setelah Lebaran karena sempat sakit juga. Saat pulang kampung, boro-boro buat workout, gerak juga malas.
Tapi karena saya tahu banget kalau olahraga itu banyak manfaatnya apalagi di masa pandemi gini dan badan saya udah mulai nggak enak karena jarang olahraga (baca: berlemak di mana-mana), makanya saya memulai lagi buat olahraga di kampung halaman. Kali ini saya nggak ambis pengen punya abs yang rata atau berotot, gerak saja sudah bagus kok. Makanya di kampung halaman saya mulai aktif beraktivitas fisik kayak jalan kaki bolak-balik ke pasar sama ibu saya, naik sepeda keliling kampung sama Aqsa, sampai main bulutangkis. Saking niatnya, saya dan suami sampai beli raket couple murah meriah demi cari keringat di rumah.
-
Berhenti sejenak update berita covid-19
Capek nggak sih tiap hari bacain update berita tentang covid-19? Tentang RS yang okupansi bed-nya hampir penuh. Tentang pemakaman jenazah covid yang mengantri karena angka kematian tiap harinya naik. Tentang varian baru yang ternyata lebih ganas. Tentang orang-orang yang berpendapat konyol soal virus ini dan termakan hoax. Kalau saya sih jujur capek ya, banget malah.
Makanya sesekali saya off internet atau social media. Beruntung saya tiap minggu menginap di rumah mertua saya selama pulang kampung di mana lokasi rumahnya susah sinyal. Jadi memungkinkan saya buat nggak sering-sering ‘into’ hape. Jadi pikiran bisa istirahat sebentar dari capek dan penatnya pemberitaan soal covid-19 yang semakin menggila. Nantinya, kalau sudah sedikit refresh, baru saya buka dan baca hape lagi. Dengan begini, saya punya waktu buat mengurai sedikit ketegangan di masa pandemi.
Saya yakin di masa pendatang, bisa saja ada kemungkinan pandemi lebih parah. Tapi kita berdoa saja semoga itu nggak kejadian. Ini hanya worst case dari saya saja, makanya saya setel ekspektasi serendah mungkin soal pandemi ini. Harapan dan doa saya adalah supaya setiap harinya selalu waras dan dikuatkan dengan segala cobaan serta situasi pandemi ini.
Jika memang ke depannya ada periode pandemi yang lebih parah dari sekarang, mungkin saja saya butuh healing dan me time yang lebih lagi. Tapi doa saya yang paling utama tentunya agar pandemi lekas berlalu dan kita semua bisa hidup normal seperti dulu kala.