Berbagi Kesedihan, Berbagi Bahu, Berbagi Kesabaran

Berbagi Kesedihan, Berbagi Bahu, Berbagi Kesabaran

 

Beberapa waktu yang lalu, saya sengaja bertemu teman sekantor yang juga sedang dirundung kesedihan. Ya, kami sama-sama bersedih. Kami sama-sama baru kehilangan sesuatu. Kami sama-sama baru mengalami kegagalan. Saya gagal memiliki anak dan ia gagal menikah. Saya gagal menjadi ibu dan ia gagal menjadi istri. Kami sama-sama merasakan kepahitan. Kami sama-sama merasakan kehancuran.

Sedih? Pasti. Ia bisa merasakan kesedihan saya ditinggal Azka tiba-tiba tanpa pesan. Dan saya bisa merasakan kesedihannya. Kesedihan ketika hari pernikahan yang tinggal menghitung hari kandas begitu saja. Kesedihan saat semua yang telah dipersiapkan untuk menikah hilang begitu saja di depan mata hanya karena sang kekasih dengan entengnya mengucapkan “selama ini ternyata aku nggak cinta kamu”.

Kami sama-sama kehilangan. Saya kehilangan janin saya dan ia kehilangan sosok calon suaminya. Kami sama-sama kehilangan harapan. Kami sama-sama putus asa. Dan kami sama-sama merasa bahwa saat itu Tuhan tidak adil, teramat tidak adil pada kami.

Tuhan memang Maha Pembolak-Balik hati manusia. Beberapa saat yang lalu kami sedang sangat bahagia. Bahkan di puncak kebahagiaan. Saya bahagia karena dalam hitungan bulan akan menjadi ibu. Dan teman saya bahagia karena dalam hitungan minggu akan jadi seorang isteri. Tetapi semuanya kandas. Hilang. Sekejap Tuhan mencabut kebahagiaan kami. Begitu cepat. Sekarang yang tersisa hanyalah kepedihan yang berserakan yang dikumpulkan untuk menjadi prasangka baik. Iya, prasangka baik terhadap Tuhan.

Mungkin kami ingin tapi tidak siap. Mungkin kami menginginkan tapi tidak menyiapkan. Mungkin saya ingin seorang anak tapi tidak siap menjadi ibu. Mungkin ia ingin sebuah pernikahan tapi tidak siap menjadi isteri. Bukan, bukan tidak siap, tapi mungkin kami belum siap. Terlalu banyak pikiran keduniawian dalam diri kami. Tanpa memikirkan hakikat menjadi ibu bukan hanya heboh mempersiapkan stroller dan baju bayi, dan hakikat pernikahan bukan hanya bersenang-senang dalam suatu ikatan halal. Tapi lebih dari itu. Dan itu yang kami tidak sadari sebelumnya.

Baca Juga:   Book Review: Membaca Diri di Critical Eleven

Maka kami terus berprasangka baik. Sebaik-baiknya Allah menciptakan takdir dan skenario hidup. Sebaik-baiknya Allah menguji kesabaran kami, kesabaran yang sebenarnya tak ada batasnya. Seperti cakrawala. Allah sedang menyentil kami. Allah sedang menetapkan kami berada di jalan yang lurus dengan cara-Nya.

Dan hidup sering kali tidak selalu on the track. Tidak selalu mulus. Keinginan tidak selalu didapatkan dengan kemudahan. Dan kami sedang terus berproses. Berusaha berbaik sangka. Berusaha mengusap air mata duka yang terkadang sangat susah mengering. Berusaha sabar dan kuat semudah yang orang-orang katakan. Berusaha berdamai dengan hati.

Semoga bisa dan selalu bisa…

 

0 Comments
Previous Post
Next Post
Ayomakan Fast, Feast, Festive 2023
Rekomendasi

Jelajahi Kuliner Bersama AyoMakan Fast, Feast, Festive 2023