Ada satu hal istimewa yang saya alami ketika pulang kampung kali ini yaitu kami mengalami PPKM Darurat di kampung halaman. Sebenarnya, kebetulan banget setiap pulang kampung nggak berapa lama ‘Jakarta tutup’ karena kenaikan angka kasus covid-19. Begitu juga dengan pulang kampung kali ini. Bedanya, kalau pulang kampung sebelumnya hanya PSBB ketat yang nggak berimbas sampai ke kampung halaman. Pada pulang kampung kali ini saya mengalami PPKM Darurat yang imbasnya sampai ke kampung halaman.
Saya pulang kampung beberapa hari sebelum akhirnya kasus covid-19 gelombang 2 membludak. Saat itu situasinya sepertinya masih aman. Desas-desus soal varian delta yang sudah menyebar juga belum berembus kencang. Makanya pas saya pulkam di minggu-minggu pertama masih sempat jalan-jalan ke Alun-Alun Purworejo sama ibu saya buat kulineran dan piknik tipis-tipis. Padahal pulang kampung yang dulu saya karantina ketat selama 14 harian. Pulang kampung ini malah nggak, cuma 3-4 hari setelahnya saya jalan-jalan walaupun tetap ketat prokesnya.
Saya juga masih sempat ngajak Aqsa dan saudara buat berenang di kolam renang umum yang lumayan besar di dekat rumah mertua. Saat itu saya masih santai buat berenangin Aqsa walaupun pas di kolamnya juga cuma ada Aqsa sama saudara saya. Tapi kalau situasinya diubah, saat itu jadi segenting sekarang-sekarang ini, o…ow…saya udah pasti nggak mau. Jangankan buat berenang, menginjakkan kaki ke tempat renangnya pun mikir-mikir lagi karena itu tempat umum.
Pas pulkam ini, saya berpikir keadaan desa masih seperti yang dulu. Jauh dari corona. Apalagi waktu pulkam pertama kali, desa tempat tinggal mertua saya angkanya 0 covid. Makanya kalau kemana-mana Aqsa masih belum maskeran saat itu dan saya nyantai. Tapi sekarang ini beda banget.
Karena kecepatan menyebarnya virus di pedesaan lebih cepat dari kecepatan sinyal hape. Artinya di desa sinyal hape aja kadang susah, tapi virus bisa jadi ada di mana-mana.
Nih, saya ceritain dulu ya sebelum PPKM Darurat. Kalau di kampung halaman suami saya walaupun angka covid rendah (tercatat hanya 1 keluarga yang pernah terdaftar menderita covid itu pun sudah lama) tetapi saya justru malah khawatir. Nyatanya, lama-lama banyak orang jadi batuk, pilek, meriang, dan nggak mau berobat ke fasilitas kesehatan karena takut dicovidkan atau ya emang ternyata covid tapi denial aja.
Sementara di lingkungan orang tua saya yang agak kota (karena bersebelahan sama stasiun besar, Stasiun Kutoarjo), covid udah terang-terangan banget. Dari pulkam terdahulu, sudah banyak yang terkena covid. Belum lagi yang meninggal karena covid buanyak, dari yang tua sampai muda. Makanya nggak heran kalau kasusnya semakin ke sini semakin banyak.
Persamaannya dari kampung saya dan suami adalah masih banyak orang yang denial dengan covid atau percaya narasi ‘dicovidkan’. Dan ternyata yang begini buanyaaakk banget, bukan cuma di tempat saya atau suami. Di desa-desa lainnya juga banyak yang beranggapan begini.
Kalau di kota saya takut keluar karena virusnya banyak dan sudah mencapai circle terdekat, kalau di kampung halaman ketakutan saya lain lagi. Virus ini bisa jadi sedikit tadinya cuma banyak orang yang abai prokes jadi aja menyebar dengan cepat. Nggak heran kalau ada suatu dukuh, dukuh lho ini bukan dusun (FYI, dukuh lebih kecil dari dusun), yang tiba-tiba lockdown karena puluhan warganya positif covid. Sedih banget kan dengarnya? Dan ini nyata terjadi di kampung halaman saya.
Well, kecepatan covid-19 menyebar jauuuhh lebih cepat dari kecepatan sinyal provider. Di kampung suami saya, setelah bertahun-tahun akhirnya saya bisa menikmati fasilitas sinyal 4G tahun ini sedangkan corona baru juga setahun udah masuk aja ke desa kami tercinta.
Jadi sebenarnya kalau ditanya, lebih aman ya PPKM Darurat di desa? Nggak juga.
Atau enak ya di desa masih bisa kemana-mana? Ya nggak sebebas kalau nggak ada corona juga.
Masalahnya, di kampung juga kegiatan masih biasa saja. Masih ada hajatan walau dengan embel-embel prokes. Masih ada tahlilan atau kendurian. Masih ada Masih ada acara-acara yang mengumpulkan orang. Dan dari acara-acara itu masih banyak yang nggak pakai masker.
Belum lagi ada yang udah positif covid nyata-nyata dari swab, eh ternyata masih keluar rumah nggak pakai masker pula. Trus ada pengantin yang pas hari H ternyata positif dan yang lagan (masak-masak) nggak mau pada tes. Pusing nggak kalau dengar yang kayak gini? Pusing banget kalau saya mah. Dan ini kejadian di tetangga-tetangga ibu saya. Makanya kalau ditanya PPKM Darurat di desa enak ya masih bisa keluar-keluar, nggak juga. Apalagi lingkungan rumah ibu saya padat penduduk. Karena toh saya tetap di rumah saja saking takutnya karena masyarakat sekitar terlalu abai. Kalaupun mau keluar saya pastikan benar-benar pas sepi orang, siang hari misalnya.
Kalau di rumah suami saya, saya masih bisa bernapas sedikit lega. Kalau ketemu orang-orang sekampung sudah pasti kami prokes ketat. Tapi kalau stres, saya masih bisa ‘lari’ ke sawah dan lihat ijo-ijoan sambil sepedaan. Atau kalau Aqsa bosan banget, tinggal bersepeda ke balai desa dan biarin Aqsa perosotan di sana. Itu pun harus pas sepi. Saya nggak mau menanggung risiko ketemu orang yang nggak diketahui rekam jejak kesehatannya.
Sayangnya, di kampung masih banyak juga orang yang nggak terbuka sama covid ini. Makanya saya selalu tekankan sama suami kalau mau ke rumah orang, mau itu saudara, teman, atau kerabat, ditega-tegain nanya apakah semua anggota keluarganya sehat. Dan harus tega juga buat bilang nggak atau batal kalau salah satu ada yang sakit. Ingat, covid-19 juga bisa menyebar dari rasa keenngakenakan. Nggak ada pemakluman lagi sekarang.
Ini baru soal covidnya ya.
Kalau soal PPKM Darurat, sebenarnya nggak terlalu berpengaruh ke saya. Toh pasar juga masih buka dan ramai, bedanya hanya tutupnya lebih cepat yaitu pukul 15.oo. Pun dengan minimarket yang tutup lebih cepat pukul 20.oo. Atau kami yang nggak bisa keluar kota karena banyak penyekatan dan syarat ini itu. Palingan hanya itu.
Tapi kami masih bisa jajan nasi goreng, bakmi, ayam bakar, atau ronde di tempat-tempat makan langganan kami saat malam hari. Hanya saja, sedihnya, dagangan mereka yang notabene pedagang kecil ini jadi sepiiii banget pembeli. Sudah berapa pedagang yang mendadak curhat kalau pas saya beliin dagangannya. Kadang juga ada beberapa barang yang nggak ada, seperti belut, karena mobil yang nganter barangnya nggak bisa lewat.
Bukan cuma pedagang makanan, penyewa jasa atau fasilitas umum juga sepi peminat. Waterpark sepi pengunjung. Tempat wisata tutup yang otomatis penjaja jasa di tempat wisata pun mau nggak mau ikutan ‘libur’.
Belum lagi soal vaksin, susyaaahh banget buat meyakinkan orang-orang buat vaksin. Apalagi banyak yang kemakan hoax. Padahal udah ada woro-woro bernada sedikit ‘ancaman’ buat vaksin.
Di sekitaran rumah ibu saya aja bahkan kader dan pengurus RT cuek soal vaksin. Ditanya juga nggak tahu infonya. Ibu dan bapak saya belum vaksin sampai Bulan Juli kemarin. Sudah daftar di lain tempat juga nggak ada panggilan. Dari kelurahan pun nihil. Sementara di desa suami saya, vaksin untuk lansia teratur dan sebagian besar lansianya juga sudah tervaksin.
Sampai akhirnya saya cari info vaksin sendiri dan nemu dari instagram lalu minta ibu saya nyari info lebih lanjut ke Puskesmas. Alhamdulillah, berbekal rasa ingin tahu yang nggak kenal lelah, akhir Juli kemarin bapak dan ibu saya berhasil vaksin dosis 1 di Puskesmas. Pun dengan saya akhirnya bisa vaksin karena ‘sisa’ undangan dari tetangga saya yang RT. Senang sih akhirnya bisa vaksin di kampung halaman. Tapi sedih juga karena dapat sisaan undangan yang berarti ada orang-orang yang nggak mau, saking banyaknya yang nggak mau sampai sisa undangannya. Padahal 1 kelurahan hanya diberi kuota 20 undangan.
Itu dia suka duka saya menjalani PPKM Darurat di kampung halaman. Sekarang PPKM-nya sudah turun jadi PPKM Level 3 di kabupaten tempat saya tinggal, tapi ya bagi saya semuanya tetap sama saja. Saya tetap harus prokes ketat. Saya juga mau nggak mau jadi ‘tegaan’ kalau mau ketemu orang. Saya juga tetap di rumah aja dan keluar ke tempat-tempat umum kalau perlu-perlu banget.
Pandeminya masih berjalan. Virusnya masih ada dan nggak terlihat. Ayoklah, mau di desa atau kota semuanya harus tertib. Biar pandemi lekas berlalu. Biar kita bisa hidup tanpa ada rasa khawatir seperti dulu lagi.