Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, setelah USG 4D si baby dinyatakan terlalu besar. Saya sempat bingung juga soalnya di kontrol bulan sebelumnya, Prof Jacoeb bilang bahwa berat janin saya masih kurang dan dianjurkan buat makan-makanan tinggi kalori. Nah, di kontrol bulan selanjutnya pasca-USG 4D ini malah janin saya dinyatakan terlalu besar. Hahaha, ketahuan nih ibunya makan jor-joran.
Karena di kontrol sebelumnya Prof Jacoeb bilang suruh banyak makan makanan yang tinggi kalori, maka saya pun mengikuti sarannya. Suami juga yang paling getol buat jejelin saya makanan. Kami yang biasanya konsumsi nasi putih campur nasi merah akhirnya bulan itu menyingkirkan nasi merah terlebih dahulu. Setiap hari yang dimasak adalah nasi putih. Trus saya yang biasanya ngemil buah diganti jadi cemilan berat kayak cookies manis, es krim, coklat, atau martabak manis si guilty pleasure itu (FYI saya nggak begitu suka ngemil makanan manis kayak coklat, es krim, kacang).
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Food Response Test)
Pokoknya bulan itu saya niatkan buat jor-joran makan demi menambah berat badan bayi. Udah gitu pas banget pula momennya sama perayaan Lebaran. Saya ada kesempatan buat ngemil sepuasnya dan menguasai kue Lebaran, hahaha. Ini momen langka banget lho buat saya apalagi sehari-hari saya emang menjaga banget makan dari makanan yang bergula dan tinggi kalori. Pas dinyatakan boleh makan ‘enak’ inilah kesempatan nggak saya sia-siakan.
Sebenarnya kalau dilihat dari hasil USG dan dicocokkan dengan indeks taksiran berat janin yang saya browsing di internet, berat janin saya saat itu masih dalam kategori normal. Untuk ukuran 19 weeks lebih dengan berat 323 gram itu wajar karena kalau saya lihat tabelnya usia 19 weeks memang berada di angka 300 gram. Namun, suami saya positif thinking dan bilang mungkin Prof Jacoeb memang terbiasa sama bayi-bayi besar atau malah itu semacam preventif dari Prof Jacoeb buat saya biar baby-nya nggak kekurangan dan harus ngejar berat ideal beberapa hari pas udah jelang melahirkan.
Nah setelah melewati fase makan beringas selama 1 bulan akhirnya si baby berada di berat lebih dari 700 gram pas usia kandungan 23 weeks jelang 24 weeks. Kalau dilihat dari tabel berat janin bayi emang berat segini terlalu besar kalau dibandingkan usia kandungannya. Berat idealnya adalah sekitar 550 gram. Ini berarti saya over menaikkan 200 gram. Makanya mungkin Prof Jacoeb curiga takutnya gula darah naik atau malah ada diabetes karena berat janinnya melonjak drastis.
(Baca juga: Program Hamil dan Ketakutan terhadap Diabetes)
Oleh karena itu, Prof Jacoeb langsung merekomendasikan buat cek lab gula darah. Saya dan suami sih oke-oke aja selama ini dengan cek lab yang bola-bali karena memang kita prinsipnya nurut kata dokter di kehamilan ketiga ini. Kalau yang mengikuti proses program hamil saya sampai sejauh ini dan nggak ngerti-ngerti amat mungkin akan menganggap kalau prosesnya lumayan ribet karena sering banget bolak-balik cek lab untuk sesuatu yang kayaknya sepele. Tapi buat saya dan suami ya inilah ikhtiarnya dan Prof Jacoeb adalah dokter yang lumayan detail buat melihat ada sesuatu yang sedikit saja nggak ideal.
Buat saya dan suami, cek gula darah ini bukan yang pertama. Oh ya, tapi cek gula darah kali ini cuma buat saya aja ya karena saya yang hamil. Kalau yang lalu-lalu (pas awal promil) sih kami berdua diharuskan cek gula darah.
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Menghadapi Berbagai Tes Laboratorium)
Proses cek gula darah ini diawali dari sehari sebelumnya alias malamnya. Saya diharuskan puasa terlebih dahulu selama 10 jam dan direkomendasikan buat ambil darah pagi hari sebelum pukul 10.00. Jadi misalnya saya mau ambil darah pukul 07.00, saya sudah harus stop makan dari pukul 21.00. Kalau minum sih masih boleh selama minumnya air putih. Ambil darah ini akan dilakukan 2 kali dengan jeda 2 jam.
Pagi itu, di tengah mata yang sepet dan perut lapar berangkatlah saya dan suami ke Sammarie Wijaya. Saya sampai Laboratorium Westerindo sekitar pukul 06.30 dan harus menunggu 30 menit untuk menggenapi 10 jam puasa saya. Tepat pukul 07.00 darah saya diambil 1 tabung kecil guna pemeriksaan glukosa darah puasa. Setelah pengambilan darah pertama, petugas lab akan memberikan saya air gula untuk diminum sampai habis. Kemudian saya diharuskan menunggu sekitar 2 jam untuk kemudian diambil darah lagi guna pemeriksaan glukosa darah 2 jam PP.
Waktu menunggu 2 jam inilah yang membosankan dan bikin mati kutu. Saya dan suami ngantuk banget. Udah gitu saya juga lapar karena kondisi kehamilan yang makin membesar sementara saya terbiasa sarapan beberapa bulan terakhir ini. Rasanya lemes banget. Ditambah lagi di Sammarie Wijaya nggak ada ruang tunggu yang proper buat golar-goler ataupun kantin kalau sewaktu-waktu habis ambil darah yang kedua saya lemes pengen langsung makan. Alhasil saya dan suami cuma duduk sambil mainan hape. Mau merem juga nanggung banget.
Setelah 2 jam penantian, akhirnya pukul 09.00 saya kembali diambil darah di lab sebanyak 1 tabung kecil. Setelah itu prosesnya selesai deh. Hasilnya bisa didapat 2 hari setelahnya.
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Baca Hasil Lab dan Panen Obat)
Jumatnya, setelah hasil lab keluar, saya langsung konsultasi sama Prof Jacoeb buat baca hasil tes gula darah ini. Alhamdulillah dari hasil tes darah menunjukkan semuanya normal. Gula darah saya juga standar alias nggak melebihi batas. Prof Jacoeb cuma bilang, mungkin memang ini ibunya yang kebanyakan makan. Hahaha, emang iya sih.
Nah, ini saya kasih tahu biaya tes lab gula darah di Laboratorium Westerindo Sammarie Wijaya kala itu ya:
- Biaya tes lab gula darah: Rp 961.000
Semoga infonya bermanfaat ya!