Tak ada yang tahu usaha kami bolak-balik ke dokter demi Adik, bahkan orang tua dan kerabat kami terdekat pun tidak tahu. Hanya aku, suami, dan dokter yang tahu tentang bagaimana keadaan Adik. Kami berusaha dalam diam. Kami berdoa dalam ketegaran. Kami terus membangun harapan dalam keputusasaan dan bergelut lagi-lagi dengan rasa kehilangan.
Keesokan harinya, kami datang kembali ke dr Stefani dengan membawa hasil dari Klinik Anggrek. Seharusnya begitu hasil keluar, kami langsung bertemu dr Stefani agar bisa mendiskusikan langkah selanjutnya. Tapi hari itu kami tidak sanggup, lelah badan dan juga batin. Kami sudah tahu akhirnya akan seperti apa dan jalan apa yang akan diambil.
Tanpa harus registrasi sana-sini, kami bisa langsung masuk ke ruangan dokter. Ruangan yang biasanya ceria dengan sambutan dr Stefani yang tak kalah ceria, kini berubah. Semuanya mendadak muram dan mendung. Aku sudah menduganya. Kami sudah mempersiapkan segala kelapangan hati dan perasaan. Memberikan sedikit senyuman kegetiran. Dokter sampai bilang, bahkan kami masih bisa tersenyum dengan segala kondisi ini.
Oh Tuhan, memang tinggal senyum yang menopang kekuatan hati kita. Lalu apalagi? Kalau saja air mata ini ada batasnya, pastilah stok kami sudah habis. Jangan tanyakan bagaimana perasaan kami. Perasaan pasangan yang dua kali kehilangan harapan untuk memiliki anak. Pastilah hancur. Tapi belajar dari kehilangan Azka, jika semua terus ditangisi dan diratapi, akankah akan mengubah kondisi menjadi lebih baik?
Dokter berulang kali menghela nafas. Kami sudah sangat siap dengan kenyataan yang ada. Ini harus dihadapi. Rasanya tak mungkin menyalahkan apapun. Cara terbaik, rujukan terbaik, dokter terbaik dengan alat tercanggih sudah kami usahakan. Tetapi Tuhan berkehendak lain.
“Kalian jangan pernah menganggap bahwa semua ini adalah kesalahan kalian. Hamil adalah peristiwa alam. Seperti halnya mangga berbunga, tidak semuanya bisa menjadi buah.”
Jangan menyalahkan uterus bicornus, kelainan rahimku. Jangan menyalahkan riwayat IUFD terdahulu. Bahkan kemungkinan tentang diabetes melitus pun sangat kecil. Jika memang sang anak bisa survive, maka akan survive. Kata-kata dr Stefani menentramkan kami. Kami tahu, mungkin ini bagian dari seleksi alam. Tuhan tahu yang terbaik buat kami. Tuhan mendengar doa-doa kami. Tapi kali ini belum saatnya.
Dokter mempersilakan kami bertanya tentang apapun saat itu juga. Dokter bilang jangan memikirkan jauh ke depan lebih dahulu. Hadapilah besok, kita perbaiki satu demi satu. Apa yang paling dekat untuk dihadapi, persiapkanlah. Dan kami disarankan untuk tidak program hamil dahulu untuk menginvestigasi ada apa sebenarnya hingga kejadian kehilangan anak terjadi berkali-kali.
Akhirnya, dokter menyarankan aku untuk kuret. Itu adalah jalan terbaik daripada harus menghadapi perdarahan tak terduga di malam hari, misalnya. Memang, seiring berjalannya waktu, pasti janin yang tidak bagus akan terlepas sendiri. Tapi tidak tahu kapan dan antisipasi hal yang terburuk perlu dilakukan. Kuret tidak harus dilakukan dalam waktu dekat. Kami diberi waktu untuk persiapan mental.
Dan pertemuan kali ini lagi-lagi diakhiri dengan kata-kata “Sabar ya, Wi”.
-jawzq-
*gambar dari sini