Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Hari untuk kuret. Hari untuk ‘melepas’ Adik. Hari untuk merelakan Adik. Segala persiapan telah kami lakukan, termasuk persiapan yang paling penting, mental.
Hari-hari menjelang kuret aku isi dengan menenangkan diri. Menulis, beristirahat, dan membaca. Menikmati ‘me time’ bersama Adik. Mempersiapkan mental. Melepas kesedihan. Mengikhlaskan segala sesuatunya.
Hari Kamis, 2 Juli 2015 jam 13.00 adalah waktu perjanjian kami dengan dr Stefani untuk melakukan kuret. Lalu apa rasanya? Campur aduk. Khawatir, takut sakit, bahkan sedih. Tapi sedihnya kehilangan Adik tidak sesedih kehilangan Azka, karena saat Adik datang kami belajar, sudah siap akan skenario terburuk yang akan terjadi. Kalau ditanya sakit, jelaslah batin dan hati ini yang paling sakit.
Setelah daftar sana-sini, kami langsung diarahkan untuk menunggu di delivery room. Beruntung tidak banyak orang yang mau melahirkan disana. Kalau banyak pastilah dada ini lebih sakit, melihat mereka yang akan menyambut kedatangan anak sementara aku harus ikhlas melepaskannya. Aku pun diperbolehkan berbaring di delivery room setelah sebelumnya berganti baju ‘pesakitan’.
Tak lama kemudian, dr Stefani datang. Di sela-sela jadwal praktiknya, beliau menyempatkan menjenguk aku. “Sabar ya, Wi,” begitu kata-kata yang selalu diucapkannya. Entah ini kata sabar yang keberapa kali yang aku terima semenjak kehilangan Azka, dahulu. Kata ini menjadi begitu akrab, tapi seolah sangat sulit untuk diterapkan.
Kuret yang dijadwalkan jam 13.00 mundur menjadi jam 14.00 karena dokter menangani operasi caesar terlebuh dahulu. Rasa was-was, takut, khawatir, dan bayangan akan rasa sakit semakin menguar. Sanggupkah aku melampaui (kembali) sakit fisik yang ditimpa dengan sakitnya batin? Oh, beruntungnya aku memiliki suami yang selalu mendampingi. Selalu menguatkan dan berusaha ada untuk aku. Selalu menerima aku, apapun dan bagaimana keadaannya. Dear sayang, Azka dan Adik pasti bangga punya ayah sepertimu.
Akhirnya, waktu yang ditunggu pun datang. Dokter masuk ke ruangan melahirkan. Segala alat dari selang oksigen, pengukur tekanan darah, dll dipasang. Obat bius tak lama disuntikan dan dalam beberapa menit aku sudah tertidir. Begitu terbangun satu jam kemudian, segala proses sudah selesai. Sesederhana itu. Tak ada rasa sakit berlebihan yang dirasakan. Rasanya hanya seperti nyeri haid. Benar kata dr Stefani, ini jauuuh lebih sederhana dan lebih ringan dari melahirkan Azka dulu.
Dan mulai saat itu juga, Adik sudah tidak ada denganku. Dia sudah di surga. Adik bersama Kakak Azka di surga. Mereka malaikat-malaikat kecil kami yang tumbuh tanpa dosa di tempat terindah. Selamat bermain-main di surga Adik dan Kakak Azka. We love you…
Adik mengajarkan kembali pelajaran bagi kami. Bahwa segala sesuatu adalah kuasa Allah. Allah yang berhak memberi, tapi dengan cepat berhak pula mengambilnya. Anak adalah hak prerogatif Allah, sebagaimanapun kami mengusahakannya namun jika Allah belum menghendaki maka akan diambil kembali. Ya Allah, kami pasrah terhadap kehendakMu, tapi kami tidak akan putus asa untuk berusaha.
Adik membuka mataku lebih lebar bahwa ternyata aku memiliki suami yang sayangnya tak berbatas. Yang memperlakukan seorang istri bukan sebagai barang penghasil anak. Adik mengajarkan kami tentang kekuatan cinta dan keluarga. Adik adalah kekuatan yang mempererat hubungan. Adik adalah tabungan kami, tabungan surga.
Adik mengajarkan bahwa ternyata aku memiliki teman dan sahabat yang sangat baik. Yang selalu memberikan support. Yang membantu saat aku kesulitan. Beruntungnya aku, Adik membukakan mata bahwa aku dikaruniai teman, sahabat, dan lingkungan kerja yang sangat peduli.
“Mungkin belum rejekinya, Mbak. Sabar aja,” kata Ibu. Terima kasih untuk keluarga yang selalu menjadi penopang kerapuhan kami. Yang menjadi kekuatan melalui rapalan doa-doanya.
Terimakasih Adik, kamu adalah mukjizat. Kamu tetap menjadi kado terindah pernikahan kami. We love you, Adik…
Titip salam untuk Kakak Azka dari ibu dan ayah…
-jawzq-