Kami berubah pikiran. Rencananya hari Sabtu baru akan ke RS untuk melahirkan, tapi sesegera mungkin setelah second opinion itu tak ada bedanya, kami pun segera ke RS awal untuk melahirkan Azka dengan bantuan dr Arman. Kasian Azka kalo kelamaan, kata suamiku.
Aku sudah kebal. Tak ada rasa apapun hanya bisa menurut. Aku hanya terus berdoa agar diberi yang terbaik untukku dan juga Azka.
Aku langsung menuju lantai tiga RS, tempat dimana dr Arman merujukkan. Aku dan tanteku menunggu di ruang bersalin sementara suamiku mengurus administrasi persalinan normal. Ruangan ini kini begitu dingin. Dingin perih menusuk tulang. Dingin melihat mereka yang kesakitan dan berujung bahagia saat mengetahui bayinya lahir dengan selamat. Sementara aku akan melewatkan hari di RS untuk berjuang melahirkan bayiku yang sudah tak bernyawa.
Setelah selesai administrasi dan menunggu, dr Arman datang. Ini akan menjadi awal perjuanganku, perjuangan kita, Azka.
“Sabar ya Wi, maaf ini akan sedikit tidak nyaman buat kamu,” kata dr Arman saat memasukkan induksi ke jalan lahirku. Aku memang disarankan melahirkan normal. Ketika beberapa orang menginginkan aku operasi agar Azka bisa keluar dengan cepat.
“Kita jangan bicara operasi dulu. Kasian ibunya sama rahimnya kalo operasi nanti akan cacat dan harus nunggu lama untuk hamil lagi, apalagi masih muda. Biasanya cepet, satu atau dua hari ini sudah lahir. Sabar aja, ” ucap dr Arman terus memberikan keyakinan aku bisa melahirkan dengan normal.
Tidak nyaman. Memang benar kata dr Arman, tidak nyaman setelah induksi. Mulas, pegal, perut kencang, punggung panas. Tapi aku masih bisa bertahan. Bertahan demi my Azka.
Satu kali induksi, dua kali induksi, tiga kali induksi, empat kali induksi barulah aku merasakan rasa sakit yang luar biasa hebat. Rasa sakit yang konstan. Rasanya sudah tak bisa tidur. Ditambah lagi dua hari di RS dua hari pula aku demam. Entah kenapa, mungkin saking sakitnya. Induksi keempat inilah puncaknya sampai semua makanan yang aku makan harus keluar lagi. Semua orang mencoba menguatkanku. Iya aku kuat. Rasa sakit ini tak sebanding dengan sakitnya hati saat mengetahui Azka telah tiada.
Suamiku selalu menguatkanku.
“Aku mungkin ngga bisa ngerasain gimana sakitnya, tapi kamu harus kuat,” ujarnya.
Semua orang menguatkanku. Bahkan ibuku yang saat itu mendadak datang langsung ke Jakarta untuk menjagaku. Ternyata beginilah beratnya perjuangan menjadi seorang ibu. Iya ibu, ibu atas malaikatku yang sudah berada di surga.
Saking tak tahan sakitnya, aku akhirnya dibawa ke ruang tindakan. Cek bukaan ternyata masih bukaan dua. Harus menunggu sampai minimal bukaan empat untuk melahirkan Azka. Tak perlu sampai maksimal pembukaan karena bayinya kecil. Tapi saat itu sakit semakin kurasakan. Mulas sekali. Suamiku yang menemani tak henti-hentinya menyuruhku mengucapkan istighfar. Astaghfirullahaladzim…
Sekitar seperempat jam aku berada di ruang tindakan sakit semakin menjadi sampai akhirnya aku teriak yang diikuti sesuatu yang keluar, entah apa dari jalan lahir. Ada air menyembur dan sesuatu yang ingin keluar lagi. Dan kata suamiku itu bayinya. Dalam sekali mengejan aku bisa mengeluarkannya. Diikuti entah apa, sepertinya tali ari-ari yang keluar. Aku bahkan buta sama sekali cara mengejan karena belum sempat mengecap senam hamil. Suamiku yang panik memanggil perawat jaga. Tak beberapa lama beberapa perawat masuk. Ada yg menyiapkan alat, ada yang menyuntikkan sesuatu. Tak kusangka Azka lahir secepat itu, semudah itu.
Sirna sudah semua rasa sakit. Plong rasanya. Tak berapa lama dr Arman datang, membersihkan dan mengeluarkan ari-ari entah menggunakan alat apa yang sesekali aku merasakan sakit karena tajamnya. Tapi aku tak peduli. My Azka telah lahir. Betul prediksi semua orang, ia baby boy. Kecil dan semua anggota fisik luarnya telah lengkap. Wajahnya mirip suamiku. Ia meringkuk, diam tak bergerak. Malaikat kecilku yang lebih disayang Allah.
Rasa sakit fisik pun semua telah hilang, berganti sakit di batin. Iya, sakit, sakit sekali. Rasanya hampa. Melahirkan tanpa tangisan bayi. Aku melahirkannya. Aku melahirkan my Azka, tanpa bisa mendengar tangisnya. Tanpa bisa memeluknya…
Ibu sayang Azka :*