Walaupun rasanya teramat berat, tapi saya sudah ikhlas banget ketika setelah tahun ajaran baru Aqsa hampir setiap bulan kena batuk karena memang saat itu lagi musim banget. Virusnya seolah nggak bisa terelakkan. Apalagi pas awal-awal tahun ajaran baru 2022, kayaknya setiap anak yang pulang sekolah dapat oleh-oleh batuk. Sampai akhirnya saya tahu celah untuk mencegahnya dan batuk per bulan pun lambat laun mulai berkurang di akhir 2022. Tapi ternyata saya salah…
Awal 2023 seperti jadi petaka karena saya lengah. Aqsa yang punya alergi, saya anggap biasa batuknya. Pandemi yang sudah mereda pun bikin saya sangat longgar dengan aturan memakai masker saat bermain. Pun dengan peraturan bermain bersama teman. Kalau dulu ketika ada teman yang batuk atau sebaliknya, Aqsa saya larang main. Nah saat itu saya kecolongan.
Hingga akhir Januari 2023 dia batuk. Saya pikir batuknya karena alergi seperti biasa karena tidak berdahak. Tapi lama-lama frekuensinya semakin banyak. Melihat dia batuk setiap hari, rasanya sebagai orang tua kalau mengalami sangatlah lelah. Apalagi ini buat dia yang masih anak kecil. Karena batuk inilah, kami terpaksa belikan dia obat, padahal kalau batuk karena alergi biasa, kami memilih buat membiarkannya karena nantinya sembuh sendiri.
Tapi sayangnya oleh pihak apotek, kami diberikan obat dengan label merah alias keras. Melihat batuknya yang tak kunjung sembuh dan nggak mau dia minum obat label merah tanpa anjuran dokter, saya pun memilih buat membawanya ke klinik saja. Kebetulan pas hari itu ada slot pasien dan pas ada praktik dokter.
Dokter bilang, ada banyak kemungkinan Aqsa batuk. Dilihat dari riwayatnya yang saat itu sudah sekitar 3 mingguan, bisa jadi dia alergi. Atau bisa jadi juga dia asma karena saya cerita juga kalau dia pernah ada menginya pas batuk. Cuma saat itu belum ada tegak diagnosis yang pasti kalau dia asma.
Akhirnya kami pun pulang dengan membawa obat dan diagnosis antara alergi atau asma. Oleh karena itu, diusahakan Aqsa untuk tidak makan gorengan yang bermicin atau cokelat dulu karena makanan ini bisa jadi pemicu.
Beberapa hari dari dokter, batuk mereda. Better banget kalau dibandingkan dengan kondisi saat hari di mana dia ke dokter. Sayangnya, obat sudah habis dan sudah beberapa waktu berlalu tapi batuknya nggak clear. Jadi walaupun frekuensi batuknya nggak separah dulu tapi setiap hari masih adaaaa aja batuknya. Dan karakteristik batuknya adalah beruntun. Jadi tiap batuk, ada beberapa kali dalam sehari dan kadang sampai bikin mukanya merah. Parahnya lagi, semakin ke sini, batuknya diiringi sama muntah.
Karena sudah bolak-balik muntah yang bikin semua isi perutnya keluar, saya udah duga ada yang mungkin nggak beres sama batuknya. Apalagi kalau berturut-turut setiap hari hujan, batuknya akan semakin parah. Setiap batuk, bisa beruntun beberapa kali sampai mukanya merah. Nggak tega, saya pun memilih booking dokter lagi. Sayangnya, pas lagi parah-parahnya karena batuk dan muntah muluk, kok ya dokternya nggak ada. Selain dokter langganan pada cuti, di RS lain pun jadwal dokter kosong karena saya ingat banget hari itu jelang weekend.
Harus bersabar 2 hari sambil berusaha ikhlas dengan batuk dan muntahan every single day, saya pasrah. Masalah BB jangan ditanya lagi deh. Beberapa minggu sebelumnya target BB yang sudah tercapai walaupun masih beberapa bulan lagi ke DSA langganan kemudian hancur sudah. Hanya dalam waktu kurang dari seminggu BB Aqsa turun hampir sekilo. Padahal naikinnya mati-matian. Inilah kenapa saya benci banget sama batuk yang menyerang Aqsa.
Hingga pada akhirnya kami kembali ke dokter yang menangani Aqsa akhir tahun 2022 lalu. Saya sudah siap kalau tegak diagnosis asma, apalagi kalau alergi karena saya juga ada riwayat alergi. Tapi pas begitu saya cerita semuanya ke dokter termasuk riwayat dia pernah mengi, alergi, dan dicurigai asma, tapi dokter malah menganalisis lain. Dokter bertanya dan mempraktikkan apakah Aqsa batuk dengan ciri yang terus menerus dalam satu waktu tapi frekuensinya tidak terlalu sering. Dan kami jawab ya.
Jadi, kalau dilihat dari ciri-cirinya, ada beberapa yang menonjol di Aqsa, seperti:
- Batuk tidak kunjung sembuh atau clear setelah beberapa minggu (Hampir sebulan)
- Tidak melulu batuk dalam sehari tapi sekalinya batuk beruntun sampai bikin mukanya memerah
- Batuknya batuk kering, tidak berdahak
Dari situlah tegak diagnosis kalau ternyata yang seperti ini namanya pertusis alias batuk rejan atau batuk 100 hari. Dokter juga sudah periksa, katanya tidak ada dahak di parunya yang jadi penguat batuknya adalah pertusis.
Menurut dokter yang memeriksa, pertusis ini dikarenakan bakteri bukan virus. Jadi Aqsa dikasih antibiotik untuk obatnya. Batuknya memang khas seperti yang Aqsa alami tapi pertusis ini cukup berbahaya karena menular. Makanya dokter sampai tanya siapa anggota keluarga yang sudah merasakan batuk juga karena beliau pun kasih resep antibiotik untuk anggota keluarga yang batuk dan resep itu bisa diulang.
Dokter pun sempat heran karena Aqsa pertusis dan menanyakan status imunisasinya. Tapi seperti yang sudah tertera di buku KIA, imunisasi DPT Aqsa lengkap bahkan sudah booster beberapa kali. Dari sini, dokter menganalisis kemungkinan tertularnya bisa jadi karena memang lagi musim. Dan saya garis bawahi juga kalau dia TERTULAR, tapi entah dari mana.
Pertusis ini menular banget. Hampir kayak TB karena sama-sama penyebabnya adalah bakteri. Oleh karena itu, selain harus minum antibiotik, Aqsa juga harus dikarantina terlebih dahulu agar nggak menular kemana-mana. Dari situlah, selain hancur hati ini sebagai seorang ibu, banyak rencana jadi harus batal atau tertunda dulu. Kami nggak bisa kemana-mana atau ketemu saudara dulu karena ngeri menularkan.
Pertusis ini kata dokter sangat berbahaya kalau menular ke bayi atau ibu hamil. Pada bayi baru lahir bahkan sangat berbahaya karena batuk yang terus-menerus bisa bikin bayi membiru dan menyebabkan kematian. Sedangkan pada ibu hamil, bisa menyebabkan pecah ketuban atau melahirkan mendadak karena batuk yang terus-terusan akan menekan janin. Sedih banget lah, kami terpaksa batal untuk mengunjungi sepupu Aqsa yang mana usianya lebih kecil dari dia dan ibunya sedang hamil.
Trus kapan pertusis sembuhnya?
Hanya minum antibiotik hingga habis tidak lantas langsung sembuh. Seperti halnya namanya, batuk 100 hari, jadi kami harus menunggu sekitar 100 hari sampai benar-benar sembuh. Entah 100 harinya dihitung dari kapan kami juga nggak tahu. Entah dari awal dia batuk (akhir Januari) atau dari hari dekat-dekat dengan kunjungan dokter yang terakhir yang mana adalah awal Maret. Tapi yang pasti ini adalah 100 hari terlama buat saya yang harus berusaha tegar melihat tiap hari Aqsa batuk dan muntah.
Progress setelah beberapa hari minum antibiotik pun tidak begitu kelihatan karena batuk masih ada. Kunci dari penyakit ini adalah bersabar 100 hari. Saya juga sedih karena batuk Aqsa nggak clear-clear. Padahal saat itu adalah saat-saat tersibuknya karena masih masuk McKids dan les Bahasa Inggris di part-part terakhir.
Saya masih ingat, tiap masuk kelas McKids atau Bahasa Inggris, saya selalu harus siap tisu kering dan tas kresek kalau-kalau dia batuk parah, pengen meludah, atau mau muntah. Saya pun kembali ketat banget sama aturan masker. Saat di kelas atau main sekalipun, Aqsa harus bermasker. Bahkan di awal-awal waktu penghabisan obat, dia kami karantina sama sekali nggak boleh keluar.
Muntahnya gimana? Masih ada walaupun sudah nggak seperti sebelumnya yang setiap hari. Tapi kali ini muntahnya bisa tak terduga kayak bangun tidur cuma batuk uhuk-uhuk sedikit tiba-tiba muntah aja. Dahlah di masa-masa itu memang cucian baju saya jadi banyak banget tiap hari karena muntahan.
Frekuensi batuknya pun timbul tenggelam banget. Ada masa- masa frekuensi batuknya dikit tapi tiap kali batuk sampai mukanya memerah. Ada juga masa-masa dia batuk tiap malam alias pas tidur sehingga tidurnya jadi nggak berkualitas banget. Trus ada juga saat-saat Aqsa batuk tiap 5 menit sekali dan itu batuknya parah banget sampai mukanya merah dan hampir muntah. Pokoknya kalau diingat saat-saat itu sedih banget.
Saya juga nggak berdaya. Mau kasih obat batuk sirup, takut salah karena isu gagal ginjal anak dan amanat dokter yang menyuruh kami bersabar sampai 100 hari. Akhirnya, saya cuma bisa balurin dada Aqsa pakai balsam atau essential oil. Kami juga melarangnya buat makan makanan rasa cokelat karena kalau ditandain, Aqsa akan batuk sangat parah setelah makan makanan yang ada rasa cokelatnya.
Saat batuk sedang parah-parahnya dan saya hampir hopeless, saya sempat nanya di grup yang berisi emak-emak untuk gimana cara menangani batuk dengan obat tradisional. Banyak yang menyarankan buat minum rebusan sirih merah, paling nggak untuk memperingan batuknya walaupun nggak menyembuhkan. Dan benar saja, karena pengen anak nyaman, ikhtiar itu pun saya lakukan. Saya beli sirih merah di shopee dan langsung rebus. Kebetulan suami juga udah mulai ketularan batuk. Mereka pun sengaja saya sedikit ´paksa´ untuk minum rebusan air sirih itu yang puaahiiitt banget.
Reaksi Aqsa minum sirih merah tuh sampai nyengir-nyengir. Padahal biasanya se-nggak enak apapun asal tittle-nya ´obat´ dia suka. Kayak air kencur hangat yang pengar aja dia suka. Tapi reaksi dia sedikit kapok saat minum rebusan sirih merah ini karena kata suami emang pahit banget. Suami saja sampai trauma. Tapi ya mau gimana lagi, namanya juga buat kesembuhan.
Selain ikhtiar sirih merah pas batuk lagi parah-parahnya, minum jeruk nipis plus kecap juga kami jalankan. Pokoknya apapun, yang tradisional, saat itu dilakukan biar batuknya mereda. Alhamdulillah setelah 3 harian, batuk yang frekuensinya parah banget ini makin mereda.
Selain Aqsa dan ayahnya, saya juga sempat ketularan batuk. Nggak yang parah banget sih tapi cukup mengganggu dan untungnya saya bisa tebus antibiotik yang diresepkan dokter. Saya minum antibiotik sampai habis. Trus karena mendengar cerita traumatis suami yang minum rebusan sirih merah, saya nggak mau ikut nyobain karena takut, hehe.
So far, hampir sebulan sejak Aqsa ke dokter dan didiagnosis pertusis sekarang kondisinya sudah sangat membaik. Batuk belum clear, masih ada dikiiiiitt batuknya, dan BB sudah mulai naik. Memang obatnya hanya sabar menunggu sampai 100 hari.
So, dari masa-masa berjuang melawan pertusis ini, ada beberapa insight yang bisa saya rangkum:
- Kalau ada batuk pada anak (atau dewasa) yang nggak sembuh-sembuh dan tiap kali batuk beruntun berkali-kali, coba cek ke dokter barang kali terkena pertusis
- Yang sudah terkena pertusis, please banget karantina dulu dan jangan banyak berinteraksi dengan orang-orang untuk memutus mata rantai penularannya
- Hindari bertemu bayi dan ibu hamil terlebih dahulu jika memang didiagnosis pertusis
- Tetap disiplin prokes termasuk memakai masker pada anak karena kita nggak tahu orang yang berinteraksi dengan anak membawa penyakit apa
- Pertusis menular lewat droplet, layaknya covid-19. So, selalu waspada kalau ada atau bertemu dengan lingkungan yang terdapat penderita batuknya.
- Habiskan antibiotik agar bakteri penyebab pertusis bisa musnah, husshh…husshhh…
- Sabar untuk kesembuhan penyakit ini karena kuncinya memang harus menunggu sekitar 100 hari
- Jangan lupa bekali anak dengan vaksin DPT agar tidak mudah tertular pertusis dan kalaupun tertular tidak terjadi komplikasi yang berlebih
- Berdoa agar kita dan anak-anak selalu dijauhkan dari wabah, virus, bakteri, dan penyakit apapun itu.
Itu dia pengalaman saya dan keluarga melawan pertusis atau batuk 100 hari atau batuk rejan. Buat kalian yang pernah berjuang melawan batuk rejan juga, yuk share pengalamannya di kolom komentar! Biar kita bisa berbagi ilmu bersama.