Sejak pandemi menyerang hingga Bulan September 2020, hampir satu tahun kami sekeluarga tidak pulang kampung. Ini rekor terlama kami nggak pulang kampung sepanjang sejarah. Padahal biasanya kami biasa pulang kampung setiap 3-4 bulan sekali. Walaupun dulu saya sering nggak mudik saat Lebaran pas jadi wartawan, tetap saja dalam satu tahun saya sempatkan buat pulang kampung setiap beberapa bulan sekali. Namun, pandemi kini mengubah semuanya termasuk jadwal pulang kampung kami.
Sebenarnya, Maret 2020 kami sudah merencanakan pulang kampung untuk mengunjungi orang tua sekaligus menengok adik ipar saya yang melahirkan. Tapi, seminggu sebelum pulang kampung ternyata diberlakukam WFH (work from home) sekaligus social distancing. Akhirnya, tiket pulkam pun terpaksa kami batalkan semuanya. Dan sejak Maret hingga September 2020 kami hanya di rumah saja tanpa sempat pulang kampung. Padahal, terakhir kali kami pulkam adalah Oktober 2019 lalu.
Awal WFH rasanya ya santai-santai saja tapi semakin ke sini semakin menyesakkan. Apalagi saat new normal diberlakukan, tetap saja saya yang punya anak kecil masih nggak bisa kemana-mana. Selain nggak bisa, kami juga nggak mau karena parno. Jadilah saya memutuskan di rumah saja terus. Cuma yang kasihan memang Aqsa. Dia nggak bisa kemana-mana, palingan hanya terkadang main dengan tetangga kanan kiri.
Ternyata 8 bulan di rumah aja ya sejujurnya kami nggak baik-baik saja. Kami mencoba menjadi ideal di situasi yang tidak ideal dan ternyata susah sekali. Belum lagi faktor-faktor eksternal yang membuat tekanan di rumah saja menjadi semakin besar, seperti sebelah rumah saya yang sedang membangun rumah lalu debunya ke arah rumah kami semua. Belum lagi asap dan suara mesin molen yang mengarah ke teras kami. Lalu Aqsa yang terkadang suka ketakutan mendengar suara tembok diketok karena ia mengira itu tikus. Rumah kami, satu-satunya tempat paling nyaman akhirnya menjadi tidak nyaman. Kami nggak bisa sekadar keluar ke teras hanya untuk duduk-duduk karena bau asap mesin molen. Padahal, teras satu-satunya tempat buat menghirup udara segar. Akhirnya, hanya kamar kami lah yang menjadi pusat kegiatan.
Ini baru satu faktor eksternal. Faktor eksternal yang lain adalah banyaknya teman-teman main anak saya yang ke rumah setiap hari, dari pagi hingga malam. It´s okay kalau bukan di situasi pandemi, walaupun saya benar-benar harus berkompromi dengan rumah berantakan. Nah, saat pandemi ini yang nggak bisa saya toleransi. Apalagi beberapa orang tua mereka bekerja di fasilitas umum seperti mall, hotel, atau event organizer.
Faktor lainnya adalah kesehatan mental kami, saya dan suami khususnya. Kami sudah mulai sering emosi dan nggak sabaran. Bingung menghadapi tingkah Aqsa yang menuju terrible two, sedang belajar mengatur emosinya, dan juga jadi agresif ketika melihat gadget. Sebenarnya terrible two sama belajar manajemen emosi sangat bisa kami hadapi, tapi bagian agresif sama gadget itu yang bikin serbasalah. Bukan salah Aqsa sih sebenarnya kalau dia jadi agresif saat melihat gadget karena memang sehari-hari saya dan suami bekerja dari gadget. Namun, ada kalanya kami bingung mau mengalihkan gadget dengan apa lagi nih? Apalagi saat kami sudah kelelahan.
Akhirnya kami putuskan buat pulang kampung saja. Pulang kampung kali ini bertepatan dengan akan diberlakukannya PSBB jilid 2 di Jakarta. Tapi pulkam kami nggak dadakan karena akan dilakukan PSBB, kami sudah merencanakannya jauh-jauh hari saat new normal sudah diberlakukan agak lama.
Rencananya…
Awalnya, kami berniat pulang awal Agustus, saat new normal udah agak lama berjalan, bersama sepupu suami yang akan bergantian menyetir. FYI, suami saya belum pernah menyetir sampai luar kota sendirian, bahkan sampai Bogor-pun belum pernah. Sementara dia baru lancar menyetir awal tahun ini. Karena banyak urusan yang masih harus dilakukan, akhirnya rencana pun mundur hingga awal September. Namun ternyata awal September pun batal karena sepupu suami masih ada urusan di kampus. Padahal saat itu kami sudah bilang ke orang tua dan mulai nyicil packing. Kami juga sudah menjaga banget stamina agar saat pulkam nggak ada yang dalam keadaan sakit.
Nah, saat tiba-tiba PSBB jilid 2 diumumkan kami jadi gamang. Pilihannya hanya ada pulang atau tidak pulang. Jika pulang, kami akan agak buru-buru dan suami menyetir sendiri. Padahal kami belum tahu medan (bahkan ini pertama kali buat saya pulkam menggunakan kendaraan pribadi dan jalur darat) dan suami akan menyetir berjam-jam sendirian. Jika nggak pulang, kami akan terperangkap di rumah dengan segala ketidaknyamanannya. Akhirnya kami putuskan untuk pulkam dengan modal bismillah.
Di Perjalanan…
Well, ini mungkin nggak patut dicontoh, pulang kampung saat pandemi. Tetapi saya yakin, setiap orang punya alasan sendiri termasuk bagi mereka yang harus pulang karena di-PHK atau putus kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja. Pun termasuk kami yang pulkam karena rumah sangat tidak nyaman apalagi bagi anak-anak. Dengan bismillah, akhirnya kami modal nekad pulang kampung.
Kalau ditanya rapid dulu atau tes yang lain nggak sebelum pulang? Nggak. Kami nggak sempat karena serba terburu-buru. Di pikiran kami saat itu adalah sebelum PSBB, kami harus keluar dari Jakarta.
Yang ada di pikiran kami juga saat itu adalah kami sekeluarga sehat dan orang tua yang di kampung halaman semuanya sehat.
Kalau ditanya khawatir nggak kalau jadi OTG atau bawa virus? Khawatir banget. Apalagi yang akan kami tengok bisa dibilang usianya sudah lanjut. Oleh karena itu, sepanjang perjalanan kami usahakan nggak keluar mobil kecuali kalau pengen ke toilet. Toilet umum pun kami pilih yang sepi. Salat juga kami lakukan di mobil dan bawa peralatan salat sendiri. Kami juga bekal makanan, patuh protokol kesehatan, selalu cuci tangan, sedia hand sanitizer ukuran besar di mobil, hingga akhirnya tiba di rumah kami nggak langsung cipika-cipiki terlebih dahulu. Kami harus mandi dan bebersih, baru deh salaman dan cipika-cipiki dengan orang tua. Saat itu, kami pertama tiba di rumah suami saya.
Kami berangkat sepagi mungkin, waktu itu sekitar pukul 07.00 pagi dari rumah. Niatnya adalah agar sampai kampung halaman tidak terlalu malam karena kalau malam hari penglihatan suami saya nggak begitu peka. Selama dalam perjalanan, kami hanya berhenti 3 kali. Yang pertama untuk beristirahat (mengistirahatkan mobil dan suami yang menyetir sendirian) serta nenenin Aqsa di rest area Tol Cipali. Itu pun kami hanya sebentar, sekitar 30 menit dan tanpa keluar mobil. Selama mobil dimatikan, cuaca saat itu panas buaanget. Untungnya kami sudah bawa flashdisk yang isinya video lagu-lagu anak buat Aqsa. Jadi biar dia nggak bete, kami setelkan lagu anak-anak, nggak cuma saat istirahat sih, saat mobil jalan pun kadang kami putarkan lagunya.
Istirahat selanjutnya kami lakukan di sebuah SPBU di Purwokerto pada sore hari sekalian suami saya makan dan mengistirahatkan mobil. Yang terakhir, kami istirahat sebentar banget (ini lebih sebentar dari istirahat sebelum-sebelumnya), mungkin hanya sekitar 15 menit, di Kutowinangun sekalian salat. Totalnya kami berhenti 4 kali, 3 kali istirahat dan sekali ke toilet di daerah Brebes.
Di Kampung Halaman…
Pulang kampung saat pandemi nggak memberikan kami kebebasan layaknya pulang kampung yang biasanya. Kami juga punya ketakutan kalau menyebarkan virus atau tertular virus. Oleh karena itu selama di kampung halaman, kami juga melakukan isolasi mandiri tanpa diminta. Kami nggak kemana-mana selama 2 minggu. Niat hati padahal pengen nongkrong atau pergi ke suatu tempat, apalagi ada teman yang mengajak saya ketemuan. Tapi kami belum berani, apalagi dengan membawa anak kecil.
Praktis, hari-hari kami di rumah ya paling dilakukan buat rebah-rebahan atau kerja. Yang paling senang sih justru Aqsa karena walaupun di rumah saja, dia punya banyak wahana ´permainan´ baru yang justru bikin dia betah. Kalau di rumah mertua saya, dia paling senang mainan gabah. Apalagi saat itu sedang musim panen yang mana setiap hari pasti ada kegiatan menjemur gabah. Nah, Aqsa yang sedang antusias ke banyak hal jadi punya media belajar yang berlimpah di sekelilingnya.
Ada kalanya kami juga bosaaann banget di rumah. Kalau sudah begitu, palingan kami refreshing sejenak dengan jalan-jalan atau naik sepeda ke sawah, Itu pun kalau di rumah mertua saya. Kalau di rumah ibu saya yang lumayan padat permukimannya dan sudah jarang sawah ya kami di rumah aja.
So, kalau ditanya tipsnya apa buat pulang kampung di masa pandemi, yang akan saya tekankan adalah nggak usah pulang kampung dulu kalau nggak ada alasan yang mendesak banget. Kita nggak tahu apakah kita OTG atau bukan atau malah orang di kampung halaman bawa virus atau nggak. Semuanya serba nggak pasti. Tapi kalau memang terpaksa banget harus pulang kampung, beberapa tips yang bisa saya berikan antara lain:
- Pulang kampung dengan membawa kendaraan pribadi lebih aman dibandingkan kendaraan umum. Jadi untuk yang punya kendaraan pribadi, kalau memang memungkinkan lebih baik pulang kampung bawa kendaraan sendiri.
- Better tes kesehatan terlebih dahulu, minimal rapid test, syukur-syukur malah swab sekalian
- Jangan pulang kalau lagi tidak enak badan atau tidak fit
- Sebelum pulang, usahakan jangan ke tempat-tempat atau melakukan sesuatu yang erat kaitannya dengan penularan virus corona
- Jangan lupa pakai masker, face shield, tisu basah, alat ibadah, alat makan, hingga hand sanitizer untuk menjaga keamanan diri dari virus
- Sesaat setelah sampai di kampung halaman, langsung mandi dan membersihkan diri serta mencuci semua pakaian yang dikenakan selama perjalanan
- Melakukan karantina mandiri di rumah dan nggak usah kemana-mana (bahkan silaturahmi dengan tetangga) terlebih dahulu demi keamanan bersama
- PATUH PATUH PATUH dengan protokol kesehatan saat pulang hingga di kampung halaman
Itu dia pengalaman dan tips yang bisa saya berikan bagi yang mau pulang kampung di saat pandemi. Beberapa poin dari tips ini juga bisa diterapkan buat yang mau bepergian jarak jauh di masa pandemi juga kok. Doa saya dan mungkin doa semua orang adalah semoga pandemi ini lekas berlalu biar kita bisa hidup seperti dahulu, tanpa ketakutan, tanpa kecurigaan.