Saya pernah hampir putus asa di tengah-tengah program hamil dan bilang sama suami ¨Kalau promil ini adalah sebuah perjalanan dan punya anak adalah destinasi, trus gimana kita tahu sejauh mana destinasi itu berada? Kalau memang destinasinya jauuuhhh banget, kita bisa menempuh banyak cara buat ´ngebut´ biar cepat sampai. Nah kalau ternyata destinasi itu nggak ada di kehidupan kita gimana?¨
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Menetapkan Hati saat Program Hamil)
Setiap pasangan yang sedang berikhtiar buat memiliki keturunan sepertinya punya titik lemahnya sendiri. Keputusasaan pasti datang pada mereka yang sudah bertahun menikah tapi belum kunjung juga dikaruniai anak atau diberi kegembiraan berupa garis 2 di alat test kehamilan. Keputusasaan lebih besar juga bisa saja datang tatkala sudah berusaha dengan segenap jiwa raga namun kegagalan demi kegagalan yang melulu diperoleh. Dan ketika membaca sebuah buku atau mendengar kisah mereka yang sama-sama sedang berjuang untuk memiliki momongan, saya selalu merasa tidak sendirian.
Blurb
Manusia bilang di mana ada kehidupan, di situ ada harapan. Tapi bagiku, ruh yang telah dinasibkan di Lauhul Mahfuzh, selama manusia memelihara harapan, maka aku akan selalu hidup.
Dari Alam Rahim, aku menyaksikan bagaimana kedua orang tuaku jatuh bangun memerolehku. Melewati puluhan terapi, menghadapi ratusan jarum suntik, sayatan pisau operasi, berkali inseminasi, dan gagal bayi tabung, bahkan sampai menuai badai depresi.
Meski segala ilmu manusia akhirnya bertekuk lutut pada Pencipta Ilmu Segala Ilmu, kedua orangtuaku tak menyerah. Bahkan setelah ibu menjadi ´tak sempurna´ karena upayanya.
Tahukah apa yang membuat Pencipta bisa luluh pada hamba-Nya? Dengan segala usaha dan penyerahan sepenuhnya, takdirku ke dunia dihantarkan oleh ribuan malaikat yang bersujud pada manusia-manusia yang sabar dan berupaya.
Inilah kisahku. I am Sarahza.
Review
Judul: I AM SARAHZA, Di Mana Ada Harapan, Di Situ Ada Kehidupan
Penulis: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit: Republika Penerbit
Tanggal terbit: April 2018
Jumlah Halaman: 370
Kalau ditanya nangis nggak baca buku ini? Maka akan saya jawab, nggak. Kenapa? Soalnya saya nangisnya udah dulu-dulu, jauh sebelum buku ini ditulis oleh Hanum dan Rangga. Saat saya masih sering baca caption di instagram dan page-nya Hanum Salsabiela. Dulu baca captionnya Hanum Salsabiela aja saya udah mrebes mili sesenggukan, tapi justru caption itu yang akhirnya jadi lecutan buat saya buat semangat meneruskan program hamil lagi. Makanya pas baca Sarahza ini mungkin saya udah ´kebal´ atau mungkin karena kondisi psikologis saya pas baca buku ini sudah hamil makanya nggak nangis.
Bagi yang sudah membaca sekilas blurb-nya pastilah tahu kalau inti besar dari buku ini adalah tentang perjuangan sepasang suami istri yaitu Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra untuk mendapatkan momongan. Dan jawaban dari doa serta perjuangan mereka datang berbelas tahun kemudian dalam bentuk Sarahza. Oleh karena itu Sarahza bermakna pejuang tangguh. Bagaimana detail perjuangan mereka selama hampir 11 tahun itulah yang tertuang dalam cerita di buku ini. Bukan cuma tentang perjuangan mendapatkan momongan, tetapi buku ini juga bercerita tentang perjuangan Rangga mendapatkan Hanum dan perjuangan mereka mempertahankan apa yang telah mereka bina selama pernikahan.
Di sini Hanum dikisahkan sebagai seorang wanita modern yang punya ambisi besar dalam berkarir namun cepat mengalami pergolakan atau naik turun emosi. Sedangkan Rangga dikisahkan sebagai laki-laki ‘lurus’ yang tulus mencintai. Dan Sarahza adalah sebuah ruh yang ‘menunggu’ di Lauhul Mahfuzh dengan banyak harapan.
Buku ini mengambil 3 sudut pandang pencerita yaitu Hanum sebagai seorang istri, Rangga sebagai seorang suami, dan Sarahza sebagai seorang yang ´menunggu´ sedang diperjuangkan dan berada di alam Lauhul Mahfudz sebagai setting-nya. Ketiganya punya sudut pandang tersendiri. Setting cerita Hanum-Rangga berada di Jogja, Jakarta, hingga Wina. Sedangkan alur cerita buku ini menurut saya menanjak dan menguras emosi yang sangat di bab-bab menuju akhir. Akhir cerita pun berujung bahagia. Namun yang bikin penasaran justru proses-proses di dalamnya. Walaupun begitu, menurut saya setiap bab juga punya klimaksnya sendiri yang juga nggak kalah bisa mengaduk emosi pembaca.
Saya bukan pecinta dan pembaca setia buku-buku Hanum Salsabiela Rais tapi saya tahu kalau kata-kata yang ia rangkai dalam sebuah buku menarik untuk dibaca. Lha kalau nggak menarik kan pasti buku-buku sebelumnya nggak akan pernah jadi best seller bahkan diangkat hingga ke layar lebar toh? Inilah kenapa untuk urusan perangkaian kata-kata, buku ini sudah tidak diragukan lagi. Makanya banyak testimoni pembaca yang lain yang ikutan menangis, khususnya mereka yang sedang berjuang memiliki momongan.
(Baca juga: Jangan Katakan Ini Pada Perempuan yang Belum Memiliki Anak)
Sebagai sebuah buku yang diambil dari kisah nyata penulisnya, Hanum dan Rangga cukup detail untuk menceritakan bagaimana proses perjuangan mereka, bagaimana pergolakan batin mereka, bagaimana emosi mereka menerima setiap hasil setelah banyak proses yang dilalui, dan bagaimana cara mereka tetap bisa survive serta menjaga kewarasan setelah kegagalan yang diperoleh. Bahkan di buku ini pula saya jadi tahu bahwa karya-karya buku yang ditulis oleh Hanum tadinya adalah sebuah side activity yang justru akhirnya membawa namanya menjadi deretan penulis buku religi papan atas Indonesia. Yah, kita nggak pernah tahu kan kalau mungkin saja pekerjaan yang tadinya hanyalah iseng justru bisa jadi hasil yang sangat membanggakan.
Walaupun sebagian besar buku ini menceritakan tentang perjuangan program hamil, which is harusnya banyak kata-kata atau istilah medis yang sulit dimengerti namun Hanum dan Rangga bisa memberikan gambaran yang mudah dimengerti soal istilah-istilah tersebut. Pun dengan bagaimana mereka bisa menggambarkan emosi yang dialami dan menyampaikannya pada pembaca buku.
Tapi bukan saya namanya kalau mereview buku tanpa alasan. Buku I AM SARAHZA ini merupakan salah satu buku yang saya tunggu karena keberadaannya menguatkan saya sebagai sesama pejuang momongan. Iya, sebut saja saya membacanya karena ada kedekatan sisi psikologis antara saya dan Hanum, sama-sama pejuang momongan. Jauh sebelum buku ini ada yaitu saat masih diworo-woro di instagramnya Hanum Salsabiela, ini berarti saat saya juga masih masa-masa program hamil, saya udah mengincar buku ini. Bukannya tanpa alasan, buku ini saya anggap menjadi ´teman´ untuk menemani masa-masa sulit saya saat program hamil.
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Hallo, Prof Jacoeb)
Namun, motivasi sesungguhnya saya membaca buku ini lantaran tulisan-tulisan Hanum Salsabiela yang secara nggak langsung melecutkan semangat saya buat tak putus asa saat program hamil. Yang membuat saya berprinsip, yang penting mencoba dulu sampai semampumu biar Allah kemudian yang turun tangan. Maka apresiasi terbesar saya dengan semangat yang secara nggak langsung ditularkan Hanum ini adalah dengan membeli dan membaca buku yang judulnya diambil dari nama anak pertama mereka.
Buku ini juga bisa jadi sarana bersyukur saya saat mulai letih program hamil. Toh nyatanya kalaupun saya belum hamil ataupun sudah seperti sekarang ini, buku ini tetap menjadi sarana saya bersyukur. Misalnya saya membaca buku ini saat kondisi belum hamil, saya akan mereasa tertemani oleh perjuangan Hanum-Rangga. Merasa terlecut juga dengan semangat berusaha mereka. Usaha saya mungkin belum ada seberapanya ketimbang usaha yang dilakukan Hanum-Rangga. Apa yang saya keluarkan baik itu tenaga, materi, atau waktu juga belum ada sepersekiannya dari apa yang Hanum-Rangga lakukan. Malu saya kalau menyerah dan kalah begitu saja.
(Baca juga: Ikhtiar Itu Bernama Program Hamil)
Nah, karena kondisinya saya membaca saat sedang hamil, maka buku ini bisa menjadi semacam tempat bersyukur buat saya. Hanum-Rangga harus menjalani puluhan terapi dan tindakan untuk mendapatkan kabar baik berupa garis 2, sementara saya hanya butuh 3 kali program hamil dan insyaallah akan menyambut kebahagiaan. Hanum-Rangga butuh hampir 11 tahun untuk mendapatkan Sarahza, saya insyaallah hanya menunggu 5 tahun. Bahkan dari 3 kali program hamil saya selalu berhasil walaupun yang 2 kali sebelumnya tidak sampai tuntas hamilnya.
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Akhirnya Garis Dua)
Kalau ditanya, buku ini saya rekomendasikan nggak untuk dibaca? Iya, apalagi buat yang sedang berjuang memiliki momongan. Buku ini bisa jadi semangat buat kalian yang sedang program hamil. Kalau putus asa, baca lagi buku ini biar kita selalu merasa ada teman. Selalu merasa bahwa kita nggak berjuang sendirian. Buat yang nggak sedang berjuang menantikan momongan juga perlu baca buku ini biar tahu seperti apa terkurasnya waktu, emosi, dan materi para pejuang momongan sehingga tak ada lagi kata atau kalimat cibiran yang dialamatkan pada mereka.