¨Ay, udah dulu ya program hamilnya. Aku capek nih!¨
¨Kapan sih sakit-sakit ini akan berakhir? Kok kayaknya lama banget?¨
¨Dulu cuma itungan bulan udah hamil, sekarang kok kayaknya progressnya lama banget.¨
¨Kalau bulan depan belum hamil juga, istirahat dulu yuk!¨
Kalimat-kalimat itu muncul beberapa kali di periode program hamil ketiga ini. Bukannya tanpa sebab, soalnya memang program hamil ketiga ini merupakan program hamil terlama yang pernah saya alami. Promil-promil sebelumnya hanya butuh 3-5 bulan sampai akhirnya saya beneran hamil. Lha di promil kali ini saya butuh 2 tahun sampai akhirnya bisa hamil. FYI, saya promil di Prof Jacoeb sudah sejak pertengahan tahun 2016.
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Hallo, Prof Jacoeb)
Selain itu, promil kali ini juga lebih-lebih dari promil sebelumnya. Selain lebih lama, promil kali ini juga lebih banyak treatment-nya, lebih banyak minum obat, lebih mahal dari segi biaya, lebih banyak sakit karena disuntik, dan yang pasti lebih banyak sabar. Nggak heran kalau rasa capek, bosan, bahkan putus asa menggelayuti. Sampai saya pun sering jadi ´drama´ sama suami.
Tapi alhamdulillah, akhirnya toh saya kuat buat menjalani program hamil kali ini beserta terapi-terapinya. Akhirnya kuat juga buat nggak benar-benar melaksanakan kalimat-kalimat di atas dan bertahan dengan promil sampai akhirnya beneran muncul garis dua. Kalau dipikir saya pun masih amazing. Kalau dibayangin, saya pun masih nggak percaya kok bisa sampai sekuat itu. Trus gimana donk caranya biar bisa punya kesabaran seluas samudra saat program hamil dan melewati terapi-terapi yang menyakitkan itu?
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Suntik ILS dan Tes ASA)
– Percaya bahwa ikhtiar selalu membawa hasil
Ada pepatah yang mengatakan bahwa ¨Tak ada hasil yang mengkhianati usaha¨, itulah yang saya ingat betul. Saya selalu percaya bahwa ikhtiar sekecil apapun akan membawa hasil, entah itu hasilnya baik atau buruk, entah itu hasilnya hanya sedikit perubahan atau justru apa yang kita inginkan. Semuanya harus seimbang, ya doa ya usaha. Itu yang saya lakukan.
Saya dan suami adalah orang yang tahu betul kondisi kesehatan kami. Saya sadar bahwa ada yang salah dari tubuh saya karena nggak hamil-hamil, entah itu kelainan hormon, infeksi, atau apapun. Makanya yang salah ini harus diperbaiki supaya bisa normal kembali. Ibarat sebuah kapal, saya adalah kapal yang rusak di dalam perjalanan ke sebuah destinasi di lautan. Kalau tidak diperbaiki ya jangan harap bisa sampai ke destinasi yang dituju, salah-salah malah karam di tengah laut. Berdoa saja tak cukup, karena manusia butuh usaha. Pun sebaliknya. Makanya saya memilih untuk bersabar-sabar di program hamil ini.
Lalu apakah saya pernah putus asa? Pernah banget. Untungnya support system saya yang terdekat yaitu suami adalah orang yang paling setia sekaligus mendukung segala ikhtiar yang kami jalankan. Ketika saya pernah putus asa pengen nangis dan menyudahi terapi viagra buat membuka perlengketan (yang nggak kebuka-buka), suami saya kasih lihat postingan-postingan di instagram Hanum Rais soal perjuangannya memiliki anak atau tulisan-tulisan di blognya Edward Suhardi soal perjuangannya buat memiliki anak, biar saya nggak merasa berjuang sendirian. Salah satu tulisannya yang berjudul ¨Kita Tidak Akan Pernah Sampai¨ yang paling saya suka.
Pas baca postingan dari Hanum Rais atau tulisan-tulisan perjuangan promilnya Edward Suhardi dan istri, Ya Allah saya jadi merasa malu. Perjuangan saya nggak ada apa-apanya. Saya jadi merasa perjuangan saya nggak ada seujung kukunya. Saya yang baru 4 tahunan menikah (waktu itu) dan 3 kali promil saja sudah putus asa. Bayangkan ada pasangan-pasangan di luar sana yang mungkin sudah 7, 10, atau bahkan 15 tahun ikhtiar tapi belum juga diberi keturunan. Mungkin ada pula pasangan-pasangan di luar sana yang sudah 4, 7, bahkan 10 kali promil tapi belum pernah sama sekali melihat garis dua. Sedangkan saya? Saya pernah hamil 2 kali bahkan, namun hanya perlu sedikiiiittt bersabar untuk promil ketiga.
(Baca juga: Jangan Katakan Ini Pada Perempuan yang Belum Memiliki Anak)
– Bersyukur atas segala keluangan
Satu hal yang saya syukuri dari program hamil kali ini adalah segala keluangan yang saya miliki. Usia saya masih 29 menuju 30 saat itu, berarti masih ada sekitar 10 tahun buat ´puas-puasin program hamil´. Kalo Prof Jacoeb bilang ¨Wah kamu masih bisa punya 11 anak nih¨. Coba kalau usia saya sudah di atas 38, pasti berkejaran dengan waktu. Rasa syukur atas keluangan usia ini juga saya peroleh dari hasil ngobrol dengan banyak orang. Saya pernah mendapati beberapa teman atau kenalan yang usianya di atas 38 dan berkejaran dengan waktu buat bisa hamil dan punya anak. Bayangkan, 3 atau 2 tahun itu waktu yang sangat cepat. Tahu sendiri kan kalau perempuan punya limit masa subur.
Selain keluangan waktu, hal lain yang saya syukuri adalah bahwa saya dan suami masih diberi rezeki yang cukup untuk program hamil. Rezeki materi itu juga harus disyukuri. Saya masih ingat dulu ketika istrinya Ustaz Solmed dioperasi satu indung telurnya dan harus berjuang lebih buat punya anak, dia bilang ¨Tapi kami masih harus bersyukur karena masih mampu secara materi¨. Itulah yang saya ingat betul dan saya terapkan ke diri sendiri biar selalu bersyukur. Bahwa di dalam kesulitan kami dalam promil, kami masih diberikan rezeki yang cukup buat menjalaninya.
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Tip Mempersiapkan Keuangan untuk Program Hamil)
Saya selalu sedih dan membayangkan, nggak semua orang seberuntung saya. Ada mereka-mereka yang pengeeeennn banget promil tapi masih terkendala oleh dana. Saya dan suami alhamdulillah masih dimampukan buat membiayai berbagai macam tes lab dan terapi bahkan masih sisa dan bisa digunakan buat kebutuhan atau keinginan lainnya. Sementara di luar sana mungkin masih banyak pasangan yang pengen promil tapi masih maju mundur karena tabungan belum seberapa dan takut habis dana di tengah jalan.
(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Menghadapi Berbagai Tes Laboratorium)
Trus apakah saya pernah merasa bersalah atas segala keluangan ini? Pernah banget. Saya pernah bilang ke suami ¨Ay, maafin aku ya kalau kamu harus kerja keras menghabiskan banyak buat punya anak sama aku¨. Tapi beruntungnya, suami saya selalu support dan bilang jangan pernah merasa bersalah karena semuanya juga udah diatur sama Yang Maha Kuasa. Duuhhh, gimana nggak tambah bersyukur cobak!
Selain keluangan waktu, rezeki, dan support system yang baik masih banyak keluangan lain yang harus saya syukuri. Kemudahan akses kesehatan, fleksibilitas jam kerja suami, kemudahan informasi, dan kemudahan mendapatkan dokter yang diinginkan adalah kemudahan dan keluangan lain yang harus selalu saya syukuri di program hamil kali ini.
– Semua pasti ada akhirnya
Saya selalu percaya kalau semua hal itu ada ujungnya, ada akhirnya. Entah ujungnya berakhir bahagia atau sedih tapi pasti ada ujungnya. Itulah yang selalu saya yakini, termasuk saat program hamil ini. Hanya ada 2 kemungkinan endingnya yaitu saya hamil atau saya tidak berhasil hamil. Namun, meskipun jika pada akhirnya saya nggak berhasil hamil tapi saya sudah pernah berusaha. Perkara hasilnya, itu semua bukan kuasa saya.
Dengan meyakini kalau semua ada ujungnya ini juga saya jadi mau terus berusaha. Pokoknya saya ikuti kemana terus prosesnya sampai mentok. Mentok buat saya bisa jadi sampai batas usia masa subur (sekitar 40 tahun) atau sampai uang saya dan suami benar-benar habis buat promil. Sebegitu penasarannya sampai saya ikuti alurnya sambil terus bertanya-tanya “Apa iya kalau saya sudah berusaha sejauh ini hasilnya akan sia-sia?”. Saya pun selalu berusaha memberikan afirmasi positif ke diri sendiri bahwa kalaupun sia-sia pasti ada hikmah di balik itu.
Lalu apakah saya pernah lelah mengarungi perjalanan promil ini? Pernah, pernah banget. Sama seperti sebuah perjalanan, kita bisa putus asa di tengah jalan kalau tak jua melihat destinasi yang dituju. Bahkan saya pernah ragu apakah destinasi berupa memiliki anak itu benar-benar ada buat saya. Tapi sekali lagi, suami saya, support system terbaik saya memberikan semangat saat saya mulai patah. Kata suami saya, kita nggak pernah tahu perjalanan promil ini apakah sudah sampai setengahnya, tiga perempat, baru seujung kuku, atau bahkan sudah hampir sampai destinasi kecuali kita terus berusaha berjalan. Toh akhirnya saya ikuti juga sarannya dan memberikan hasil yang alhamdulillah tidak mengecewakan.
– Diselingi dengan pola hidup sehat
Saya dan suami memutuskan hanya menempuh jalur medis buat promil ini. Artinya saya nggak belok atau mencoba alternatif, pijat, atau bahkan klenik (naudzubillah). Kami mengusahakan jalur medis yang terbaik namun untuk menambah semangat kami juga menjalani pola hidup sehat.
(Baca juga: Mencoba Hidup Sehat Tanpa Tapi…)
Saya, terutama, mulai membenahi diri dalam hidup. Suami sih iya tapi masih tipis-tipis, tidak seketat saya. Saya berusaha buat mengatur pola makan, berusaha biar berat badan nggak naik banyak alias menggendut karena bisa berpengaruh ke hormon, makan makanan bergizi, plus mulai rajin olahraga walau hanya workout di rumah. Semuanya saya usahakan dilakukan dengan senang hati agar nggak menjadi beban.
Saya berpikir kalaupun pada akhirknya saya tak kunjung hamil, paling tidak saya sudah membangun habit yang menyehatkan buat diri saya. Dan tentunya keuntungan dari semua itu kan dinikmati diri saya sendiri. Jadi, satu saran saya kalau kalian yang membaca tulisan ini sedang promil melalui jalur medis, usahakan juga dibarengi dengan hidup sehat biar segalanya seimbang.
– Lakukan aktivitas lain
Kalau hanya berkutat sama promil, terapi-terapi yang menyakitkan, obat-obatan yang segunung, bill rumah sakit yang menguras kantong, dan omongan nyinyir orang yang terus bertanya “udah hamil belum?” mungkin saya bisa stress berat. Beruntung saya punya kegiatan lain yang kesibukannya terkadang bisa mengalihkan saya sejenak dari penatnya promil.
Kalau sudah penat sama pekan-pekan menyakitkan penuh obat dan jarum suntik, biasanya saya akan mengambil beberapa job yang menyenangkan, menulis hal-hal yang membahagiakan, atau mencari event blogger dimana saya bisa silaturahmi sama teman-teman dan melupakan sejenak penatnya program hamil. Kegiatan lain selain promil ini penting banget buat saya, biar hari-hari saya ada selingan. Nggak kepikiran beban belum punya anak. Beruntungnya saya juga punya teman-teman yang baik yang selalu bisa bikin ramai suasana dan akrab tanpa memandang “kamu sudah hamil/punya anak belum?”
Tip dari saya, carilah kegiatan, teman-teman, dan support system yang mendukung kamu saat promil dan tak melulu nyinyir bertanya. Dengan begitu, kita nggak stress dan melulu kepikiran soal hamil serta punya anak. Carilah juga kegiatan yang sesuai dengan passion tapi nggak terlalu memberatkan secara fisik, dalam artian nggak membuat kita capek banget sehingga bisa mengganggu fisik saat promil.
Kamu, saya, kita yang sedang promil hanya perlu bersabar dengan segala doa dan usaha. Percayalah, Yang Maha Kuasa sedang menyiapkan rencana yang terbaik buat kita, apapun itu. Yang penting jangan lupa tetap bahagia dengan semuanya.
Happy promil!