¨Kok warnanya begini sih? Aku kan pesannya warna hijau gradasi kuning,¨ujar saya pada suami sedikit kesal saat membuka pesanan mukena parasut dari sebuah e-commerce.
Mukena yang saya buka warnanya biru gradasi merah, beda jauh dengan yang saya pesan yaitu gradasi hijau-kuning. Jujur, baru ini saya kecewa belanja online. Pasalnya, mukena yang saya beli harganya di atas rata-rata mukena parasut. Saya tahu benar kalau saat belanja online prinsipnya ada harga ada rupa. Wajar kalau ekspektasi saya berlebih. Lha ini jangankan saya suka sama mukenanya, warnanya saja saya sudah nggak suka.
Ditambah lagi suami ´kompor´ dengan bilang ¨Iya warnanya aneh banget sih, mukena kok warnanya gitu. Kamu nggak bilang sama sellernya kali minta warna apa¨. Langsung lah saya drop shaayy.
Pasalnya, saya pesan mukena jelas-jelas di item dengan gradasi warna hijau-kuning. Karena si seller pun memisahkan per item barangnya berdasarkan warna, berbeda warna maka beda harganya pula. Makanya saya kecewa pas ternyata barang yang datang beda banget sama yang diharapkan.
Kenapa nggak retur atau minta balikin aja uangnya?
Yang ini dilema banget memang. Tadinya saya udah mau balikin barangnya via aplikasi tapi ternyata ribet. Saya harus kasih barangnya di kantor e-commerce terdekat, belum lagi harus menunggu pengembalian uangnya padahal saya lagi butuh banget mukena parasutnya untuk menggantikan mukena travel saya yang nggak tahu hilang dimana. Alhasil, akhirnya bintang 1 mendarat di lapak sellernya. Maafkan, tapi kali ini saya benar-benar kecewa belanja online.
Sebenarnya belanja peralatan sandang dari mulai sepatu, sandal, tas, jilbab, baju, celana, sampai mukena sudah biasa banget buat saya. Alasannya tentu karena lebih praktis, nggak perlu ribet-ribet ke pasar atau mall, nawar, parkir, dan capek muter-muter. Tapi entah kenapa 2 kali beli mukena via online selalu nggak pas. Yang pertama kekecilan, yang kedua salah warna. Herannya, kok ya diulangi lagi sama saya. Piye to, Dew?
Suka Duka Belanja Online
Saya dan suami tipikal orang yang akrab dengan belanja online. Hampir setiap barang dibeli dengan belanja online, termasuk sandang. Tapi nggak jarang saya temui orang-orang yang nggak mau, nggak tertarik, atau bahkan masih takut-takut buat beli baju, sepatu, sandal, celana, dan perlengkapan sandang lainnya via online. Alasannya sih biasanya takut nggak cocok atau nggak sesuai harapan.
Kalau bisa diprosentase kepuasan membeli barang sandang via online, 75% prosentasenya saya puas. Selebihnya memang diakui belum begitu puas. Biasanya karena barang yang datang tak sesuai harapan. Itu juga karena saya tergiur harga murah atau ketipu sama gambar. Selebihnya sih saya puas.
(Baca juga: Jelang Harbolnas, Yuk Belanja Produk P&G di Bukalapak!)
Bisa dimaklumi buat mereka yang masih ragu untuk belanja kebutuhan sandang secara online mungkin saja karena selektif dalam memilih. Mereka yang big size, punya alergi suatu bahan, mudah nggak nyaman dengan bahan tertentu, atau malah trauma pernah ketipu belanja online bisa saja lebih memilih buat belanja langsung atau offline. Yang perlu dipahami adalah belanja online juga ada triknya. Namun walau jelas-jelas udah tahu ada triknya kok ya saya masih tetap ketipu atau kecewa? Ya mungkin karena lagi sial aja.
– Nggak bisa pegang langsung fisik barang
Sistem dalam belanja online memang saling percaya. Salah satu tolak ukur dari kepercayaan itu biasanya bintang, rating, atau testimoni. Ya gimana lagi, kan kita nggak bisa nyentuh barangnya. Paling banter cuma tahu info jenis kain, ukuran, dan warna dari deskripsi produk. Selanjutnya ya kita percaya aja sama seller. Buat orang yang teliti dan telaten, yang kayak begini suka ragu. Mereka nggak bisa meraba kainnya, lihat kerapihan jahitannya, atau size tiap bagiannya.
– Prinsipnya ada harga ada rupa
Nah, sudah tahu kalau belanja online sistemnya nggak bisa pegang langsung fisik barangnya maka yang harus disadari ya ada harga ada rupa. Kalau ada 2 foto barang yang sama, yang satu harganya murah sedang yang satu harganya mahal dengan selisih yang cukup besar udah pasti yang harganya jauh lebih murah patut dicurigai. Siapa tahu bahannya memang jauh berbeda atau kadang malah barang berbeda jauh dengan foto. Yang terakhir ini yang sering banget terjadi, saya pun pernah mengalaminya ketipu harga murah hanya karena fotonya ciamik.
Sejak itulah, saya lebih selektif buat belanja online karena ada harga ada rupa. Tapi ketika saya udah bayar harga yang standar atau malah lebih mahal dari harga pasaran biasa (karena berharap barangnya memang bagus) dan ternyata yang didapat justru zonk, di situ saya merasa double ketipu. Dan hal ini beberapa waktu lalu saya alami ketika membeli mukena, hiks.
– Ukuran standar buat belanja online
Kadang saya berpikir, sistem belanja online untuk produk fashion ´hanya´ memudahkan mereka-mereka yang punya badan standar. Ukuran baju standar, lingkar dada standar, lingkar lengan standar, ukuran perut standar, ukuran pinggang standar, dan masih banyak lagi. Apalagi baju yang dijual kebanyakan ukuran all size. Buat mereka yang punya ukuran pinggul besar, perut buncit, dada lebih lebar dari yang biasanya, kaki panjang, atau lengan yang besar mungkin akan sedikit was-was saat belanja karena bisa jadi ukuran fashion item yang ada di marketplace atau online shoping ukuran standar yang nggak benar-benar pas di badan. Orang-orang yang ukurannya standar kayak saya aja kadang masih suka kecele sama ukuran fashion item ini, apalagi yang punya ukuran-ukuran spesial.
– Merk terpercaya lebih dipercaya
Beruntung sekarang sudah banyak official store di beberapa marketplace atau malah merk-merk tertentu sudah goes online alias mulai membangun toko online-nya sendiri. Nah ini bisa dimanfaatkan buat kamu-kamu yang suka belanja merk-merk tertentu (dan sudah punya ukuran sendiri). Buat mereka yang jadi pelanggan atau penggila merk-merk fashion tertentu, tentu ini jadi keuntungan karena tetap bisa belanja tanpa harus capek dan yang pasti barangnya terpercaya.
– Susah komplain?
Buat saya yang udah lumayan sering belanja online, komplain (atau bahkan retur) karena cacat atau produk yang nggak sesuai pesanan itu susah. Kalau lewat marketplace atau e-commerce, prosesnya lama. Sedangkan di online shop pribadi, kadang komplain pun nggak ditanggapi. Sekalinya kasih testimoni di social media, bisa berakhir dengan di-block. Kalau sudah begini, saya sebagai konsumen kadang ya sudah nerimo aja kalau barangnya ternyata nggak sesuai sama ekspektasi. Yang penting sekarang balik lagi diantisipasi dengan selektif beli barang, ada harga ada rupa.
*Update: beberapa waktu lalu setelah kecewa dengan belanja online mukena, saya kecewa lagi karena belanja gamis dan ternyata di bagian belakangnya banyak terdapat noda garis-garis pola. Di dalam paket tertera nomer kontak whatsapp yang bisa dihubungi buat komplain sebelum/daripada di-rating jelek. Sayangnya, nomer WA-nya slow respon sekali, 3 hari baru centang 2 dan dibalas sebatas tanya pesanan apa (padahal udah ditulis nomer pesanan). Besoknya, seller memberikan solusi buat pengembalian dana dengan mengirimkan barangnya balik ke alamat seller menggunakan kertas yang dilampirkan di pesanan. Wakwaw! Kertas pembungkusnya udah saya buang sementara bajunya pun udah saya suka. Kalau dikembalikan dananya, otomatis saya nggak dapat barang pengganti yang baru. Akhirnya kasus ini berakhir di barang yang nggak saya kembalikan dan akan coba dicuci dengan harapan semoga bekas-bekas polanya hilang.
Belanja Offline Masih Diminati?
Saya adalah salah satu orang yang masih percaya walaupun belanja online zaman sekarang sudah merajalela tapi tetap saja toko offline masih diminati banyak orang. Buat mereka yang belum tersentuh teknologi internet secara maksimal, nggak percaya dengan deskripsi produk secara online, punya bentuk badan spesial, sering kesulitan mencari model kebutuhan sandang yang pas, dan masih banyak lagi akan tetap setia dengan belanja offline.
Saya sendiri juga bukan orang yang serta-merta menghindari belanja offline karena serangan online shopping yang begitu dahsyat. Namun, perlahan saya mengurangi porsi belanja offline karena alasan ketidakpraktisan. Apalagi saya bukan tipikal orang yang senang lama-lama berjalan ke mall, mengelilingi dari satu toko ke toko lainnya, atau ngotot-ngototan nawar sama penjual buat mendapatkan harga yang paling rendah. Makanya, sekarang kalau bisa diprosentase 75 persen saya lebih suka belanja online, sedangkan sisanya saya masih suka belanja offline.
Walaupun tersisa tinggal 25 persenan minat saya buat belanja offline, tapi saya tetap senang belanja online dengan suka dukanya.
– Lelah yang memuaskan
Belanja offline alias langsung itu bikin capek, asli! Setelah lama hanya belanja online, beberapa hari yang lalu saya mengantar ibu yang sedang datang ke Jakarta buat belanja di salah satu ITC yang nggak cukup besar padahal, tapi capeknya Ya Allah berasa banget. Kebayang kan kalau nganternya ke Thamcit atau Pasar Tanah Abang bisa-bisa saya keleyengan atau pingsan. Soalnya saya pernah habis belanja di Pasar Tanah Abang pas bulan puasa, malamnya langsung demam. Habis itu suami langsung warning nggak usah belanja di Tanah Abang lagi kalau lagi puasa.
Tapi walaupun capek, belanja offline itu lebih memuaskan. Kita bisa lihat langsung model bajunya, mencoba ukuran dan modelnya pas atau nggak, meneliti apakah ada cacat jahitan atau robek, dan masih banyak lagi. Jadi ada kepuasan tersendiri setelah belanja dan mendapatkan barang yang bagus dan benar-benar diimpikan. Sampai saat ini, baju-baju saya hasil belanja offline alhamdulillah cocok dan sering saya pakai.
– Bukan untuk si tidak jago nawar
Kalau belanja offline di store mall-mall besar pastilah udah nggak pakai nawar karena harga yang tertera di price tag ya sudah harga pas. Kalau nawar nanti malah diguyu pitik alias diketawain ayam. Palingan kita hanya mengandalkan kalau ada diskonan. Beda lagi kalau belanjanya di toko-toko macam di ITC atau pasar, tawar-menawar kayaknya harus banget deh soalnya kadang nawarin harganya juga jauh banget di atas rata-rata.
Tapi buat saya yang nggak bisa ngotot-ngototan dan nggak telaten, kadang belanja offline bisa jadi sesuatu yang menyiksa karena keharusan tawar-menawar. Dilema memang, kalau nggak nawar takut kemahalan, tapi kalau nawar pun takut terlalu murah (saya orangnya suka merasa bersalah kalau nawar terlalu rendah karena punya orang tua pedagang yang kalau nawarnya terlalu rendah dan terpaksa diiyain, untungnya cuma sedikit). Sudah nawar pun kadang masih merasa bersalah kalau langsung di-iyain sama penjualnya karena curiga nawarnya terlalu sedikit. Trus saya juga bukan tipikal pembeli yang senang adu mulut sama penjual karena cuma ngotot-ngototan beda harga Rp 5.000, huhu. Ada yang suka kayak begini juga nggak sih, serba dilematis?
– Mudah untuk retur
Kalau yang belanja di toko-toko modern di mall kelas menengah ke atas pastilah jarang banget yang retur karena kualitas barang yang masuk ke store sudah benar-benar melalui quality control yang ketat. Kecuali kalau memang sebelumnya tertera diskon untuk barang yang sedikit reject, nah itu beda lagi kasusnya. Tapi buat yang sering belanja offline di pasar atau semacam ITC dan udah langganan atau perjanjian tertentu sama penjualnya, biasanya proses retur akan lebih mudah. Apalagi buat mereka yang telaten bolak-balik kalau memang barang yang dibeli kurang cocok atau ternyata baru nemu ada cacat begitu sampai di rumah. Yang penting, price tag atau label merknya jangan sampai lepas atau dicopot. Siapa yang sering begitu?
Dengan mudahnya proses retur ini, biasanya memudahkan kita juga buat membelikan sesuatu buat orang lain. Tinggal bilang saja sama penjualnya ¨Nanti kalau ada cacat atau pas dicobain si ini di rumah kesempitan/kegedean, bisa tukar ya. Demi memberikan service yang oke, penjual biasanya akan iya aja dengan sejumlah persyaratan. Sementara pembeli tentunya harus telaten buat bolak-balik ke toko demi buat mendapatkan barang yang cocok yang benar-benar diinginkan.
– Sediakan Stok Kesabaran Ekstra
Selain harus menyediakan tenaga dan waktu yang ekstra, belanja offline juga mengharuskan kita menyediakan stok kesabaran ekstra. Sering banget saya menemukan penjual atau pelayan yang judes atau nggak ramah walaupun di branded store. Hmm wajar sih ya, mungkin mereka capek atau lagi ada masalah tapi kalau kita yang nggak tahu apa-apa kena cemberutan atau kejudesannya kan kesal juga.
Kalau di sebuah branded store yang manajemennya bagus, mungkin kita bisa melapor langsung ke manager. Lhaa tapi kalau di toko-toko biasa yang pelayannya cuma ada 1 atau 2 padahal kita udah suka sama barangnya? Amsyoong deh. Itu baru satu contoh kasus. Belum lagi kalau ketemu pemilik atau pelayan toko yang agresif, yang belum apa-apa sudah diikutin kesana-kemari dan ditawari barang ini-itu padahal kita masih hunting 1 barang yang disuka atau malah dijudesin saat udah lihat-lihat barang dan ternyata nggak ada yang cocok atau malah kena omongan pedas/ ketus karena berusaha nawar, huh sebal deh!
Beda sama belanja online yang walaupun sellernya slow respon atau kalimat di chat-nya lumayan pedas/ judes, tinggal kita tinggalin aja atau block (kalau sebal banget). Prinsip saya toh nggak pernah ketemu ini, hahaha. Kalaupun sellernya nggak sopan juga bisa kita kasih rating rendah.
Nah itu dia suka duka belanja online dan offline yang biasanya saya temui. Kalau kalian gimana? Apa aja suka dukanya belanja online atau offline? Trus lebih suka belanja kebutuhan sandang secara online atau offline-kah? Yuk kasih pendapatmu di kolom komentar!
Happy shopping!