Pernah mengambil sebuah keputusan besar? Atau pernah bingung menentukan keputusan? Barangkali kemarin saya mengalami ini.
Jadi per akhir September ini saya resign dari pekerjaan saya. Iya, resign setelah empat tahun jadi reporter. Walaupun keputusan saya ini mengundang pro dan kontra (kayak kebijakan pemerintah, haha) makanya banyak yang nyinyir juga, yang pernah saya tulis di sini. Lah cuma resign kok sedih? Mungkin bagi yang pernah beberapa kali resign dan pindah kerja ke tempat lain ini adalah hal biasa. Tapi buat saya, ini ibarat pindah atau keluar rumah dan meninggalkan keluarga yang ada di dalamnya.
Jadi ya, saya sudah empat tahun bekerja sebagai reporter di televisi berita berseragam merah. Tentunya semua sudah tahu ya. Biar kata sering dibully atau males kalo udah berhubungan dengan politik kepemilikan media (if you know what I mean), tapi saya sedih meninggalkan kantor saya. Biar kata tugas berat karena ada peristiwa dadakan atau rela ngga pulang beberapa hari, saya tetep enjoy. Selama hampir empat tahun ini, khususnya tahun-tahun terkhir, kantor seperti tempat bermain dan rekan kerja ibarat keluarga. Rasanya berat ketika harus memutuskan untuk resign. Resign ini bukan tanpa sebab, tapi sudah dipikirkan matang-matang.
Pascadua kali keguguran, semuanya jadi terasa berat. Bahkan untuk melangkahkan kaki ke kantor pun penuh tekanan. Ditambah lagi, saya dan suami beli rumah di Ciledug. Kalo dikira-kira, jarak Ciledug-Pulogadung jauh banget dan ngga sebanding dengan gaji saya. Intinya, perjuangan untuk sampai ke kantor ngga sebanding dengan imbalannya. Belum lagi waktu yang akan habis di jalan karena macetnya jalanan Jakarta. Banyak waktu hilang berarti banyak pula peluang terbuang.
Apalagi status saya sebagai wartawan investigasi mengharuskan saya buat totalitas menggarap satu episode program. Bayangkan saja, rata-rata wartawan investigasi dalam waktu satu bulan bisa keluar kota beberapa kali dengan masa tugas lima sampai tujuh hari, dan saya ngga bisa. Ngga bisa meninggalkan suami begitu saja. Ngga bisa meninggalkan keluarga karena sudah ada tanggung jawab. Dan saya juga ngga bisa kalo kerja setengah-setengah. Ngga bisa totalitas malah akan merugikan satu atau bahkan banyak pihak. Maka saya pun harus memilih, saya harus membuat keputusan besar.

Keputusan saya tidak akan mengubah drastis banyak hal. Saya masih punya teman kerja yang saya anggap keluarga dan bisa dihubungi kapan saja. Bedanya cuma rutinitas saya yang berubah. Ngga ada lagi rutinitas setiap pagi dianter motor memasuki Kawasan Industri Pulogadung. Saya harus menanggalkan pekerjaan yang buat ibu saya bangga. Sedih banget. Toh hidup harus memilih. Dan saya memilih keluarga saya.
Kalau saja bisa serakah memilih, saya pengen tetep bisa kerja jadi wartawan, ngurus suami, ngurus rumah, program hamil, dan bikin anak SEKALIGUS. Apalagi suami saya bukan tipikal orang yang melarang istrinya kerja atau berkegiatan di luar rumah. Tapi ternyata susah ya.
Saya pengen bisa tetep sehat, lari-lari doorstop, manggul tripod, bukan yang baru turun naik halte Transjakarta saja sudah ngeflek lagi dan bikin ketakutan. Saya maunya juga tetep jadi wartawan, yang bisa pertama kali mengabarkan dengan suasana yang amat heroik, bukan yang melihat rekan kerja hamil dan anak kecil dengan penuh tekanan. Tapi sekarang semuanya terasa berat dan harus memilih. Maka saya memilih mengurus suami, memilih untuk keluarga, karena tugas saya hanya taat.
Maka biarlah Allah sebaik-baik pemberi rezeki yang mengatur semuanya. Saya yakin tak akan hilang rezeki tiap-tiap orang hanya karena berhenti bekerja. Allah akan membuka pintu rezeki lainnya lewat cara yang tidak diduga.
Maka, mulai sekarang saya bisa menyambut suami dengan senyuman penuh sepulangnya dari kantor. Dan saya bisa menekuni passion saya kembali seutuhnya yaitu menulis.
-jawzq-