Tak pernah sedikit pun terpikir dalam hidup saya untuk menjadi blogger. Pun menjadi blogger bukan cita-cita saya. Dulu, saya mengenal blog hanya sebatas sarana mengerjakan tugas kuliah. Namun kini, blog menjadi satu hal yang tak terpisahkan dari hidup saya.
Mari kita bicara cita-cita. Mungkin kalau ada yang bertanya sama saya tiga atau empat tahun lalu tak pernah sedikit pun terbersit dalam diri kalau saya mau jadi blogger. Jadi penulis, penulis buku, mungkin masih ada dalam list cita-cita saya karena saya memang suka menulis. Tapi jadi blogger? Tak pernah ada sekali pun.
Dulu cita-cita saya jadi reporter andal. Entah ukuran andalnya seberapa andal. Mungkin sekaliber Rosiana Silalahi atau Najwa Shihab. Dengan jabatan tinggi, gaji besar, atau akses yang mudah pada pembesar di negeri ini. Yang pasti saya selalu ingin bekerja. Selalu ingin menghabiskan waktu saya dengan kesibukan kantoran. Selalu ingin melihat ibu saya tersenyum dan bangga ketika saya jadi wartawan. Karena buat ibu saya, itu profesi yang sangat membanggakan.
Hingga suatu saat, jalan hidup saya menuntun saya untuk kembali menulis. Kali ini dalam sebuah media, blog…
Blog Menyelamatkan Hidup Saya
Entah ini kali ke berapa saya bilang bahwa blog memang menyelamatkan hidup saya. Blog menyelamatkan kejiwaan saya. Ketika saya hampir putus asa dan gila karena kehilangan anak, blog memberikan kebebasan bagi saya untuk mencurahkan isi hati. Semua saya tulis. Semuanya, kisah saya dengan calon anak saya. Kisah saya ketika kehilangannya. Kisah saya di detik-detik terakhir bersamanya.
(Baca juga: Part-Us)
Saya nggak punya benda kenangan apa-apa dengan Azka, anak saya. Kenangan saya hanya memori. Sementara, memori saya terbatas. Beruntung saya bertemu kembali dengan blog. Semua momen dan kenangan terakhir yang saya habiskan sama Azka saya tuliskan dalam blog ini yang sewaktu-waktu bisa saya buka dan nikmati. Blog ini adalah album buat Azka.
(Baca juga: Album Kenangan untuk Azka)
Dulu, saya bahkan nggak pernah tahu bahwa blog bisa menghasilkan materi. Tak pernah terbersit sekali pun saat itu bahwa blog bisa memberikan penghasilan. Saya bahkan tak pernah tahu kalau ada event-event yang mengundang blogger. Yang saya lakukan di blog dulu hanya menulis, menulis, dan menulis. Dan saya puas. Dengan menulis saya punya teman bercerita. Masa bodoh mau ada yang baca atau pun tidak. Saya tetap menulis. Menulis setidaknya membuat beban hidup saya sejenak lebih ringan.
Saya memang patut berterima kasih dengan blog. Blog menjaga kewarasan saya ketika dua kali saya gagal menjadi ibu. Bahkan, saat ini saya punya limpahan barang dan materi dari ngeblog. Ponsel, kamera mirrorless, jalan-jalan ke suatu tempat, fee yang saya dapatkan dari job lewat blog, waktu yang fleksibel, networking, ilmu pengetahuan, hingga teman-teman baru yang sungguh luar biasa yang semuanya saya dapatkan dari ngeblog.
Namun, perjalanan saya untuk mendapatkan semua itu tidaklah singkat. Jauh sebelum itu, saya pernah mengalami dilema berat, antara pekerjaan dan resign lalu ngeblog. Hati saya tak tenang.
Hingga di suatu masa tibalah saya merasa tidak ingin lagi menjadi wartawan…
Saya, Mantan Wartawan yang Sekarang Menjadi Blogger
Ada masa ketika saya sangat bangga menjadi wartawan. Siapa yang tak bangga coba, menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa besar dan bersejarah di negeri ini, bertemu orang-orang penting, hingga mengambah tempat-tempat yang mungkin tak bisa dimasuki oleh orang biasa. Bahkan, saking bangganya ibu saya, di kios beliau dipajang foto saya berdampingan dengan Jokowi. Foto-foto liputan saya bersama orang-orang penting dicetak dan ditaruh di album khusus.
Namun, ternyata ada satu titik dimana saya tidak bahagia. Ada saat saya tidak bahagia dengan limpahan materi, terkenal di mata orang-orang penting, atau jadi bagian dalam peristiwa bersejarah ketika saya bekerja sebagai wartawan di sebuah TV berita nasional. Dan itu amat mengusik saya.
Semuanya bukan karena tawaran menggiurkan dalam hal materi ketika menjadi blogger. Saat itu saya sudah menjadi blogger tetapi saya bahkan tak tahu sama sekali kalau kegiatan ngeblog bisa menghasilkan materi. Tak lain tak bukan karena saya justru menemukan kedamaian dari ngeblog. Saya tenang ketika ngeblog.
Dan akhirnya saya harus memilih. Saya menanggalkan seragam merah dan segala gegap gempita serta heroiknya dunia wartawan untuk menjadi blogger. Kegiatan yang sebelumnya tak pernah saya pikirkan.
Saya menanggalkan karier saya sebagai wartawan dan karyawan tetap untuk sebuah kegiatan menulis. Resign-nya saya bukan karena beberapa kali keguguran. Tapi ada satu titik dimana saya justru dikejar-kejar rasa bersalah. Ada satu titik dimana saya harus keluar untuk menjadi orang yang normal. Seperti sebuah perumpamaan, kalau tak mau bau ikan asin lebih baik keluar dari toko ikan asin. Dan akhirnya saya beralih pada kegiatan ngeblog yang mendamaikan. Kegiatan yang tidak membuat saya merasa emosi, kesal, merasa bersalah, atau takut.
(Baca juga: Keputusan Besar)
Lalu saya pun resmi menjadi blogger.
Ada bagian-bagian yang masih terasa sama ketika saya menjadi blogger dan wartawan. Saya masih tetap bisa datang dan meliput ke acara-acara besar di tempat-tempat megah. Saya masih bisa menginformasikan dan mereportase sebuah event. Saya masih dikirim undangan acara-acara. Tapi, jangan samakan blogger dengan wartawan.
Bahkan walaupun sistem kerjanya hampir sama wartawan tetaplah wartawan, sebuah profesi yang memiliki kode etik bahkan geraknya dibatasi oleh Undang-Undang. Tapi blogger? Sampai saat ini pun saya belum pernah menemukan kode etik blogger yang dibuat secara resmi atau peraturan pemerintah tentang blogger.
Ini justru dunia baru yang bahkan belum diatur dengan peraturan resmi tetapi menuntut saya fleksibel untuk bergaul dengan siapa pun. Ini adalah dunia dimana pemeo ‘silaturahmi membuka jalan rezeki’ berlaku. Buat saya, ngeblog bukan semata-mata uang. Bukan pula materi lainnya. Tapi ini adalah tentang kepuasan jiwa. Perkara ada materi yang mengikuti, itu adalah bonus buat saya. Bonus buat saya yang ingin berubah jadi pribadi lebih baik dengan ngeblog.
Dan ini adalah dunia dimana saya adalah diri saya, blog adalah milik saya, tulisan adalah karya saya, dan semua yang saya lakukan dengan label blogger menjadi tanggung jawab diri sendiri. Jadi, saya harus meng-upgrade diri lebih lagi agar apa-apa yang semuanya jadi tanggung jawab saya tak membuat saya kebablasan.
Namun, saya justru bangga menjadi blogger.
Paling tidak saya tak selalu dikejar rasa bersalah, tak bisa dibungkam hanya karena posisi saya adalah seorang pion, dan saya bisa meneguhkan prinsip saya. Saya tak menyangkal bahwa penghasilan saya merosot drastis setelah menjadi blogger. Tapi buat saya, apalah arti banyak materi kalau jiwa saya justru tak tenang.
Buat saya, ngeblog adalah passion. Ngeblog adalah cara untuk mengaktualisasikan diri. Ngeblog bukan beban. Jadi, ngebloglah dengan happy. Jangan ngeblog dengan tekanan. Jangan ngeblog karena banyak tuntutan.
Belum telat kan untuk mengucapkan Selamat Hari Blogger Nasional? Saya bangga jadi bagian dari kalian, para blogger…
Tahun ini adalah dua tahun saya merayakan hari blogger. Semoga saya bisa merayakan di tahun-tahun berikutnya.
Maju terus, blogger Indonesia.