¨Balik Jakarta aja, yuk!”pintaku entah di pulang kampung ke berapa saat pandemi.
Kala pandemi, mudik sampai berbulan-bulan sudah jadi rutinitas keluarga kecil kami. Awalnya enak, enak banget. Bisa leyeh-leyeh di kampung halaman, ketemu keluarga, punya ruang gerak yang luas saat pandemi dibanding rumah kami di kota yang sempit, sampai bisa tiap hari menikmati segarnya udara kampung halaman yang pemandangannya memanjakan mata.
Tapi itu hanya berlangsung beberapa hari saja.
Seminggu dua minggu, masih enak tapi setelah dijalani berbulan-bulan ternyata saya nggak kuat. Nggak kuatnya karena minimnya fasilitas di desa, dari fasilitas kesehatan sampai internet.
Tiap mau upload atau download sesuatu kami harus ke tempat-tempat tertentu kayak pinggir sawah. Main hape geser tempat sedikit saja sudah hilang sinyalnya. Atau yang paling sering adalah ketika harus meeting online, suami harus nongkrong atau meletakkan hapenya di dekat kandang ayam karena di sanalah sinyal internet yang paling kencang berada.
Lelah banget lama-lama dengan rutinitas mencari sinyal internet
¨Pulang kampung tapi lupa bawa tower nih,¨ adalah pernyataan yang lumrah diucapkan kala kami kesusahan sinyal di kampung halaman. Huhu, buat pekerja digital kayak saya dan suami, kebutuhan internet itu kayak kebutuhan pokok. Susah sinyal internet rasanya selain mati gaya juga jadi nggak bisa produktif.
Dilema Emak-Emak dalam Membuat Konten
Sebagai orang yang mencari cuan dari dunia maya, kebutuhan internet cepat adalah sebuah keharusan. Sementara sebagai seorang ibu, saya punya banyak keterbatasan. Apalagi buat saya yang hidup merantau tanpa support system. Semua pekerjaan rumah dan mengurus anak saya lakukan berdua bersama suami. Itu semua saja sudah menguras waktu. Ketika mau ngonten, emak ini sudah lelah jiwa dan raganya. Jangankan mau dandan cantik di depan kamera, badan ini rasanya sudah tak sanggup buat bergerak ganti baju yang layak buat tampil di depan layar.
Buat saya yang punya niche parenting dan traveling di blog dan social media, biasanya saya memilih mengumpulkan konten dalam satu waktu atau satu hari kemudian mengolah dan mengeditnya untuk menjadi beberapa postingan. Bersyukurnya saya, ada suami yang support untuk membuat konten dan membiarkan saya untuk beraktualisasi diri melalui karya.
Hanya saja, kadang ada hari-hari yang sudah dijadwalkan untuk mengambil konten terpakai karena berbagai alasan, misal: Aqsa tetiba sakit atau ada acara keluarga. Kalau udah gini, saya harus memutar otak gimana caranya agar konten tetap ada dan nggak kosong. Karena kalau sudah sampai kosong, alamat engagement jadi turun, deh. Sedihnya…
Kalau sudah begini, yang ada di pikiran saya adalah pengen pulang kampung karena kalau mudik, ada yang bantuin saya buat jagain Aqsa. Nggak cuma itu, saya juga bisa berbagi pekerjaan rumah sama ibu sehingga waktu saya dalam sehari tidak habis untuk melakukan pekerjaan domestik.
Bayangan saya lagi, di kampung halaman banyak hal bisa dijadikan konten. Keluar rumah buat sepedaan ke sawah aja bisa jadi konten karena pemandangan di sekitar rumah yang buagus banget. Makanya kalau di kampung halaman, memori hape bisa jadi cepat penuh karena terlalu excited mengambil foto dan video untuk menjadi konten. Itu artinya, saya bisa punya banyak tabungan konten dan upload sesering mungkin di media sosial.
Sayangnya, nggak semua yang dibayangkan semulus itu. Tidak, Ferguso! Iya tabungan bahan buat konten banyak tapi kadang ngedit dan upload di media sosialnya yang susah karena nggak ada sinyal internet. Kalau udah begini, emak yang zonk ini rasanya pengen cepat balik ke kota lagi buat edit dan upload semua bahannya.
Realita Ngonten di Desa
Saya adalah orang yang dulu menganggap desa punya segudang hal yang bisa dikontenin. Ada alamnya yang indah, kehidupan masyarakat, adat istiadat, sampai kulinernya. Iya, benar. Buanyaakk banget hal yang bisa dikontenin di kampung halaman saya. Ide kayaknya nggak ada habisnya kalau di sini. Mau itu diabadikan di media tulisan, foto, atau video, semua ada stoknya.
Pas banget kalau pulang kampung ada yang bantu buat jagain anak saya pas saya ngonten atau ngedit. Bayangan saya akan proses ngonten yang mudah dan lancar jaya semakin di depan mata. Tapi ternyata nggak semudah yang ada di bayangan, Ferguso!
Kampung halaman yang berbeda jauh sama ibukota memang memberika tawaran akan konten yang banyak, tapi jangan salah ya karena ada banyak hal yang di luar dugaan, seperti:
Melewati Kontur yang Sulit Demi Konten
Yang namanya mendaki gunung lewati lembah demi konten adalah hal biasa di desa. Demi mendapatkan view yang bagus dengan latar ijo-ijo atau pegunungan yang menghampar, kita harus bersepeda jauh, melewati bebatuan, naik turun perbukitan walaupun kecil, atau melewati sungai dengan jembatan seadanya karena memang biasanya tempat yang indah di desa harus dicapai dengan jalan yang nggak mudah.
Berani Malu untuk Membuat Konten
Masyarakat desa masih awam dengan konten dan proses membuatnya. Makanya kadang saya kalau lagi bikin konten kayak foto-foto cantik sambil pakai kacamata hitam atau tidur-tiduran di atas rumput demi foto yang bagus, suka dilihatin atau malah ditonton. Soalnya memang kayak jadi kegiatan yang aneh atau nggak umum.
Saya biasa banget bikin konten trus nggak jauh dari tempat saya ambil gambar ada orang lagi ngarit (mencari rumput). Atau orang yang terheran-heran lihat saya ke sawah dress up banget pakai baju, sepatu, dan tas cantik dengan full make up. Sementara para petani yang mau ke sawah pakai baju seadanya. Alhasil saya sering jadi tontonan.
Susah Mencari Properti untuk Konten
Kalau di ibukota, butuh properti buat foto atau bikin video tinggal ke luar pergi ke toko yang diinginkan atau beli di-e-commerce dan dikirim dengan metode instan, Tapi ini tidak berlaku kalau di desa. Mau ke toko jaraknya jauh, ada toko pun kadang nggak lengkap barangnya, atau sekalinya mau pesan di e-commerce barangnya nggak langsung bisa datang dengan cepat.
Kalau udah begini biasanya otak dituntut buat kreatif dengan memanfaatkan sesuatu yang ada di sekeliling, seperti: petik bunga liar untuk jadi aksesoris, manfaatkan tanaman yang ada di sekitar buat properti, atau pilih angle yang unik biar konten jadi bagus.
Susah Sinyal untuk Upload Konten
Ini sih hal yang paling sering saya keluhkan kalau lagi pulang kampung. Konten seabrek, udah siap tayang, eehhh sinyal sulit. Bahkan di rumah suami saya, internet provider di handphone sering blank alias nggak ada sinyal. Jangankan untuk upload konten, buka aplikasi pesan aja susah dan hape jadi cepat low batt karena terus-menerus mencari sinyal.
Kesusahan Sinyal Internet di Desa yang Berefek Domino
Sejak menikah beberapa tahun yang lalu sampai sekarang, sinyal internet di desa suami saya hanya mengalami kemajuan yang sedikit banget. Yang tadinya selalu no service, sekarang masih mending karena sudah ada hilal sinyal walaupun hanya 1 bar. Tapi semua itu nggak cukup buat memenuhi kebutuhan sinyal akan kegiatan digital yang biasa saya dan suami lakukan.
Selain nggak bisa upload konten yang telah tersedia, susah sinyal di desa juga berefek domino. Pada saya saja, saya jadi nggak bisa upload konten, susah mengirim email, tidak bisa melakukan teleconference, dan akhirnya saya mengalah untuk tidak ambil pekerjaan selama di desa. Tidak mengambil pekerjaan, artinya tidak ada pemasukan untuk saya yang notabene penyokong suami dan juga seorang sandwich generation.
Begitu pula suami saya. Dia yang masih WFH sampai saat ini kesusahan jika hidup tanpa sinyal. Setiap meeting, dia harus nongkrong di kandang ayam agar sinyal tetap stabil. Atau kalau mau mengirim sinyal, dia harus lari ke depan rumah agar jaringan nggak keputus. Efeknya, pekerjaannya jadi keteteran.
Yang paling menyedihkan dari drama susah sinyal di kampung halaman ini adalah di bidang pendidikan. Di masa pandemi saat banyak siswa di kota besar bisa belajar secara daring, tapi tidak dengan di desa. Di kampung halaman saya, hampir tiap sekolah masuk seperti biasa setiap hari layaknya tidak pandemi. Hal ini karena pembelajaran secara daring tidak bisa diterapkan di pedesaan.
Ibu mertua saya yang notabene kepala SD harus memutar otak gimana caranya agar para siswa bisa tetap mendapatkan ilmu. Sementara untuk bersekolah menggunakan zoom meeting, google classroom, atau google meet tidak memungkinkan karena susahnya sinyal.
Kala wabah covid 19 varian Delta sedang tinggi-tingginya pun sekolah tetap buka karena kendala sinyal internet tidak memungkinkan untuk mengadakan pembelajaran jarak jauh. Hal yang dilematis bagi pihak sekolah mengingat jika diinstruksikan untuk PJJ maka dimungkinkan banyak siswa akan terkendala karena sulitnya sinyal. Sementara jika dipaksakan masuk, penularan covid-19 semakin masif. Makanya waktu itu, banyak sekolah di Purworejo yang terpaksa masuk seperti biasa, hybrid, atau melakukan pengurangan jam belajar. Bahkan di sekolah ibu mertua saya, ada saatnya murid bertahan dengan hanya 1 guru karena yang lain tumbang terkena covid-19.
Lancar Berkonten dengan Internet Cepat dari IndiHome
Ada satu hal yang akhirnya saya syukuri banget saat di kampung halaman adalah ketika akhirnya di rumah ibu saya dipasang wifi IndiHome. Rasanya plong banget karena aktivitas di dunia maya bisa lebih lancar berkat sinyal kuat IndiHome. Walaupun hanya pasang paket yang paling murah yaitu 1P tapi sudah sangat menolong saya dan suami dalam beraktivitas.
Mengapa IndiHome? Jawabannya mudah yaitu cuma ada IndiHome, provider internet yang masuk kecamatan dan pelosok di kota kecil kayak Purworejo ini. IndiHome adalah primadona di sini karena dari rumah, kantor, sekolah, sampai kantor desa semua menggunakan jaringan internet provider dari IndiHome.
Nggak heran sih saya kalau lihat ini karena memang IndiHome satu-satunya internet provider yang sudah memiliki jaringan yang luas di Indonesia. Di bawah BUMN Telkom Indonesia. Jaringan fiber optiknya tersebar di seluruh negeri.
IndiHome pun kini hadir dengan menawarkan pilihan kecepatan Internet unlimited hingga 300 Mbps. Tinggal disesuaikan aja dengan keperluan pemakaian dan budget bulanan. Selain itu, sebagai orang yang sudah berlangganan IndiHome lebih dari 5 tahun di ibukota, internet provider ini terbukti cepat, lebih stabil, dan tahan terhadap cuaca. Aktifitas seperti bekerja, belajar, belanja online hingga bermain games di rumah jadi lebih praktis dan nyaman.
Buat saya dan suami yang ketergantungan banget dengan internet, dengan menggunakan IndiHome semua jadi mudah. Mau ngedit konten dengan aplikasi editing online, upload video, kirim email, conference call, hingga menonton tayangan favorit bisa dilakukan dari rumah. IndiHome bikin pulang kampung kami kini lebih berwarna.
Nggak ada lagi drama susah sinyal sampai nolak-nolak kerjaan buat saya. Konten yang biasanya saya tabung untuk diedit dan upload saat udah kembali di ibukota bisa saya unggah ´fresh from the oven´ di kampung halaman. Nggak ada lagi juga suami saya yang sudah mandi buat tampil kece meeting online yang berakhir nongkrong di kandang ayam demi sinyal yang stabil.
Terima kasih IndiHome yang jaringannya telah sampai ke pelosok desa. Hanya IndiHome satu-satunya internet provider yang mau dan berani untuk mengulurkan jaringannya sampai ke pelosok desa di kampung halaman saya, Purworejo. Terima kasih IndiHome dan Telkom Indonesia telah menjadi jembatan penghubung agar banyak konten kreator bisa eksis di media sosial meskipun mereka tinggal di desa.