Jangan bosan ya kalau lagi-lagi saya cerita soal fase makan anak. Iya, soalnya di fase ini menurut saya banyak banget tantangannya. Lulus dari satu tantangan, akan muncul lagi tantangan berikutnya yang nggak terduga. Mulai dari GTM berbabak-babak, ketemu sakit yang berhubungan dengan gigi dan mulut, trauma makan, sampai BB yang stuck di situ-situ saja.
Jadi, tulisan ini akan sangat panjang. Ini tuh kayak kumpulan sekaligus curhatan panjang lebar soal gimana saya sejauh ini menghadapi fase makan Aqsa. Selama ini saya memang sering menulis soal fase makannya, tapi hanya sepotong-sepotong. Kali ini, saya pengen cerita fase makan Aqsa panjang lebar, dari awal MPASI sampai sekarang.
Jauuuhh sebelum MPASI Aqsa tiba, bahkan sebelum saya punya anak, saya tuh selalu punya dan pasang ekspektasi yang tinggi soal fase makan anak. Melihat di sekeliling saya, khususnya sepupu saya yang kalau mau ngasih makan anak sampai kejar-kejaran, nangis saat anaknya nggak mau makan, selalu kasih makan anaknya nasi yang diblender sama sayur, bahkan hingga anaknya beranjak 2 tahun belum bisa makan makanan keluarga, saya jadi berkaca untuk TIDAK seperti itu saat punya anak. Ekspektasi saya, saya nggak memaksa anak saat kasih makan, nggak akan nyekoki dia pakai brotowali seperti yang ibu saya lakukan, akan memasak resep yang bervariasi kalau anak GTM, dan tertib tekstur sesuai usia.
Ekspektasi itu terus saya pupuk, bahkan hingga Aqsa lahir dan masuk dalam fase MPASI.
Ketika waktu pemberian MPASI hampir tiba, social media adalah patokan saya. Saya rajin bacain akun-akun soal MPASI, lihat apa saja menu yang mereka berikan, lihat pilihan bahan makanannya (organik atau nggak, diberi superfood atau nggak, dll), bahkan sampai peralatan apa yang harus saya siapkan pun berpatokan sama apa yang telah saya cari dari social media. Di masa inilah, saya sangat excited dengan masa MPASI. Mungkin saya bukan satu-satunya ibu yang seperti ini khususnya pada anak pertamanya. Beberapa teman saya bahkan sampai beli banyak peralatan masak khusus MPASI hingga bikin akun khusus untuk MPASI anaknya. Nggak salah sih, apalagi untuk anak pertama.
Hingga akhirnya masa MPASI datang, saya sangat excited. Saya kasih Aqsa menu 4 bintang yang terdiri dari beras, protein hewani, protein nabati, dan sayuran. Sebagai pelengkap, saya tambahkan unsalted butter atau EVOO dan keju Belcube. Dari segi tekstur pun saya sesuaikan, bahkan dengan telaten saya saring sendiri. Iya, saat itu saya memilih menyaring sendiri secara manual daripada menggunakan blender karena takut nutrisinya akan hilang kalau dihaluskan pakai blender. Untuk kudapan, saya berikan puree buah seperti pisang, alpukat, atau buah naga. Untuk MPASI Aqsa, saya belanja khusus semua bahannya hingga habis ratusan ribu sekali belanja. Semua itu demi nutrisi yang mumpuni buat Aqsa.
Awal masa MPASI sangat menyenangkan walaupun repot harus bangun pagi karena masuk-masukin bahan makanan ke dalam slow cooker. Tapi lihat Aqsa makan dengan lahap di kursi yang mirip balon tiup (saat itu belum duduk di high chair) tuh membahagiakan banget. Paling kendala saya cuma pas ngasih dia pure buah karena untuk beberapa buah seperti pisang atau buah naga dia nggak suka. Tapi nggak jadi masalah. Inilah fase dimana saya belum ketemu banyak tantangan dan belum banyak tahu tentang MPASI. Inilah fase dimana saya semangat belanja apapun itu bahan MPASI sampai yang mahal sekalipun saya jabanin.
Hingga pada saatnya masa itu tiba. GTM. Gerakan Tutup Mulut. Sebuah momok yang sepertinya ditakuti oleh banyak ibu.
Tantangan Pertama: Mengunci Mulut
Aqsa mulai menunjukkan gejala GTM di usia 8-9 bulanan. Bermula dari pulang kampung saat Lebaran yang mana suasana makannya sangat berbeda dengan suasana makan di rumah yang tenang. Di kampung halaman, dia makan jauh dari suasana idealnya. Ada banyak orang yang lalu lalang menjadi distraksinya. Belum lagi setelah itu dia ketularan saya flu yang membuatnya makin malas makan. Di fase ini, saya dan ayahnya sempat bikin trik biar dia mau mangap dan menelan makanannya yaitu pura-pura mau kasih minum padanya. Saat dia sudah mangap, maka makananlah justru yang masuk. Sepertinya bukan cuma saya dan suami yang menerapkan ´trik´ begini agar anak mau makan. Saya mendengar banyak cerita dengan banyak trik yang berbeda. Tapi ternyata setelah saya tahu banyak pengetahuan soal pemberian makan pada anak, cara yang seperti ini salah banget.
Akhirnya saya ganti menu makanan bubur dan nasi tim dengan kentang tumbuk, sayuran rebus, dan telur dadar buat beberapa waktu. Menu ini berhasil membuka mulut Aqsa tapi ya itu lamaaaa banget durasi makannya. Di fase ini saya masih ¨Nggak apalah makan lama yang penting mau makan¨.
Tantangan Kedua: Susah Makan dan BB Stuck
Aqsa sudah mau makan saat saya mengganti menu bukan berarti jalanan di fase makan ini jadi mulus. Ini nggak seperti yang kau bayangkan, Marcedes! Ternyata setelah ini masih ada tantangan lain. Semakin ke sini, nafsu makan Aqsa mulai amburadul. BB-nya sempat stuck karena 3 bulan hanya naik 300 gram. Dokter anaknya sempat meresepkan susu formula untuk mengejar BB-nya. Tapi saat itu saya masih keras kepala nggak mau Aqsa minum sufor dulu. Saya dan suami kerjasama biar bagaimana caranya Aqsa mau makan sampai naik BB-nya. Saya tanya ke banyak teman soal variasi menu makanan buat anak GTM, saya praktikin, dan ternyata nggak ngaruh juga.
Karena BB Aqsa yang mulai stuck, saya jadi ketakutan. Jadi tiap anaknya melek saya jejalin makanan. Apa saja, dari makanan berat, cemilan, atau buah. Yang penting dia makan, batin saya. Ternyata semakin kesini anaknya justru sama sekali nggak mau makan. Sedih saya. Bahkan pernah saya biarin seharian dia nggak makan karena saking keselnya sampai akhirnya sore-sore dia nangis terus karena lapar. Trus saya bikinkan sup mie dan dia makan lahap. Di saat itu, rasanya nyess banget, kok saya sampai tega nggak ngasih dia makan sama sekali seharian, bahkan nenen pun nggak. Kadang saya suka merasa sedih sendiri kalau ingat itu.
Saking bingungnya saya dengan GTM-nya Aqsa, saya sampai nanya ke banyak orang. Saya bahkan nanya di IG Story, yang mana ini bukan saya banget. Jawabannya ternyata rata-rata ya maklumin saja karena akan ada masanya anak GTM. Tapi buat saya nggak bisa sesantai itu. Saya kudu mengejar target BB sedangkan Aqsa nggak mau makan. Sampai akhirnya pas saya makan sup ayam, saya suapin dia dan mau. Bukan cuma mau sesuap tapi ini bersuap-suap dan saya bahagia banget. Padahal saat itu, dia belum masuk tekstur makanan keluarga. Tapi di titik ini saya kayak nemu kuncinya.
Kuncinya adalah: masak makanan yang enak.
Ya, sup ayam buatan saya memang diakui enak sama anggota keluarga saya bahkan sampai difavoritin ibu saya. Makanya setelah itu, saya bikinkan Aqsa menu makanan yang berkuah. Sudahi dulu itu nasi dan bubur tim dan beralih ke nasi lembek dengan lauk aneka sup. Saya beri bumbu di sup sesuai dengan standar enaknya lidah saya. Tadinya memang saya memasak nggak pernah pakai gula/garam makanya mungkin hambar dan nggak enak di lidah Aqsa. Setelah ganti ke menu aneka sup (yang penting berkuah), nafsu makan Aqsa kembali lagi.
Selain itu, di fase ini saya juga baca banyak informasi soal GTM dan menemukan akun instagram dr Meta Hanindita yang seolah kayak oase di padang pasir. Highlightnya saya bacain satu-persatu dan feeding rules-nya saya praktikan. Saya nggak lagi memaksa Aqsa makan all the time tapi teratur dan terjadwal. Nyatanya ini semua berhasil menaikkan BB-nya dan menjaga kestabilan nafsu makannya.
Kenaikan BB Aqsa yang drastis ini sampai membuat DSA-nya bilang ¨Wah doyan makan ya ini?¨. Padahal dia nggak tahu aja gimana jatuh bangunnya saya dan suami kasih makan Aqsa. Di titik ini saya bahagia, bahkan di makanannya saya improvisasi menambahkan superfood kayak chia seed dan nutritional yeast biar makin mantap.
Tantangan Ketiga: Dilepeh dan Disembur
See? Lulus di tantangan satu, muncul tantangan lain yang butuh kesabaran lebih luas. Inilah fase yang cukup menantang buat saya ketika Aqsa bisa melepeh dan menyemburkan makanan dari mulutnya.
Di fase ini, semua makanan yang saya buat bahkan dengan rasa yang enak sekalipun kayak nggak keterima di lidahnya. Semuanya dilepeh dan disemburkan lalu setelah itu dia akan memasang muka puas dan bahagia. Sementara saya sudah mendidih banget kalau Aqsa sudah mulai kayak gini. Saya memang ada issue dengan makanan berantakan karena waktu kecil kalau makan berantakan saya selalu dimarahi Bapak. Makanya sampai sekarang pun kalau saya makan berantakan, walaupun itu cuma kuah bakso nyiprat, segera saya lap karena risih. Nah, ketika Aqsa masuk dalam fase lepeh dan sembur ini, perasaan saya benar-benar kacau.
Rasanya nggak karuan banget pas ngeliat Aqsa susah makan, mau makan tapi disembur atau dilepeh, lantai yang berantakan dengan bekas makanan, semut-semut yang berdatangan, makanan yang nggak habis, dan saya yang sudah membayangkan capeknya membereskan semua kekacauan ini setelah selesai makan. Sungguh, rasanya kesal, capek, dan sedih. Padahal menu makanannya sudah yang disukai Aqsa. Feeding rules-nya pun sudah saya terapkan. Tapi kok ya kayak nggak mempan untuk membuat Aqsa nafsu makan.
Di saat kayak gitu, dulu kalau malam setelah suami pulang kerja atau sebelum tidur saya sering curhat. Saya sering nanya ¨Kenapa sih nggak mau makan banget sampai kayak gitu?¨ atau bilang ¨Aku mau banget bangun lebih pagi, masak yang rumit yang dimau Aqsa asal makannya lahap dan habis, kayaknya tuh perjuangan masak aku tiap hari sia-sia karena makanan selalu kebuang¨ . Tapi palingan suami saya cuma bilang ¨Ya yang sabar, namanya juga anak-anak kan dia belum ngerti banget¨.
Kayaknya saat itu saya yang paling ngenes dan menderita. Suami saya kok ya kayaknya nyantai-nyantai aja padahal dia juga berperan kasih makan Aqsa di pagi hari dan mengalami fase makanan yang dilepeh dan disemburin juga. Nggak ngerti kenapa dia bisa sesabar itu. Mungkin salah satunya karena nggak ada issue dengan makanan yang berantakan pas masa kecilnya. Selain itu, kadang kalau makanan Aqsa nggak habis atau udah nggak mau di tengah jalan, suami saya stop nyuapinnya. Sedangkan saya tertarget banget tiap makan Aqsa harus habis, jangan sampai bersisa.
Sungguh, di saat itu benar-benar fase yang menguras emosi. Bahkan pernah satu kali saya sudah emosi sekali karena pas makan Aqsa susah banget dan malah minta ini itu. Akhirnya saya buangin barangnya dan teriak-teriak sampai terdengar tetangga. Kalau diingat kejadian itu antara ngenes, malu, dan sedih rasanya. Sejak saat itu saya menyesal sampai bersikap hilang kontrol ke Aqsa. Saya minta maaf ke dia dan berusaha sabar kalau lagi nyuapin Aqsa.
Trus gimana fase ini bisa terlewati? Saya bahkan nggak ngeh, ya lewat aja sendiri. Tiba-tiba Aqsa doyan makan lagi. Palingan kalau weekend kami makan di luar buat refreshing. Trus porsi makannya juga saya kurangin sedikit biar selalu habis. Saya juga ´membenahi´ diri sendiri untuk menghadapi issue makanan berantakan, tarik nafas pas Aqsa mulai nyemburin makanan, kasih makan Aqsa dengan hati dan perasaan yang happy, dan be nice dengan keadaan. Alhamdulillah fase dilepeh dan disembur pun lama kelamaan hilang dengan sendirinya.
Tantangan Keempat: Semakin Banyak Informasi, Semakin Banyak Penyesalan
Semakin sering Aqsa mengalami GTM, semakin banyak pula saya menggali informasi soal menu makanan, GTM, dan semua hal tentang MPASI pada anak. Di saat-saat inilah saya tahu banyak hal tapi di saat yang sama juga saya semakin menyesal.
Iya, menyesal karena selama ini yang saya lakukan tuh ternyata salah.
Menyesal karena ternyata selama ini yang saya lakukan tuh berlebihan.
Menyesal karena selama ini pemahaman saya keliru yang mungkin saja ini salah satu penyebab BB Aqsa susah naik.
Dari hal kecil saja, sayuran dan buah. Ternyata untuk anak usia di bawah 2 tahun, porsi sayuran dan buah itu masih sedikit karena sifatnya baru untuk pengenalan. Banyak makan sayur dan buah justru akan membuat BB susah naik (itulah kenapa kalau orang diet disarankan makan banyak sayur dan buah), sedangkan dulu saya kasih sayur dan buah yang banyak buat Aqsa. Ada juga soal superfood yang ternyata itu adalah makanan untuk orang dewasa, bukan anak-anak. Lalu lemak yang dulu sering saya skip, malah saya bela-belain beli lemak yang mahan seperti EVOO atau unsalted butter padahal mentega atau minyak goreng di rumah saja cukup. Gula dan garam yang dulu saya larang habis-habisan justru sangat boleh diberikan untuk memperkaya rasa. Dan masih banyak hal lain yang ternyata selama ini salah.
Dari situlah akhirnya muncul penyesalan yang dalam. Ditambah lagi waktu itu awal-awal WFH yang nggak cuma menguras emosi tetapi juga Aqsa mulai nggak nafsu makan lagi. Rasanya saya seperti jadi ibu gagal dan ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semuanya. Saya bahkan sampai trauma buat kasih makan Aqsa karena saat itu rasa penyesalan saya, fase GTM Aqsa, dan letihnya menghadapi WFH bercampur menjadi satu.
Untung banget saya menemukan lingkungan yang supportif. Punya teman sesama ibu yang justru mendukung dan menyemangati saya itu menyenangkan banget. Mereka sama sekali nggak men-judge saya. Di fase ini, saya juga mulai menanggalkan beban target BB harus naik dan mengganti dengan prinsip baru yaitu waktu makan harus menyenangkan.
Dibantu teman saya yang psikolog, saya juga berusaha healing dengan cara journaling. Hasilnya, sekarang saya lebih legowo kalau kasih makan ke Aqsa. Ternyata hati yang gembira membuat suasana makan lebih menyenangkan dan Aqsa lebih lahap. Kalaupun Aqsa makan nggak habis, saya sudah bisa terima dengan hati lapang walaupun sesekali juga kadang masih suka ngomel. Tapi sekarang much much better. Nggak lupa juga, kalau Aqsa makan dengan baik, saya ucapkan terima kasih karena sudah mau diajak bekerja sama dengan baik.
Tantangan Kelima: Sakit di Daerah Gigi dan Mulut
Setelah masalah lepeh dan sembur serta mental saya dalam menghadapi Aqsa makan sudah membaik, nggak lantas tantangan fase makan jadi berakhir. Tantangan berikutnya adalah sariawan yang melanda Aqsa. Dan ini terjadi di saat Aqsa sedang di fase makan yang menyenangkan: lahap, porsi banyak, dan makan cepat. Rasanya jadi kayak patah hati.
Dulu, saat Aqsa tumbuh gigi kami nggak mengalami masalah yang berarti. Justru beberapa waktu yang lalu masalah mulut dan gigi muncul dalam bentuk sariawan. Apalagi sariawan yang Aqsa alami bukan yang bentuknya luka menganga belainkan bintil kecil (yang saya tahu sudah lama di bibir bawah bagian dalam) yang akhir-akhir ini membesar dan dalamnya berisi air dan darah. Saya sering sariawanan yang seperti ini tapi biasanya saya pecahin, jadi sariawan biasa yang menganga, lalu sembuh. Tapi kalau di Aqsa kan nggak bisa karena pas mecahin aja sakit, belum lagi pas sudah jadi luka sariawan. Saya sih nggak jamin dia nggak rewel. Jadi kami biarkan saja sariawan itu kempis sendiri.
Tapiiiii, selama periode sariawan itu masih bengkak Aqsa justru bermasalah sama makan. Dia bahkan berkali-kali nggak mau makan, mau tapi akhirnya dilepehin, atau muntah. Mungkin mulutnya sakit atau risih karena ada bintil sariawan yang membesar. Nah, semenjak ´lulus´ dari trauma makan dengan Aqsa saya justru lebih selow menghadapi ini. Agak panik memang, tapi sama sekali nggak kesal kalau Aqsa nggak mau makan. Mungkin kalau ini terjadi duluuuu jauh sebelum saya perlahan berdamai sama trauma, saya bisa marah-marah dan stres sendiri. Kalau sekarang jatuhnya malah kasihan sama Aqsa karena saya yang sariawanan ini tahu betul gimana nggak nyamannya kalau sariawan.
Akhirnya saya putar otak demi Aqsa mau makan. Saya ganti menu nasi jadi mie rebus kesukaannya, dia mau makan tapi hanya sedikit. Lalu saya ganti dengan kentang, dia sama sekali nggak mau makan. Akhirnya saya mengalah untuk mencoba turun tekstur, saya bikinkan dia bubur dan ternyata dia makan lahap dan habis. Mungkin bubur nyaman saat masuk mulut dan dikunyah. Esoknya, saya bikinkan bubur tim yang diisi daging, telur, dan keju, alhamdulillah lahap juga meski porsinya dari awal dikurangi. Semakin tambah hari, porsi pun semakin ditambah ke porsi semula dan tekstur meningkat perlahan hingga akhirnya kini sudah bisa kembali makan makanan keluarga.
Sampai saat ini saya yakin akan ada tantangan baru lagi yang siap nggak siap harus dihadapi. Tapi sekarang saya sudah lebih legowo soal emosi dalam menghadapi fase makan Aqsa. Nggak dipungkiri, kadang saya masih suka kesal kok kalau Aqsa susah makan atau makannya nggak habis, tapi nggak sekesal dulu. Sekarang saya jauuuh lebih baik dan kenaikan BB Aqsa pun sudah mulai signifikan.
Fiuuuhh ternyata panjang juga ya tulisan ini. Tapi saya lega sih sudah berhasil mengungkapkan semua uneg-uneg soal jatuh bangunnya menghadapi fase makan anak. Nggak gampang ternyata dan semua yang dulu saya pikirkan soal sepupu saya pas ngasih makan anaknya justru beberapa hal berbalik ke saya. Itulah sebabnya kenapa kita nggak boleh meremehkan hal-hal yang belum dialami sendiri.
So, buat para orang tua yang masih berjibaku dengan fase anak satu kata dari saya adalah: SEMANGAT. Kuncinya adalah selalu happy ketika memberi makan anak dan pantang menyerah.