Memasuki usia 3 tahun lebih, saya belum punya niatan buat memasukkan Aqsa ke sekolah formal. Selain belum ada pilihan sekolah yang fix, saya adalah ibu yang memilih anak usia bawah lima tahun mendingan main dan senang-senang dulu aja. Kasihan kalau di usianya yang 3 tahun dia harus sekolah dan belajar secara formal di dalam kelas. Tapi saya dan ayahnya sebagai orang tua pun nggak lantas membiarkan Aqsa cuma main terus aja di rumah.
Mumpung masih pandemi dan suami juga masih WFH, kami juga puas-puasin bonding sama Aqsa. Takutnya kalau suami udah full WFO, otomatis waktu bersama Aqsa berkurang drastis. Saya yang tadinya bisa bagi-bagi kerjaan pun takut kecapekan dan malah nggak bisa maksimal bonding sama Aqsa. Jadi ya udah deh, nanti aja nyekolahin Aqsa-nya. Yang penting kami sudah punya tabungan buat Aqsa sekolah dan tahu sekolah-sekolah mana aja yang jadi incaran.
Walaupun di rumah aja dan sebagian besar waktu dihabiskan buat bermain, nggak lantas kerjaan Aqsa hanya diisi dengan maiiiinnnn terus. Sesekali saya buatkan mainan edukatif ala-ala montessori buat dia belajar. Saya dan ayahnya juga mengajarkan banyak hal kayak hafalan doa dan surat-surat pendek, huruf & angka, kosakata Bahasa Inggris, huruf hijaiyah, sampai memperkenalkan sedikit-sedikit soal membaca. Jadi, ketika nantinya Aqsa mau masuk bangku sekolah, dia sudah punya pondasi dan sedikit ilmu.
Sayangnya, untuk beberapa hal memang saya dan suami kesusahan buat mengajarkan ke Aqsa. Ini berlaku terutama buat hal-hal yang menyangkut motorik halus. Kegiatan seperti menggunting, menulis, mewarnai gambar, menempel, dan keterampilan lain agak susah dilakukan. Selain karena Aqsa doyannya gedebukan, dia juga tipikal yang bosanan.
Kalau saya ajak berkegiatan yang mengandalkan kemampuan motorik halus, selain bosan dalam waktu yang singkat, dia juga punya kalimat andalan ¨Ibu aja yang kerjain¨. Berulang kali sudah saya bujuk, temani, beri contoh, atau ajak untuk melakukannya bersama-sama pun tetap tidak mau. Kalau sudah begini, bisa apa lagi. Saya nggak mungkin juga paksa atau ancam dia. Nggak mau juga dia melakukan sesuatu karena terpaksa atau hanya demi menyenangkan saya.
Karena ini pula, saya dan suami mikir pengen ngikutin Aqsa di kelas bermain. Pengennya di kelas bermain yang nonformal aja, jadi nggak se-strict kayak sekolah. Pengennya juga yang tiap minggu cuma beberapa kali masuk biar anaknya nggak cepat bosan karena rentang konsentrasi anak 3 tahunan pun masih pendek. Apalagi ini sifatnya kan hanya sementara. Pengen melihat bagaimana Aqsa mengerjakan tugas-tugas kalau ada yang supervisi (guru) dan reaksi dia ketika duduk di tempat yang banyak orang untuk belajar.
Saya dan suami pun terus mencari kelas-kelas. Kriterianya kira-kira yang seperti ini:
- Kelasnya 2-3 kali seminggu
- Sifatnya belajar sambil bermain (fun learning)
- Nggak terlalu jauh dari rumah
- Jam belajar tidak terlalu lama (maksimal 1 jam)
- Offline
- Harga terjangkau (karena sayang kalau kelas nonformal tapi harganya mahal)
Pernah lihat beberapa kelompok bermain hingga hotel yang program buat anak-anak. Sayangnya, banyak dari programnya hanya sehari alias one day activity dengan harga yang lumayan. Melihat itu saya masih pikir-pikir lagi, selain sayang biayanya yang lumayan besar hanya buat sekali kelas. Takut Aqsa-nya juga nggak berkesan karena cuma sekali.
Sampai akhirnya saya diceritain suami yang lihat kelas McKids di McDonald (McD) waktu ia dan Aqsa lagi nungguin saya event di suatu tempat. Suami dan Aqsa melihat anak-anak McKids ngapain aja selama dia nungguin saya.
Nggak lama, saya lihat IGS seorang teman blogger yang anaknya sedang ikut kelas McKids. Saya tanya-tanya kegiatannya ngapain aja, berapa hari seminggu, sampai berapa bayarnya. Dari situ, saya dan suami akhirnya pengen cari informasi ke McD dekat rumah.
Malamnya, niat kami hanya mau cari informasi seputar McKids di McD dekat rumah. Hanya tanya-tanya sih tadinya tapi berujung daftar juga dan kagetnya besok paginya bisa langsung masuk kelas, wkwkwk. Suami saya sampai bilang ¨Si A (salah satu teman main Aqsa) udah daftar sekolah dari Januari tapi belum masuk-masuk juga. Aqsa daftar kelas bermain malem, paginya dah masuk aja¨.
Iya juga sih. Saya sempat terkekeh.
Pas daftar, kami dikasih kartu keanggotaan dengan privilege :
- selama jadi anggota McKids, setiap beli paket Happy Meal dapat free es krim di gerai McD mana aja yang penting tunjukkan kartunya
- Selama masa keanggotaan, boleh mengadakan party atau ulang tahun di McD bonus 10 paket makanan untuk minimal 50 buah pemesanan
Lain-lainnya dari pendaftaran adalah biayanya 60.000 untuk keanggotaan selama setahun, free kaos seragam, bayar biaya Rp 15.000 setiap masuk kelas karena guru yang mengajar berasal dari luar McD, dan sehabis kelas selesai tiap anak akan diberi es krim cone McD. Selain itu, saya juga dimasukkan dalam grup WA wali murid yang berfungsi buat listing per sesi tiap kelas mau diadakan sama koordinasi harus membawa peralatan apa saat mau masuk kelas.
Karena waktu yang buru-buru dan mendadak, malam itu juga saya dan suami sounding Aqsa terus-menerus buat sekolah besok pagi. Jadi dia di-sounding akan sekolah, ketemu banyak teman, main di McD, dan harus bangun pagi. Untungnya Aqsa nggak protes dan paginya dia berangkat masuk McKids dengan senang dan tenang.
McKids di McD dekat rumah saya dilakukan 2 kali seminggu tiap hari Senin dan Rabu. Tiap pertemuan ada 2 sesi yaitu jam 09.00-10.00 dan 10.00-11.00. Tiap sesi ternyata pesertanya membludak dan dari berbagai umur. Dari yang udah usia TK sampai yang masih ngedot atau pakai diapers ada lho. Makanya task-nya juga beragam. Kadang ada yang guampang banget buat seusia Aqsa, kadang ada yang rumit banget sampai-sampai emaknya yang harus mengerjakan.
Hari pertama McKids saya (dan mungkin Aqsa) cukup kaget karena ternyata yang ikut buanyak banget per sesi. Saat itu hanya ada 2 sesi dan sekali sesi ada 30an lebih anak (plus pendamping) di dalam ruangan. Karena baru dan waktu itu datangnya mepet waktu, Aqsa pun kebagian duduk di luar ruangan.
Saya yang kaget berusaha buat mengikuti apa yang dilakukan oleh guru yang dipanggil Miss. Saya kira Aqsa pun masih bingung saat itu karena ruame banget suasananya, dia jadi nggak fokus. Saya maklum sih. Tapi saya berusaha bikin dia nge-blend aja gitu.
Pas disuruh nyanyi, saya bimbing Aqsa ikutan berdiri di depan gurunya. Saat itu belum tahu lagunya, ya cuma ikut ala-ala sambil ngikutin gerakan tangannya. Saya maklum banget kalau Aqsa nggak bisa fokus karena kelas pagi itu ruame banget.
Begitu task dibagikan, saya pikir Aqsa akan ogah-ogahan mengerjakan seperti di rumah. Saya ingat banget, saat itu tugasnya adalah membuat pelangi dari kertas origami warna-warni yang digunting dan ditempel di kertas, membuat awan dari kapas yang ditempel, dan mewarnai balon.
Walaupun sempat bingung karena nggak bawa gunting dan akhirnya pinjam ke ortu lain, tapi saya bisa menyediakan keperluan Aqsa saat itu. Saya sempat amazing banget karena saat itu Aqsa antusias, mau duduk tenang, dan mengerjakan semua tugasnya sendiri. Dia menempel dan membuat pelangi, melekatkan kapas, sampai mewarnai semuanya sendiri.
Saya mencoba nggak intervensi, nggak mau terlalu banyak membantu, atau bahkan memburu-buru dia. Dalam hati saya, silakan kerjakan semampu kamu. Kalaupun waktunya sudah habis (McKids hanya sekitar 1 jam) dan belum selesai ya tidak apa-apa. Mungkin baru segitu yang Aqsa bisa. Meanwhile ternyata anak-anak lain yang mengerjakan tugasnya adalah pendampingnya. Malah ada anaknya yang ngumpet di bawah meja atau main di playground. Sementara yang mewarnai, menempel, atau menggunting ya yang nungguin.
Tapi saat itu nggak berlaku di Aqsa. Dia berhasil bikin awan dan pelangi sampai selesai dan dapat bintang. Sementara mewarnai balonnya belum selesai. Ya nggak apa-apa, baru juga sekali ikut. Segitu juga dia udah bagus banget karena semuanya mengerjakan sendiri.
Seiring berjalannya waktu, sekarang kira-kira sudah 2 bulanan lebih Aqsa ikut kelas belajar di McKids. Dari situ saya jadi punya beberapa insight buat Aqsa:
- Aqsa tidak cocok duduk di kelas yang sangat crowded alias buanyak banget muridnya karena dia jadi nggak fokus buat mengerjakan sesuatu. Makanya saat akhirnya Miss membuka 1 sesi lagi yaitu sesi pagi jam 08.00, Aqsa saya pindahkan ke sesi itu walaupun lumayan pagi dan rasa sekolah banget tapi sekelas kurang dari 20 orang. Aqsa pun bisa lebih fokus ngerjain sesuatu.
- Nantinya kalau cari sekolah untuk Aqsa, selain yang 1 kelas hanya sedikit muridnya juga yang gurunya bisa take care dia penuh. Kalau bisa sih yang sekelas ada 2 guru atau yang benar-benar perhatiin muridnya satu per satu secara detail.
Well, karena ini sekolah nonformal yang mana masuknya aja suka-suka dan bayarnya murah banget, saya pun nggak berekspektasi tinggi terhadap kelasnya. Output Aqsa bisa duduk dengan tenang, menyesuaikan dengan suasana kelas, bisa bersosialisasi dengan baik, dan mengerjakan tugasnya sendiri aja udah bagus banget. Selebihnya ya emang main-main aja. Makanya agak heran kalau ada wali murid yang pengen ini itu karena kan ini kelas senang-senang istilahnya.
Walaupun begitu, saya juga nggak lantas lepas tangan gitu aja ke Aqsa. Sebisa mungkin saya pantau perkembangannya dengan bikin jurnal pendidikan sendiri buat Aqsa. Ya semacam nyatetin apa-apa aja yang Aqsa lakukan di kelas dan perkembangannya sejauh ini. Dengan kayak gini, bisa membantu saya buat mengajari apa yang kurang dari Aqsa dan mengapresiasi pencapaiannya.
Selain bikin jurnal pendidikan sendiri, saya juga mengulang lagi task yang diberikan Miss di sesi belajar kayak mewarnai di rumah, cari printable buat tugas anak-anak prasekolah, belajar menggunting kertas, sampai nyanyi lagu-lagu di sekolah.
Walaupun belajar di kelas belajar nonformal, tapi ada beberapa kemajuan Aqsa yang terlihat signifikan banget buat saya, seperti:
- Mau mengerjakan tugas-tugasnya sendiri
- Bisa duduk tenang di ruangan yang banyak anak-anak seusianya selama 1 jam
- Bisa bersosialisasi dengan anak-anak lain walaupun hanya sebatas di playground
- Sudah mau mewarnai objek besar dengan penuh dan mulai rapi
- Mau mengerjakan tugas menggunting walaupun saat menggunting kertas masih harus dipegangi
- Sudah mau dan hafal bernyanyi dan doa bersama
- Antusias bernyanyi di depan bersama teman-teman sebelum kelas dimulai
- Bisa memakai, melepas, dan menempatkan sepatu di tempatnya saat pulang
- Menjalani ´ritual´ pulang dengan tertib, seperti: menaruh helm di tempatnya, ganti baju, menaruh tas di cantelan, cuci kaki, dan memakai baju sendiri
Kira-kira ini kemajuan yang sudah Aqsa buat dan menurut saya patut diapresiasi. Bukan cuma soal skill seperti motorik halus atau kasar, tertib aturan sepulang sekolah dengan menaruh barang-barangnya di tempatnya aja udah masuk dalam kemajuan.
Walaupun begitu, masih banyak juga PR dan kekurangan yang mesti dibenahi dari Aqsa yang terlihat setelah ikut kelas belajar ini, seperti:
- kemandirian di kelas yang masih kurang, jadi masih harus ada ibunya yang selalu mendampingi
- kurang berani untuk melakukan sesuatu (tapi kalau sudah disuruh atau dijemput Miss pasti akan mau) apalagi kalau ibunya yang menyuruh
- fokus atau konsentrasi yang masih kurang
- kemampuan memegang pensil atau grip masih belum sempurna
Terakhir, dia sangat senang karena kelas belajarnya mengadakan acara field trip ke kantor pemadam kebakaran. Jauh hari sebelum pergi, dia sudah antusias sekali karena akan naik bus dan mobil pemadam kebakaran. Setelah field trip, berkali-kali dia bilang ¨Aqsa happy¨ dan pengen ikutan field trip lagi.
Dua bulan ini sudah terbilang cukup untuk saya dan suami melihat bagaimana pola Aqsa belajar dan sekiranya sekolah apa yang dibutuhkannya. Selanjutnya, kami berencana mencarikan les yang menyenangkan untuk Aqsa dengan jadwal yang fleksibel sehingga dia masih tetap bisa ikut McKids (walaupun hanya seminggu sekali) tetapi juga bisa menggali ilmu lain yang kelak berguna buat dia.
Buat para orang tua yang pengen mengikutkan anaknya di kelas belajar McKids khususnya, semoga bisa sedikit tercerahkan dan punya insight baru setelah membaca tulisan ini.
*Note: tulisan ini bukan tulisan berbayar tetapi murni dibuat dan di-review berdasarkan pengalaman penulis mengikutsertakan anak di kelas belajar McKids.