#CeritaIbu: Jungkir Balik Dunia Ibu Baru

#CeritaIbu: Jungkir Balik Dunia Ibu Baru

Nggak terasa banget ternyata sudah 2 bulan lebih saya jadi ibu. Kalau ditanya gimana rasanya, pastilah jawabannya campur aduk. Ya senang, capek, repot, dan masih banyak lagi. Tapi paling banyak sih senang. Tiap hari juga ada aja kejutannya. Tiap hari pula nggak berhenti buat tahu dan belajar sesuatu yang baru. Ada aja kejutannya. Tapi satu hal yang saya pahami adalah, menjadi ibu baru juga tetap harus menjaga ´kewarasan´.

Dulu banget, saya tipikal perempuan yang menganggap seorang perempuan harus bisa segalanya. Idealis banget sih karena menurut saya itu tugasnya. Seorang perempuan harus bisa mengerjakan segalanya karena toh ada yang bisa begitu. Seperti contohnya, ya walaupun kerja harus bisa perfect dalam mengerjakan urusan rumah. Itulah kenapa dulu saya protes pas ibu saya nggak pernah masak atau nyuci baju di rumah padahal dia kerja. Toh ibu lain ada juga yang punya karir tapi pekerjaan rumah tetap bisa kepegang. Tapi itu dulu, sebelum saya mengalaminya sendiri.

Seorang perempuan yang juga jadi ibu memang kadang harus dihadapkan pada pilihan. Kalau ia punya karir bagus ya biasanya urusan rumah rada berantakan. Atau yang mau urusan rumah kepegang teratur ya biasanya harus mengalah mengorbankan karirnya. Bahkan kadang udah mengorbankan karirnya, urusan rumah juga tetap aja nggak kepegang karena repot ngurusin anak. Memang ada yang semuanya beres kepegang, ya karir bagus ya urusan rumah dan anak teratur. Tapi itu hanya berapa gelintir perempuan yang begitu?

Pas saya udah punya Aqsa, pilihan-pilihan di atas itu memang benar adanya. Semuanya nggak bisa se-idealis dan perfect seperti yang ada di bayangan saya. Iya, karena seorang ibu yang notabene hanya punya 2 tangan, 2 kaki, tenaga terbatas, dan waktu 24 jam juga harus tetap menjaga kewarasan. Apalagi buat ibu baru seperti saya yang ngurus anak tanpa asisten plus di perantauan. Harus punya strategi jitu biar nggak stress yang bisa-bisa berujung jadi baby blues atau malah PPD (post partum depression).

Lakukan Hobi yang Disukai

Mengurus anak apalagi new born dan baru pertama kali emang bikin repot. Kalau nggak bisa dibawa enjoy malah bisa-bisa berujung jadi stress. Asli! Makanya biar nggak stress, di sela-sela waktu luang saya mengerjakan hal-hal yang bikin saya bahagia. Waktunya biasanya pas si baby tidur. Maka saat itulah kalau nggak ikutan tidur ya saya mengerjakan hal-hal yang saya sukai.

Baca Juga:   Hamil-Melahirkan-Menyusui, Antara Ekspektasi dan Realitas

Biasanya saya nonton film waktu Aqsa tidur. Bisa juga baca buku atau e-book pas dia tidur atau di sela-sela dia lagi menyusu sementara matanya udah merem. Daripada ikutan merem atau kadang merasakan sakitnya payudara pas menyusui, saya alihkan aja sambil baca buku atau e-book. Jadi multitasking banget deh waktu menyusui. Kadang saya juga sempatkan nulis blog buat nambah original content di blog. Ya pokoknya saya lakukan hobi yang saya sukai dan bisa dilakukan di rumah karena sementara ini kan saya nggak bisa menjalani hobi saya yang lain yaitu traveling.

Ambil ´Cuti´ Sebentar

Jadi freelancer itu ada enak dan nggak enaknya. Ada masa-masa dimana kerjaan padat banget dan rezeki seolah mengalir lancar. Jadi mengerjakannya nggak kenal waktu. Sementara itu, enaknya adalah kita bisa atur waktu sendiri dan mengambil pekerjaan disesuaikan dengan waktu. Inilah yang alami akhir-akhir ini.

Baca Juga:   Menjadi Full Time Blogger dan Hidup yang "Pas-Pasan"

Jadi ceritanya, setelah flashback dan berkontemplasi (cailah!) saya baru nyadar kalau akhir-akhir ini kayak yang ngoyo banget ngerjain pekerjaan. Sehari sebelum SC aja saya masih nulis, setor artikel, dan kirim email ke PIC buat sponsored post. Beberapa hari sebelum SC juga saya masih ikut campaign. Nggak cuma itu, beberapa hari setelah SC dan ketika badan udah enakan juga masih ngerjain sponsored post yang udah terlanjur disanggupi. Bahkan saya sempat ikutan campaign livetwit sambil gendong dan nyusuin Aqsa yang cranky. Dan kalau sekarang dipikir, fyuuhhh banget rasanya.

Baca Juga:   Cerita Kehamilan Ketiga: Menghadapi Persalinan Caesar

Makanya akhir tahun ini saya melonggarkan pekerjaan sejenak. Saya nggak daftar campaign kecuali yang saya suka banget banget banget. Lihat penawaran campaign di social media juga dilewat dulu karena mau mengisi social media dengan sharing receh tapi berguna. Selain itu, sponsored post juga saya rem dulu sampai akhir tahun kecuali udah terlanjur masuk dan deal. Fokus saya adalah Aqsa yang sekarang mulai rada kolokan minta nenen mulu, haha. Dan memang itu kan fokus utama saya? Saya mikir, orang kantoran aja ada cuti melahirkannya 3 bulan, kok saya jor-joran banget. Makanya sekarang ini saya lagi mau santai ambil kerjaan.

It´s OK to Not OK

Dulu saya termasuk orang yang suka stress kalau rumah berantakan. Liat cucian piring numpuk, sampah belum dibuang, atau lantai kerasa debuan aja rasanya risih. Walaupun bukan tipikal orang yang rapi dalam menyimpan barang, tapi saya nggak jorok. Makanya kalau habis dari bepergian dan merasa ada yang nggak sreg dengan kebersihan di rumah ya buru-buru saya kerjain walaupun capek. Prinsipnya: sekalian capeknya baru habis itu istirahat.

Tapi setelah punya anak dan jadi ibu, semuanya ambyar. Saya belajar dealing with messy things. Nggak lagi seperfeksionis dulu kalau lihat rumah berantakan. Kalau lagi capek trus anak lagi tidur sementara lantai kotor ya biarin dulu aja. Saya mendingan ikutan tidur atau istirahat sementara kalau nggak nyaman ya tinggal pakai sandal aja di dalam rumah. Solusi sepele sejenak tapi nggak bikin saya stress. Biar aja cucian piring kotor menumpuk, sampah belum dibuang, lantai kotor, atau sofa berantakan asalkan saya nggak capek dan stress toh jarang orang bertamu ini ke rumah saya. Pokoknya saya jadi toleransi tinggi banget ke segala kekacauan. Ntar kalau pas nggak capek atau Aqsa ada yang pegang baru deh saya beresin.

Speak Up!

Saya mantan mahasiswa Ilmu Komunikasi, dulu katanya kalau mahasiswa komunikasi dilarang misskomunikasi. Ini saya terapkan sama pasangan alias suami saya. Sebelum melahirkan, bahkan sebelum hamil malah saya udah ngobrol bahwa nanti kalau sudah punya anak kita harus saling bahu-membahu bantuin karena cuma berdua dan hidup di perantauan. Dan itu terjadi hingga sekarang.

Gusdur, dikatakan oleh anaknya Innayah Wahid, bilang kalau ngurus anak (ganti popok dan lain-lain) itu bukan pekerjaan ibu melainkan pekerjaan orang tua anak karena kan bikinnya berdua. Tuh, Gusdur yang jadi presiden aja nggak gengsi membantu pekerjaan ngurus anak kok. Inilah kenapa saya dan suami kerjasama ibaratnya satu team. Kalau saya pegang pekerjaan rumah tangga ya suami yang pegang baby, begitu juga sebaliknya. Memang ada beberapa pekerjaan rumah seperti masak yang suami saya nggak bisa lakukan. Tapi buat pekerjaan rumah yang lain kayak cuci baju kami dan Aqsa, menyapu, atau beberes rumah bisa kami lakukan bergantian.

Baca Juga:   [SP] Tentang Belajar Mencuci Baju Bayi bagi Ibu Baru

Saya jadi istri yang anti-kode kodean club. Nggak ada mention suami karena ada artikel yang nyindir secara halus di social media tentang pembagian pekerjaan rumah tangga biar suami nyadar. Saya sih biasanya bilang langsung, misalnya ¨Aku nyusuin udah ngucek baju Aqsa, kamu bilas ya¨ atau saat malam hari ngantuk banget karena nemenin Aqsa yang boboknya malam trus saya tinggal bilang ¨Kamu nanti ganti popok yang jam 2 ya, aku ngantuk¨. Gitu aja sih, simpel. Saya juga harus bersyukur karena suami saya tipikal yang mau diajak berkomunikasi dan kerjasama.

Trus pernah nggak baper atau misskomunikasi? Pernah banget. Ya saya ngambek trus ingatkan lagi suami ke komitmen awal kita. Akhirnya dia sadar kok dan kita kembali bekerja sama kembali jadi team yang hebat. Suami saya pun tipikal yang nggak gengsi ´pegang´ anak. Ketika suami saya pegang Aqsa inilah saya bisa me time sebentar entah itu makan dengan tenang, mandi agak lama, atau nonton tv. Selain itu, dia juga bisa memperkuat bonding dengan anak. Win-win solution kan?

Baca Juga:   'Me Time' Favorit ala Ibu Rumah Tangga

Stay Calm

Ada orang-orang yang panik dengan tangisan anak. Kalau anak nangis kayaknya berasa ada yang salah dan cepat-cepat harus ditenangkan. Jadi panikan deh. Tapi saya mencoba buat nggak jadi orang panikan ini. Di mindset saya, kalau bayi nangis ya udah sih karena dia kan bisanya masih nangis. Kalau tiba-tiba manggil ¨Ibuuukkk¨ malah saya jadi seram. Makanya kalau Aqsa nangis saya yang nggak langsung jadi panik. Paling bilang ¨Bentar ya, dek. Sabar…¨ kalau harus terjeda sebentar dari pekerjaan yang sedang dilakukan.

Untungnya, Aqsa tipikal anak yang nangis dengan sebab. Kalau nangis biasanya dia lapar, mengantuk, nggak nyaman karena pipis atau pup, atau karena dicuekin nggak ada stimulasi. Makanya tiap nangis saya jadi tahu cara menanggulanginya dan berusaha nggak panik. Kayak misalnya kalau nangis karena lapar ya disusuin. Kalau ngantuk ya tinggal diboboin. Kalau pipis atau pup ya diganti aja. Sementara kalau Aqsa butuh stimulasi sementara saya harus mengerjakan sesuatu biasanya saya setelin lagu aja.

Itu dia beberapa hal yang saya lakukan buat meminimalisir stress dan menjaga tetap waras saat menjadi ibu baru. Alhamdulillah, sampai sekarang saya banyak bahagianya mengurus anak. Kalau ada yang mau meniru cara saya silakan aja tapi saya tahu pasti tiap orang punya keadaan dan treatment yang berbeda tentunya. Semuanya nggak bisa disamakan. Oleh karenanya, coba cari tahu bagaimana keadaan kamu, pasangan, dan lingkungan sekeliling buat tahu treatment seperti apa yang bisa dilakukan biar tetap happy.

Karena jadi ibu harus bahagia, jangan jadikan beban.

Selamat berbahagia!

 

0 Comments
Previous Post
Next Post
Ayomakan Fast, Feast, Festive 2023
Rekomendasi

Jelajahi Kuliner Bersama AyoMakan Fast, Feast, Festive 2023