Ketika Kita Tak Bisa Memilih Dilahirkan di Keluarga yang Seperti Apa

Ketika Kita Tak Bisa Memilih Dilahirkan di Keluarga yang Seperti Apa

Entah kenapa tiba-tiba pengen nulis tentang ini gegara habis baca ribut-ribut kasusnya Marissa Haque. Padahal biasanya, saya cuma jadi penikmat kalau ada kasus yang sedang hangat lalu dituliskan oleh teman blogger. Saya nggak pernah bisa mencari trafik dari kasus yang sedang in, hihi. Cuma karena hari ini baca berita di Tempo yang memuat caption instagram Chiki Fawzi lalu hati ini meleleh semeleleh-melelehnya dan pengen nulis ini.

Jujur, saya nggak mengikuti kasusnya Marissa Haque yang memang beberapa hari ini berseliweran di timeline social media. Selain karena malas, saya juga bosan ngikutin kasus-kasus yang berpotensi mengeluarkan banyak energi negatif.

Tapi kali ini ada yang mencuri perhatian saya. Banyak teman Facebook khususnya justru share dan mencermati cara anak-anak Marissa Haque melakukan manajemen konflik saat kasus ini sedang panas-panasnya. Dan perhatian saya tertuju sama caption dua anak gadis keluarga Fawzi ini khususnya Chiki Fawzi. Captionnya bikin merinding, meleleh, dan terharu.

Pernah dengar “Unconditional Love”? Cinta Tanpa Syarat? Saya belajar itu dari ayah saya. Ayah pernah bilang, “Nak, kamu kalau janji sama orang pasti selalu berusaha menepati kan? Apalagi janji sama Allah. Ayah janji sama Allah pas ijab kobul, sama alm. Opa kamu, untuk jaga ibu kamu, sampai maut memisahkan. Ayah ga akan mencederai janji ayah sama Allah”. Ayah juga yg selalu mengingatkan, “No.1 ibumu, no.2 ibumu, no.3 ibumu, baru ayahmu, Nak. Udah jangan sayang2 amat sama ayah ????”. Tapi aku jadi makin sayang sama ayah krn dari kecil menyaksikan ketulusan hati ayah yg penuh cinta ini. Yg hidupnya mencari ridho Allah aja, ga peduli di dunia babak belur perasaannya. • Saya sedih banget, ketika netizen menyerang ayah saya dengan segala prasangka dan asumsi mereka. Ayah saya itu tulang punggung keluarga kok. Kerja keras buat bahagiain keluarga. Ga pernah nyerang orang. Sangat bersahabat. Saya sangat melihat usaha ayah melembutkan hati ibu. Ayah selalu mengingatkan, “Doa, Nak. Minta ke Allah untuk melembutkan hati. Hati ibumu hati Allah juga”. Ketika ayah saya, sosok paling sabaaar di hidup saya menjadi bahan celaan kalian yg tidak paham bagaimana kondisi sebenarnya, saya sedih. Lebih baik katain saya aja deh buat hal2 yg tidak pernah saya lakukan, sampai puas saya rela, tapi stop kata2in ayah saya. Ayah saya orang baik. Kesabarannya luar biasa. Mungkin org2 yg pernah kenal ayah yg bisa paham tulisan saya diatas. • Allah ga pernah salah tetapkan takdir, termasuk takdir saya dan kakak saya sekarang masih sendiri. Untuk yg berkata2 kasar nyumpah2in saya dan kakak sy jadi perawan tua dll (kasar2 bgt kata2nya ????) dan semakin mengubek2 personal kami, saya memang memilih untuk jomblo kok. Mencegah diri dari dosa2 tidak penting. Kasian ayah ikut nanggung dosa saya kan sebelum saya nikah. Pengen jaga akhirat ayah saya. Saya jg percaya semua akan indah pada waktunya. ???? • Allah ga pernah salah tetapkan takdir saya lahir dari siapa. Apapun yg terjd ibu saya tetap ibu saya. Tetap sayang sama ibu. I love her. Mohon maaf untuk kata2 ibu yg kurang berkenan. Mohon maaf jika ada salah2 kata dari saya. Selamat beristirahat. Semoga kebenciannya ga dibawa sampai tidur ya. ????????????

A post shared by Chiki Fawzi (@chikifawzi) on

Cara Chiki Fawzi (dan Bella) menghadapi konflik antara sang ibu dan netizen menurut saya sangat bijak. Nggak lantas jadi nge-gas karena banyak bully-an dan hujatan yang akhirnya bukan cuma dilontarkan pada ibunya tetapi juga pada dirinya, saudara, dan yang sudah pasti ayahnya. Bahkan sampai ada yang merundungnya dengan sebutan perawan tua yang menurut saya itu jahat banget. Tapi dia menanggapi dengan bijak bully-an itu. Pun dengan hujatan pada ibu atau seluruh anggota keluarganya. Sebagai netizen yang hanya membaca kata, kita memang nggak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Baca Juga:   Selamat Satu Bulan, Azka

Kita hanya membaca yang tertulis tanpa kita tahu fakta sebenarnya. Kalau memang apa yang dituliskan Chiki di caption benar, saya sangat salut sama sang ayah. Anak berperilaku baik sedikit banyak pasti karena didikan yang baik dari orang tua. Pun dengan Chiki dan Bella. Mereka tidak emosi di social media ketika banyak orang memojokkan diri dan keluarganya juga sedikit banyak pasti karena sentuhan didikan orang tuanya, termasuk sang ibu di dalamnya. Dan ketika saat ini situasi tidak berpihak pada mereka karena ulah sang ibu, apa yang mereka lakukan saat ini sudah tepat karena tidak terpancing emosi. Mereka tetap menghargai sang ayah dan ibu karena mereka juga tahu mereka nggak bisa memilih dilahirkan di keluarga yang seperti apa. Yang mereka lakukan adalah tetap bersyukur dan mencari cara agar benang kusut masalah bisa diurai.

Iya, kita memang nggak bisa memilih mau dilahirkan di keluarga yang seperti apa. Kalau boleh memilih, saya mungkin maunya dilahirkan di keluarga yang kekayaannya nggak habis tujuh turunan, dengan orang tua yang bijakmya nggak ketulungan, ilmu agamanya kuat, populer, atau bahkan mungkin punya kekuasaan. Pokoknya yang sempurna. Tapi kan kita nggak bisa meminta yang seperti itu. Tuhan pasti juga punya alasan khusus kenapa setiap orang ditempatkan di keluarga yang seperti ini atau seperti itu kondisinya.

Kita nggak bisa memilih akan berada di keluarga yang seperti apa. Orang yang kita sebut sebagai orang tua juga bisa melakukan kesalahan, juga bisa melakukan kekhilafan, bahkan menyakiti hati anaknya. Tapi sebagai anak yang baik, apa harus kita balas dengan sesuatu yang menyakitkan juga? Nggak. Diam atau doakan untuk menjadi yang lebih baik itu lebih dari cukup.

Baca Juga:   Bobo dan Kenangan yang Tak Terlupakan

Bukan tanpa alasan saya bilang begitu. Saya juga pernah berkonflik dengan bapak sampai bapak saya tidak mau bicara dengan saya hampir setahun. Sedih rasanya ketika saya pulang ke rumah nggak ditegur sama sekali. Ada satu masalah yang nggak bisa saya ceritakan ke banyak orang karena terlalu menyakitkan. Apalagi saat itu saya tahu betul yang salah adalah bapak, yang mencederai hati ibu dan anak-anaknya. Banyak hal kalau diingat dan diungkit akan terasa sangat menyakitkan.

Saya sebagai anak tentu nggak lepas dari rasa marah, sakit hati, dan kesal. Apalagi saat hampir tiap hari ibu menelepon untuk sekadar curhat dan menangis. Rasanya hati ini tersayat-sayat. Rasanya saya pengen banget pulang ke rumah dan peluk ibu. Tapi nggak bisa karena saya sedang mengerjakan skripsi. Saya cuma bisa berdoa. Walaupun kalut, saat itu satu hal yang saya yakini adalah semua masalah pasti ada akhirnya. Pasti ada penyelesaiannya. Entah bagaimana caranya, pasti ada.

Dan ketika akhirnya bapak datang ke hari wisuda saya dengan senyum dan seolah tidak pernah ada apa-apa, saya harus menerimanya. Saya harus memaafkannya. Saya harus berlapang dada. Saya tahu, mungkin ini campur tangan Tuhan menyelesaikan masalah keluarga kami. Mungkin ini campur tangan Tuhan menjawab doa-doa saya. Bagaimanapun dan apapun hal yang telah terjadi sebelumnya memang menyakitkan, tapi ketika semua telah menjadi baik dan benar kita harus berjalan mengikuti di sisi yang baik dan benar itu.

Rasa sakit, benci, atau marah pasti masih ada tapi kebijaksanaan hati seseorang tentu dinilai dari bagaimana dia merespon perasaan negatif itu. Kalau saya teruskan marah dan benci saya sama bapak, tentu sampai sekarang nggak ada keuntungan apa-apa yang saya peroleh kecuali hati saya yang lelah dipenuhi dengan kebencian dan energi yang negatif.

Baca Juga:   Keputusan Besar

Orang tua tetap orang tua yang darahnya akan selalu mengalir di tubuh bagaimanapun keadaannya. Buat saya, namanya orang tua pasti pernah salah, pernah menyakiti hati, pernah khilaf pada keluarganya atau orang lain. Ingatkan mereka ketika berbuat salah. Kalaupun tak bisa, jangan berhenti mendoakannya. Tentunya mendoakan yang baik-baik. Mendoakan semuanya agar tetap menjadi baik tanpa menyalahkan keadaan. Iya, karena kita nggak bisa meminta dan memilih untuk dilahirkan di keluarga yang seperti apa.

unconditional-love

Anak menyayangi orang tua dan orang tua menyayangi anak memang unconditional love. Banyak orang tua yang memaafkan dan memeluk anaknya kembali ketika mereka baru saja berbuat salah. Kenapa tidak kita juga melakukan itu ketika orang tua kita yang berbuat salah? Yang terpenting adalah ketika semuanya sudah baik dan benar, yang kusut dan menyakitkan di masa lalu harus ditutup. Kalau pun semuanya belum benar, tugas kita sebagai anak tak boleh putus berdoa untuk yang terbaik. Karena seperti apa pun keadaan orang tua kita, tugas kita tak boleh putus mendoakannya untuk menjadi yang lebih baik.

Buat kamu yang ditempatkan di keluarga yang baik, bersyukurlah. Buat kamu yang memiliki ayah dan ibu yang bijaksana dan jadi panutan, sayangilah. Peluk ayah-ayahmu yang nggak putus selalu memperjuangkan kenyamanan keluarga. Peluk ibu-ibumu yang nggak pernah putus memberikan doa yang memperkokoh tiang keluarga. Kalau pun kalian jauh dan tak bisa memeluknya secara langsung, hubungilah mereka lewat saluran komunikasi. Kalau mereka sudah berbeda alam, jangan pernah putus merapalkan doa.

Iya, karena tugas kita sebagai anak adalah mendoakannya. Sebagaimanapun baik dan buruknya orang tua yang kita punya. Hubungan anak dan orang tua itu ibarat jalan tak berujung. Berdoa dan terus berdoa untuk mereka. Karena kita nggak bisa memilih dilahirkan dengan orang tua seperti apa. Namun, kita bisa memperbaiki keadaan dengan doa.

Stop juga mem-bully Mbak Chiki dan keluarga karena tidak akan memperbaiki suasana. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Bully tak harus dibalas dengan bully, hujatan tak harus dibalas dengan hujatan, kebencian nggak harus dibalas dengan kebencian, kan?

Ketjups :*

 

ratna dewi

10 Comments
Previous Post
Next Post
Ayomakan Fast, Feast, Festive 2023
Rekomendasi

Jelajahi Kuliner Bersama AyoMakan Fast, Feast, Festive 2023