Pandemi menyadarkan bahwa hidup benar-benar nggak terprediksi. Hari ini bisa saja sehat walafiat, tapi besok bisa sudah di ICU. Hari ini bisa saja masih bisa bahagia karena gajian, besok bisa jadi sudah dirumahkan. Semuanya serba tak terprediksi. Situasi dan berbagai kebijakan bisa berubah dalam hitungan jam. Sungguh, pandemi adalah sebenar-benarnya bentuk ketidakpastian di dunia ini.
Pandemi entah kapan berakhir. Walaupun angka covid (alhamdulillahnya) terus menurun setelah terpaan gelombang 2, kita juga nggak boleh lengah. Nggak boleh lengah sama covid-nya, juga dengan penyakit lain yang bisa saja menyerang kita sewaktu-waktu.
Tumbuh besar dan dididik oleh orang tua yang keras dan selalu mengharuskan saya jadi nomer satu bikin saya menjelma jadi orang yang perfeksionis. Jalan hidup yang on the track, sesuai dengan rencana-rencana hidup yang disusun, bikin saya jadi orang yang kaku dan mudah patah apabila bertemu dengan situasi yang di luar dugaan.
Setelah 8 bulan pandemi menyerang Indonesia, satu hal yang selalu saya tekankan pada keluarga adalah jangan sampai sakit. Kalaupun sakit, jangan sampai parah hingga harus berobat ke fasilitas kesehatan. Kini fasilitas kesehatan jadi tempat yang menurut saya ´angker´dan merupakan tempat terakhir yang paling ingin dikunjungi. Menjaga kesehatan, menata gaya hidup, dan pola makan penting untuk dilakukan di masa pandemi ini.
Lima tahun menunggu, berkali-kali promil, berkali ganti dokter dan rumah sakit, ratusan obat ditelan, berkali jarum suntik dijinakkan, dan puluhan juta rela dilepas saat menggesek mesin EDC membuat saya dan suami bersyukurnya berkali-kali saat garis di testpack kembali menunjukkan ada 2. Setelah 3 tahun berjuang pasca-berjibaku dengan keguguran berulang, kehamilan yang saya dapatkan awal 2018 lalu adalah sebuah hadiah terindah dari Tuhan yang harus dijaga.
