Telisik Unik Imlek, Keliling sambil Belajar Sejarah dan Budaya Tionghoa di Jakarta

Telisik Unik Imlek, Keliling sambil Belajar Sejarah dan Budaya Tionghoa di Jakarta

Sudah ratusan purnama rasanya saya pengen banget menyaksikan kemeriahan Imlek tapi kok ya selalu nggak pas waktunya. Waktu masih kerja di TV, sebelum Imlek biasanya saya liputan serba-serbinya di Glodok, trus wawancara tokoh Tionghoa, wawancara pengamat budaya Tionghoa, ke museum yang menyimpan sejarah Tionghoa, atau wawancara suhu atau peramal shio. Nyaris pas hari H Imlek saya justru nggak menyaksikan seperti apa kemeriahannya karena selalu dikasih liputan non-Imlek.

zaman jadi reporter, jelang Imlek di Petak Sembilan

Begitu pun saat sudah resign, pengen banget bisa menyaksikan perayaan Imlek langsung di kampung Pecinan. Tahun lalu, saya sempat ke Semarang beberapa hari hingga H-1 sebelum Imlek tapi belum terlihat kemeriahan yang berarti. Kemudian dilanjutkan dengan pulang ke rumah berharap bisa lihat kemeriahan di klenteng dekat rumah eehhh ternyata juga sepi-sepi aja. Kayaknya emang bukan rezeki saya bisa lihat Imlekan secara langsung.

Beruntung saat Indonesian Corners (ID Corners) membuka walking tour Telisik Unik Imlek di Jakarta, saya buru-buru daftar. Biar kata bayar juga hayuk aja deh. Dan ternyata benar saya nggak rugi karena bayar, malah jadi tahu banyak soal Imlek dan sejarah Tionghoa. Beruntungnya lagi, saya dan rombongan nggak jalan sendiri tetapi dipandu oleh tour leader dari Jakarta Good Guide. Sepaket yang ciamik banget, bisa dapat foto dan video keren, menikmati kemeriahan Imlek (walau jalan-jalannya di H+1), sekaligus dapat banyak informasi keren yang ternyata saya nggak tahu sebelumnya.

Bang Indra, tour leader dari Jakarta Good Guide

Oh ya, informasi yang saya berikan di tulisan ini saya kutip langsung dari Mas Indra, tour leader kami waktu itu. Kalau ada yang salah atau kurang tepat, kasih tahu saya ya biar saya perbaiki.

Sejarah Tionghoa di Jakarta

Sebelum melangkah jauh ke beberapa destinasi yang akan dituju, perjalanan kami dimulai dengan ‘dongeng’ tentang sejarah Tionghoa di Indonesia dan Jakarta. Jauh sebelum dikenal sebagai Jakarta, tempat ini dikenal dengan nama Batavia yang batasnya sampai di lampu merah Kota Tua. Di luar itu bukan Batavia.

Sebagai kota dengan tembok besar setinggi 8 meter, setiap suku atau etnis di Batavia hanya dibatasi sebanyak 2000 orang. Suku apapun itu. Hanya saja, pada tahun 1740 populasi masyarakat Tionghoa sudah mencapai 25.000 orang sehingga dianggap overpopulasi dan membuat takut pemerintah Belanda. Akhirnya pemerintah Belanda pun berinisiatif untuk mengirimnya ke Srilanka.

kepingan sejarah Jakarta yang bisa dilihat di Pantjoran Tea House

Sebelum sempat dikirim ke Srilanka ternyata ada salah satu deputi Jenderal Belanda, Adriaan Valckenier memberikan ‘solusi jangka panjang’ dengan cara menenggelamkan orang-orang Tionghoa di laut yang akhirnya disetujui yang lainnya. Namun, belum keburu dieksekusi, informasi tersebut sudah bocor ke warga Tionghoa hingga akhirnya mereka merencanakan kerusuhan. Belum sampai kerusuhan itu terjadi, ada mata-mata yang melapor ke pemerintah Belanda hingga Gubernur Jenderal memutuskan untuk membunuh etnis Tionghoa pada malam harinya sebelum kerusuhan terjadi.

Malamnya, lebih dari 10.000 orang dibunuh. Mereka yang berhasil lolos sebagian lari ke wilayah Glodok, sebagian lagi ke Tangerang (China Benteng). Setelah itu, akhirnya banyak tempat di Jakarta yang berkaitan dengan peristiwa tersebut seperti: Gang Kalimati (terdapat kali dimana ada banyak mayat ditumpuk di sana), Kali Angke (ang berarti merah, ke berarti sungai, saat itu sungainya berwarna merah karena banjir darah), Rawabangke yang sudah diganti menjadi Rawabunga (dulu adalah rawa-rawa dimana tempat membuang mayat), dan Gunung Sahari (berarti gunung dalam sehari, dulu mayat ditumpuk di jalan raya bagai gunung pada malam harinya setelah pagi sudah hilang tumpukannya).

Menjelang Indonesia merdeka, banyak orang Tionghoa yang membantu perjuangan kemerdekaan. Sayang, saat pecah peristiwa G30S/PKI, rezim Orde Baru membuat propaganda bahwa China adalah komunis. Hal ini menyebabkan Indonesia nggak punya hubungan diplomatik dengan China selama puluhan tahun.

Baca Juga:   Kisah 'Mengejar Matahari' di Gili Trawangan

Hal ini pulalah yang membuat unsur ‘Kecinaan’ harus dihilangkan. Seperti contohnya: nama yang diganti menjadi nama Indonesia, dilarang menggunakan Bahasa Mandarin di muka publik, dilarang menampilkan seni budaya Tionghoa, semua orang dipaksa memeluk agama Budha (itulah kenapa di beberapa klenteng ada sudut untuk agama Budha dan dari sini saya jadi tahu sebenarnya klenteng untuk ibadah agama apa karena sebelumnya sempat nyaru di pemahaman saya), pekerjaan yang diperbolehkan hanya berdagang, dan menjadi warga kelas 2 (yang harus memiliki SKBRI atau Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia).

Kran kebebasan terhadap warga Tionghoa pun hadir saat Gusdur menjadi presiden. Semua yang tidak boleh menjadi diperbolehkan. Imlek pun akhirnya menjadi libur fakultatif. Baru setelah Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Rumah Mayor Chandranaya

Rumah Mayor Chandranaya adalah destinasi pertama yang kami kunjungi. Saya sempat nggak menyangka kalau di tengah-tengah gedung pencakar langit dan hotel ternyata ada sebuah gedung peninggalan sejarah. Letaknya persis di belakang Hotel Novotel Hayam Wuruk. Gedung ini dibangun tahun 1807. Bangunan ini merupakan satu-satunya bangunan asli berornamen China yang masih bertahan di wilayah tersebut. Karena bangunan ini adalah rumah orang penting (keturunan orang kaya) di zamannya, nggak heran kalau atapnya berbentuk melengkung (walet) khas bangunan China yang menandakan rumahnya adalah rumah pejabat.

bangunan tua yang canggung dikelilingi gedung pencakar langit

Bangunan ini dibangun oleh Khouw Kim Keng. Ia memiliki cucu bernama Khouw Kim An yang menjadi mayor etnis Tionghoa pada masa itu. Mayor pada zaman dulu adalah semacam ‘kepala suku’ dari setiap etnis yang ada di Batavia yang keberadaannya ditunjuk oleh Pemerintah Belanda.

Bangunan yang konon dulunya besar sekali itu mampu mengakomodasi 14 istri dan 24 anak. Setelah Indonesia merdeka, tempat ini dikuasai oleh Yayasan Sin Ming Hui. Nggak heran kalau di tempat ini pulalah cikal bakal RS Sumber Waras karena memang di sinilah dahulu poliklinik Sumber Waras awalnya berdiri. Selain itu, dahulu tempat ini juga pertemuan bagi warga Tionghoa.

salah satu sudut di ruangan tengah Rumah Mayor Chandranaya
Mayor Khouw Kim An saat sudah tua

Setelah tahun 1965, tempat ini berubah nama menjadi Chandranaya (Chandra: bulan, Naya: sinar; tempat ini konon menjadi tempat terbaik melihat sinar rembulan). Dulu, tempat ini juga menyediakan sekolah bagi warga Tionghoa dari SD hingga SMA. Karena banyak yang ingin melanjutkan ke jenjang universitas, dibuatlah universitas di tempat ini juga yang akhirnya menjadi cikal bakal Universitas Tarumanegara.

Sayangnya semakin kesini Rumah Mayor Chandranaya semakin sempit. Areanya terhimpit oleh bangunan komersil pencakar langit. Tapi untunglah bangunan utamanya masih dipertahankan dan menjadi cagar budaya. Siapa saja boleh datang ke tempat ini tanpa dipungut tiket masuk.

Mampir Sejenak di Pantjoran Tea House

Selesai dari Rumah Mayor Chandranaya, kami pun berjalan menuju ke arah Petak Sembilan. Namun, sebelum benar-benar sampai di Petak Sembilan kami terlebih dahulu mampir ke Pantjoran Tea House dan bertemu dengan PakΒ Lin Che Wei (Direktur Utama PT Jakarta Old Town Revitalization). Pantjoran Tea Haouse letaknya di Glodok (sejajar dengan toko-toko obat tradisional) paling ujung yang menghadap langsung ke Jalan Gajah Mada.

Di Pantjoran Tea House, kami disambut dengan cangkir-cangkir dan teko yang sudah ditata rapi dengan tulisan ‘Tradisi Patekoan’. Pak Lin Che Wei pun menjelaskan bahwa tradisi Patekoan merupakan salah satu hospitality service zaman dahulu dimana dulunya daerah Glodok merupakan tempat bongkar muat barang dimana banyak buruh bongkar muat di tempat tersebut. Salah seorang Kapiten Tiong Hoa bernama Kapiten Gan Djie bersama istrinya memiliki ide untuk membagikan teh secara cuma-cuma pada mereka yang lelah bekerja.

Baca Juga:   Pengalaman Terjebak di Kumpulan Tas Bernilai Ratusan Juta
teh gratis di dalam teko untuk siapa saja
Pak Lin Che Wei bersama para peserta jalan-jalan

Kata Patekoan sendiri berasal dari kata pat yang berarti delapan dan teko yang berarti teko. Dalam tradisi ini disediakan 8 buah teko (yang terus di-refill) untuk minum teh. Angka 8 ini berarti angka keberuntungan dimana tidak ada ujungnya.

Selamat Datang di Petak Sembilan

jalanan menuju Petak Sembilan dipenuhi ornamen Imlek

Daerah ini biasanya dikenal dengan nama Glodok. Pada hari-hari sebelum Imlek, tempat ini akan jadi ‘primadona’nya Jakarta. Namun, sebelum benar-benar sampai di Petak Sembilan Mas Indra menceritakan awal mula mengapa daerah ini diberi nama Glodok. Lucunya, nama Glodok justru berasal dari bebunyian kicir air yang dulu ada banyak di sini. Bunyinya ‘glojok…glojok..’Β dan ‘dok…dok…dok..’. Dua bunyi inilah akhirnya disatukan membentuk nama Glodok yang sekarang menjadi daerah supersibuk dalam urusan perdagangan.

lilin-lilin di klenteng Petak Sembilan
konon saat kebakaran sumber apinya berasal dari lilin-lilin ini
saat Imlek mendadak banyak pengemis di luar area klenteng

Untuk menuju ke arah klenteng, kita tinggal berjalan kira-kira 300 meter dari jalan raya. Sepanjang jalan kaki, kita akan melewati pasar basah dan kering. Ada berbagai penjual yang menjajakan ornamen khas Tionghoa. Ada pula pedagang yang menjual sayur dan buah. Yang unik, ada pedagang yang menjual daging babi, ikan, cumi, udang, hingga kodok (swikie).

Di dalam kawasan Glodok, terdapat klenteng tertua di Jakarta yaitu Klenteng Jin De Yuan yang satu lokasi dengan Vihara Dharma Bhakti. Klenteng ini memiliki beberapa sudut antara lain sudut Budha, Khonghucu, dan Tao. Satu hal yang jadi ciri khas klenteng di Indonesia adalah berada di tengah-tengah pasar atau tempat usaha. Sayangnya beberapa tahun lalu klenteng ini sempat terbakar akibat dari lilin-lilin besar yang menyala setiap harinya. Namun, kini bangunan klenteng sudah direnovasi kembali.

Masuk di Satu-Satunya Gereja Berornamen Khas Tionghoa

Gereja Santa Maria de Fatima adalah destinasi ketiga dalam Telisik Unik Imlek kali ini. Untuk menuju ke gereja ini, kami hanya perlu berjalan sejauh sekitar 400 meter dari Vihara Dharma Bhakti dan melewati jalan-jalan yang namanya penuh dengan aura positif seperti Jalan Kemenangan, Keadilan, dan Kemurnian. Selain itu, di beberapa pintu masuk gang pun terdapat bangunan yang digunakan untuk memberikan sesembahan kepada dewa tertentu.

meriahnya jalanan di Petak Sembilan saat Imlek
salah satu sudut di gapura Jalan Kemenangan
gapura Jalan Kemenangan 7

Masuk ke kawasanΒ Gereja Santa Maria de Fatima saya sedikit heran pada awalnya. Saya kira ini adalah bangunan China, eh ternyata ini adalah Gereja Katolik. Selidik punya selidik, tanah ini dulunya dibeli oleh Vatikan sehingga terbangunlah Gereja Katolik di sini. Sedangkan nama Fatima pada penggalan nama gereja diambil dari Kota Fatima di Portugal, tempat dimana Bunda Maria menampakkan wajah pada ketiga anaknya.

 

pintu depan Gereja Katolik St. Maria de Fatima
mimbar gereja berhias ornamen khas Tionghoa
replika cerita Bunda Maria bertemu 3 anaknya di Kota Fatima

Di tempat ini dipakai untuk beribadah sejak 1949. Konon, Gereja Katolik yang bangunannya berornamen Tionghoa hanya gereja ini satu-satunya di dunia. Nggak hanya di bagian luar gereja, bagian dalam pun penuh dengan ornamen ciri khas Tionghoa mulai dari mimbar hingga tempat khutbah. Sampai sekarang, gereja ini masih aktif digunakan dan menyediakan pelayanan dalam Bahasa Mandarin.

Menjelajah Klenteng Toa Se Bio

Di sepanjang Jalan Kemenangan, Petak Sembilan ini terdapat beberapa klenteng. Cirinya adalah nama belakangnya Bio yang berarti adalah Klenteng. Sebelum sampai di Klenteng Toa Se Bio kami pun melewati jalan masuk sebuah klenteng yang bernama Fat Cu Kung Bio. Fat Cu Kung Bio diambil dari nama Fat Cu Kung yaitu Dewa Judi yang menjadi ‘Dewa Tuan Rumah’-nya. Oleh karena itu jika terdapat orang-orang Tionghoa yang ingin ‘mengadu nasib’ ke beberapa tempat seperti Genting, Las Vegas, atau Macau biasanya singgah terlebih dahulu ke klenteng ini.

Baca Juga:   The Parlor Hills, Cafe Ramah Anak dengan Pemandangan Atas Bukit yang Indah

Selepas melewati Fat Cu Kung Bio, kami pun tiba di Toa Se Bio. Jaraknya hanya sekitar 100 meter dari Gereja Santa Maria de Fatima dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Toa Se Bio merupakan klenteng tertua nomer 2 di Jakarta. Sama halnya dengan klenteng-klenteng lainnya, di klenteng ini juga terdapat sudut doa untuk umat Budha.

lilin-lilin di Klenteng Toa Se Bio
lilin-lilin ini katanya sumbangan dari jemaat

Nama klenteng Toa Se Bio ini berasal dari nama Duta Besar yang dikirim oleh Kaisar Kang Si di Tiongkok yang sangat dikagumi oleh masyarakat sini pada zaman dahulu. Secara luas, klenteng ini lebih kecil daripada Klenteng Jin De Yuan.

Napak Tilas Kuliner Glodok

Selain terkenal karena sejarah dan budaya Tionghoa, kawasan Glodok juga terkenal dengan makanannya. Bahkan, Mark Wiens, food vlogger asal Amerika Serikat pun pernah menjelajah wilayah ini. Gang Kalimati dan Gang Gloria adalah dua gang yang sangat terkenal akan kulinernya. Dari kuliner halal sampai non-halal ada di gang ini. Sayangnya, kami datang saat H+1 Imlek yang artinya masih banyak toko yang tutup karena pemiliknya sedang merayakan Tahun Baru China.

Gang Kalimati, salah satu surga kuliner Glodok

Gang pertama yang saya lewati adalah Gang Kalimati. Saat hari biasa, di Gang ini biasanya dipenuhi oleh berbagai penjual makanan dari laksa, toge goreng, ketoprak, hingga rendang vegetarian yang (lagi-lagi) sudah masuk di vlognya Mark Wiens. Kata Mas Indra, di Gang Kalimati ini lebih banyak makanan halalnya daripada Gang Gloria. Duh sayangnya nggak sempat icip-icip makanan di sana karena masih pada tutup.

Selesai dari Gang Kalimati, kami pun tinggal menyeberang untuk menuju ke destinasi selanjutnya yaitu Gang Gloria. Letak Gang Gloria adalah seberang Gang Kalimati. Jadi kita hanya perlu menyeberang jalan dan sungai untuk menuju ke gang ini. Di gang inilah terletak kedai kopi legendaris yaitu Kedai Es Kopi Tak Kie yang konon menyimpan mitos ‘barang siapa yang pertama kali ngupi-ngupi syantik di sana saat Pilkada akan keluar sebagai pemenang’. Sayangnya, saat saya kesana pun Es Kopi Tak Kie ini sedang tutup.

Gang Gloria Glodok

Bagi yang Muslim jangan kaget dan harus sedikit was-was karena makanan yang dijual di Gang Gloria rata-rata adalah nonhalal seperti bakpau isi daging babi atau nasi campur. Tapi buat saya ya kalau mau lewat mah ya lewat aja meskipun (jangan kaget) sesekali kita juga akan tetap ditawari makanan meski setelan saya udah kayak Mamah Dedeh Alyssa Soebandono.

Akhir perjalanan pun berujung di Foodcourt Gloria yang konon merupakan food court pertama di Jakarta. Food court legendaris ini pun memiliki banyak makanan legendaris yang patut dicoba seperti Kari Lam, cakue, siomay, Gado-Gado Direksi, hingga mie kangkung. Namun yang perlu diperhatikan, nggak semua makanan yang ditawarkan penjualnya adalah makanan halal. Jadi pintar-pintar memilih penjual mana yang menyediakan makanan halal dan nonhalal.

Food Court Gloria yang legendaris
bihun kangkung, salah satu favorit di sini
cakuenya juga endeus
kari lam yang legendaris
siomay ini enak banget, beli 3 udah kenyang

Tiga jam rasanya campur-campur mengikuti walking tur ini. Puas karena tahu banyak info baru dan menarik tetapi juga masih kurang karena masih ingin ‘didongengin’ lebih banyak lagi tentang sejarah Tionghoa di Jakarta. Tapi ya mau gimana lagi, segini aja dulu udah cukup untuk permulaan. Semoga kelak bisa ikut walking tour lagi buat cari tahu sejarah di beberapa tempat lain di Jakarta.

 

7 Comments
Previous Post
Next Post
Ayomakan Fast, Feast, Festive 2023
Rekomendasi

Jelajahi Kuliner Bersama AyoMakan Fast, Feast, Festive 2023