Dulu saya cuma tahu Belitung adalah tempat di mana film Laskar Pelangi dibuat dan berlatar belakang. Yang paling saya ingat adalah pantainya yang penuh bebatuan besar dimana Ikal dan kawan-kawan serta Bu Muslimah menghabiskan waktu pada suatu adegan. Iya, Belitung memang identik dengan Laskar Pelangi dan pantai dengan batu-batu besarnya. Namun di balik itu ternyata Belitung menyimpan lebih banyak lagi keindahan. Salah satunya adalah keindahan yang ditawarkan di Pulau Leebong.
Saya masih ingat ketika saya sudah meniatkan untuk pergi sendiri dari rumah dan bergabung bersama teman travel blogger lain untuk perjalanan trip ke Belitung. Namun, suami saya yang Januari lalu juga sudah mengunjungi Belitung agaknya penasaran dengan keindahan Pulau Leebong. Pasir putih, birunya air laut, serta hutan mangrove yang membentang seolah menjadi magnet tersendiri buatnya. Apalagi saat Januari lalu ia hanya bervakansi ke Belitung, tidak termasuk Pulau Leebong. Akhirnya ia pun ‘tergoda’ dan memutuskan ikut untuk membersamai saya menuju Leebong.
Jatuh Cinta di Hari Pertama
Cuaca siang itu cerah meski mendung mulai sedikit nampak saat saya dan rombongan teman travel blogger yang lain tiba di Bandara Hanandjoedin, Tanjung Pandan siang itu. Sebelum menuju destinasi utama yaitu Pulau Leebong kami pun diantar menuju Hotel Hanggar 21 dimana pengelola Pulau Leebong, Pak Sugianto atau Pak Toto, bersama rekanan dari Mulia Rental Group, Ko Darmawan, sudah menunggu kami. Tak lupa ada juga travel blogger Mbak Rien (Katerina) dan suaminya (Mas Arief) yang sudah tiba menggunakan penerbangan sebelumnya. Semuanya menyambut kami dengan ramah. Untuk mengabadikan momen ini kami pun melakukan sesi foto bersama.
Puas berfoto, kami segera masuk mobil masing-masing yang telah disediakan untuk bertolak menuju Pelabuhan Tanjung Ru. Mobil yang kami tumpangi kebetulan disetiri sendiri oleh Ko Darmawan. Ko Darmawan pun banyak bercerita tentang Belitung, dari cerita tentang Belitung yang tak tersentuh minimarket retail terkenal, menunjukkan kami tempat-tempat penting yang dilewati, hingga beberapa asal-usul sesuatu di Belitung. Perjalanan siang itu sedikit demi sedikit mulai dibumbui rintik hujan. Belum sampai Pelabuhan Tanjung Ru, mobil pun berhenti sebentar untuk mempersilakan kaum laki-laki muslim menunaikan Salat Jumat.
Setelah Salat Jumat, kami pun melanjutkan perjalanan. Rintik hujan masih mengiringi perjalanan kami siang itu. Tak perlu waktu lama untuk menuju ke Pelabuhan Tanjung Ru karena mobil yang kami tumpangi melaju bebas di jalanan Belitung. Iya, jalanan ini sangat berbeda dengan Jakarta. Jalanan di Belitung mulus dan benar-benar bebas hambatan. Jadi dari satu tempat menuju tempat lain pun terasa cepat.
Sampai di Pelabuhan Tanjung Ru kapal yang kami tumpangi sudah siap. Ini bukan kapal besar melainkan perahu motor. Setelah semua barang bawaan dinaikkan dan kami pun melaju menuju Pulau Leebong. Sungguh rasanya tak sabar untuk melihat keindahan pulau tersebut. Tak butuh waktu lama, hanya 15 menit perjalanan kapal yang membawa kami pun sudah sampai di dermaga pendek Pulau Leebong. Air saat itu sedikit pasang jadi kapal bisa bersandar di dermaga pendek. Kami pun sampai ke pulau yang pemandangannya menakjubkan, Pulau Leebong.
Saat kami sampai hujan rintik masih turun dari langit. Tapi itu tak menyurutkan semangat kami. Para petugas dan pengelola Pulau Leebong pun menyambut kami dengan meriah. Selain Pak Toto yang juga Direktur PT Leebong Octa Samasta, ada pula Ko Jeffry Susanto yang juga owner Picniq Tour & Travel. Bahkan mereka dengan khusus sudah mempersiapkan banner untuk kedatangan kami. Waahhh, jadi sangat tersanjung atas keramahatamahan yang diberikan.
Siang itu kami belum bisa check in masuk ke villa yang akan ditempati. Mungkin semesta melalui orang-orang pengelola Pulau Leebong tahu kalau perut kami sudah mulai keroncongan. Kami pun didaulat untuk langsung menuju tempat makan yang terletak di pendapa terbuka di tengah Pulau Leebong atau yang biasa dikenal dengan Leebong Resto. Segala makanan khas laut disajikan dari cumi, kepiting, bakso ikan, hingga pepes. Uniknya, di sini makanan tidak dibungkus atau beralaskan daun pisang melainkan daun simpor. Tak perlu waktu lama nampaknya untuk menandaskan makanan-makanan yang berada di meja siang itu. Iya, kami -saya khususnya- kelaparan karena memang belum sarapan dari rumah. Dan makanan yang terhidang di meja itu sungguhlah nikmat.
Menikmati Indahnya Pulau Pasir Timbul
Usai makan kami pun diajak menuju Pulau Pasir Timbul atau Pulau Pasir Burung. Ini pas sekali mengingat rintik hujan yang mulai reda. Pulau Pasir Burung letaknya tak jauh dari Pulau Leebong. Pulau tersebut tak berpenghuni dan hanya muncul jika air laut surut. Jika air pasang pulau ini akan tenggelam. Selain itu, di pulau tersebut banyak burung camar beterbangan sehingga disebut juga Pulau Pasir Burung.
Hanya butuh waktu sekitar 10 menit dari Pulau Leebong untuk menuju Pulau Pasir Timbul. Ketika sampai di pulau tersebut apa yang saya lihat sangatlah indah. Hamparan pasir putih, air laut yang biru, cuaca cerah, dan arus yang tenang menyambut kedatangan kami.
Dari dermaga tempat saya menginjakkan kaki, mata ini sudah dibuat kagum. Pulau ini tersusun atas elemen sederhana tapi sangat indah dipandang. Hanya ada satu gazeebo kecil, dua ayunan, satu hammock, serta satu dermaga kecil dengan kamar gantinya di sana. Tapi Pulau Pasir Timbul begitu indah.
Kami pun memuaskan diri untuk menikmati pulau tersebut. Ada yang asyik berfoto, bermain air, bermain pasir, menikmati ayunan, bermain paddle board, hingga menjalankan drone yang dibawa. Saya sendiri? Tentunya nggak ketinggalan untuk membuat foto-foto dan pose indah. Apalagi saat itu saya bawa properti topi dan juga Batik Purworejo. Selain itu, di pulau ini juga banyak binatang khas laut dari bintang laut, kerang, hingga burung camar.
Saat hari hampir senja dan air laut mulai pasang, kami pun meninggalkan Pulau Pasir Timbul. Perahu membawa kami kembali ke Pulau Leebong, tapi Pak Toto yang saat itu ikut dalam rombongan mengarahkan pengemudi perahu untuk menuju ke hutan mangrove. Iya, kami diajak untuk melihat hutan-hutan mangrove yang ada di sekitar Pulau Leebong. Di sekitar hutan mangrove, laju kapal sedikit pelan agar kami bisa menikmati menyusuri mangrove secara perlahan.
Hutan mangrove di sini luasnya sekitar 17 hektar dari total 37 hektar lahan di Pulau Leebong. Hutan mangrove yang ada di Pulau Leebong diklaim sebagai hutan mangrove terbaik di Indonesia. Hal ini karena mangrove-mangrove tersebut hidup di atas pasir putih. Pak Toto menjelaskan jika air laut surut dan siang hari, pemandangan bawah air di sekitar hutan mangrove terlihat jelas dari atas kapal. Sayang sekali hari itu hampir gelap, tapi samar-samar saya masih bisa melihat bawah air dari atas kapal yang saya naiki.
Ko Darmawan pun menambahkan jika di hutan mangrove ini aman karena sering dilakukan fogging. Terhitung dalam sehari bisa 2 kali fogging dilakukan di hutan mangrove dan Pulau Leebong. Hal ini juga diinformasikan pada para tamu yang akan menginap di sana agar tidak kaget. Fogging dilakukan agar tidak ada serangga-serangga seperti agas atau nyamuk penyebab malaria yang sering banyak terdapat di hutan mangrove.
Hari sudah malam saat kami sampai di dermaga pendek Pulau Leebong. Rasanya lelah setelah bermain di Pulau Pasir Timbul. Namun, semangat saya masih ada dan nggak sabar untuk menanti acara apa lagi yang akan dilewati selanjutnya. Saat tiba di pulau, kami pun segera bergegas untuk menuju kamar masing-masing yang telah dibagikan. Saya beserta travel blogger perempuan menempati lantai 2 Villa Barata, Mbak Rien dan suami menempati Villa Zara (rumah pohon), sementara blogger laki-laki alias suami-suami berada di kamar VIP belakang.
Kamar yang saya tempati sangatlah asyik, luas dan dibangun dengan elemen kayu jati. Lantai 2 Villa Barata memiliki 2 tempat tidur, 1 sofa bed, 1 kamar mandi besar beserta bath up-nya, 1 kursi goyang, serta 1 beranda yang memiliki kursi, 1 hammock atau ayunan, dan 1 kursi malas. Sementara itu, pemandangan dari beranda kamar mengarah ke laut lepas. Sungguh padanan yang asyik untuk bersantai dan menghilang penatnya kehidupan Jakarta. Apalagi tak ada fasilitas televisi di villa ini.
Malam itu, kami membersihkan diri. Sementara di luar hujan semakin deras. Ah, rasanya malas sekali untuk beranjak makan di Leebong Resto karena kasur di villa seperti punya kekuatan magnet, hahaha. Namun, apa daya perut yang keroncongan lebih menuntut untuk dipenuhi kebutuhannya. Dengan menggunakan payung, kami pun berjalan ke arah resto yang letaknya sekitar 200 meter dari villa. Di sana kami sudah disambut dengan dekorasi meja makan yang sangat romantis. Iya, ceritanya malam ini dinner romantis bersama di tengah hujan.
Sama seperti sebelumnya, makanan yang dihidangkan masih menggugah selera. Rata-rata menu malam itu adalah bakar-bakaran. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan hidangan yang ada di atas meja. Selesai makan, Ko Darmawan dan Ko Jeffry yang malam itu menemani kami pun berpamitan pulang. Sementara kami masih asyik di resto dan menutup malam itu dengan berkaraokean.
Kalau yang penasaran dengan keseruan kegiatan saya dan para travel blogger di hari pertama di Pulau Leebong, bisa lihat video di bawah ini:
(BERSAMBUNG)