“Mau kemana emangnya kak?” tanya abang-abang rental motor pada saya beberapa saat setelah saya bilang mau perpanjang sewa motor.
“Ke Pantai Mawun, Bang,” jawab saya seraya menunggu Cenie yang lagi bersiap mengendarai motor di parkiran hotel. FYI, tempat rental motor yang saya sewa letaknya persis berada di depan Hotel Kuta Indah, hotel yang saya tempati.
“Pulangnya jangan malam-malam ya, Kak. Jangan sampai hari gelap.” Si abang terdengar romantis perhatian ya kayak pacar, haha. Tapi kata-kata seperti itu bukanlah pertama kali yang saya dengar ketika saya mengutarakan ingin ke Pantai Mawun bersama Cenie pada orang lokal.
“Ini kartu nama kita ya kak, kalau ada apa-apa hubungi aja ke nomernya. Trus selama di jalan jangan keluarin hape atau berhenti di sembarang tempat buat selfie. Bahaya! Rawan perampasan soalnya,” ujar Abang rental mewanti-wanti.
Wejangan seperti ini bukan sekali saya dengar ketika menjejakkan kaki di Kuta, Lombok. Beberapa orang lokal yang saya temui menyarankan untuk ke Pantai Mawun saat hari masih terang karena selain medannya yang berkelok dan naik turun juga konon jalanan menuju kesana masih rawan kejahatan. Mereka bilang yang paling sering adalah perampasan barang berharga wisatawan. Uuuhh ngeriiii.
(Baca juga: Menanti Senja di Pantai Kuta Lombok)
Saya melihat jam di hape, waktu menunjukkan sekitar pukul 14.30 WITA. Saya menargetkan masih ada sekitar 2 jam waktu yang bisa digunakan untuk menikmati Pantai Mawun. Apalagi pantai ini masuk ke tempat yang buat saya dan Cenie ‘must visit’. Jadi dengan kata bismillah kami berangkat berdua berboncengan motor ke Pantai Mawun. Lupakan dulu soal menikmati sunset di sana karena situasi dan kondisi yang nggak memungkinkan.
Untuk menuju ke Pantai Mawun, kami harus naik motor di sepanjang Jalan Mawun lalu masuk ke Jalan Pantai Mawun. Medan jalan menuju Pantai Mawun lumayan terjal dan berkelok. Pantas saja tidak direkomendasikan kesana saat hari gelap. Walau aspal jalan sudah mulus namun turunan dan tanjakan sangat tajam. Belum lagi ketika memasuki pedesaan, tikungan-tikungan lumayan tajam menghadang kami. Sayang saya nggak berani sama sekali mengeluarkan hape barang sebentar untuk memotret. Saya mikir kita berdua adalah cewek-cewek dan parno aja kalau terjadi apa-apa. Bahkan hape Cenie yang jadi GPS aja saya simpan di dalam tas dan dilihat sesekali.
Walaupun begitu saya salut sama Cenie. Di tengah panas dan keringnya udara Lombok, dia mampu berkendara mendaki gunung lewati lembah dengan celana gemesnya bak Ninja Hatori, haha. Jalanan menuju Pantai Mawun memang tak mudah. Selain naik turun bukit yang amat drastis, jalanan juga amat berdebu. Maklum saja, banyak pembangunan seperti resort atau villa di puncak-puncak bukit dengan view Pantai Mawun. Selain itu, bisa diprediksi kala hari gelap jalanan akan sangat minim penerangan.
Tak sulit buat saya dan Cenie menemukan Pantai Mawun. Walau GPS sinyalnya kayak ingus saat pilek, turun naik, namun jalanan menuju Pantai Mawun tak banyak melewati belokan. Selain itu, kami juga berpapasan dengan banyak bule yang saya perkirakan baru dari pantai tersebut. Mereka sama dengan kami, berbonceng-boncengan menggunakan sepeda motor.
Tanda kami sudah hampir sampai di Pantai Mawun adalah melewati turunan panjang dimana terdapat pos penjagaan sederhana di sana. Kami hanya ditarik uang parkir Rp 10.000 tanpa ada tiket masuk. Sang penjaga pun mengarahkan kami untuk lurus menuju tempat parkir. Tempat parkir yang ia maksud berada di dekat rumah penduduk. Jangan bayangkan rumah penduduk yang juga nelayan di sana padat kayak di Jakarta. Hanya ada beberapa rumah dengan hitungan jari di sana.
Selesai parkir, kami pun menuju ke area pantai. Pantai Mawun sore itu relatif sepi. Apalagi di sisi tempat saya memarkirkan motor, sepi banget. Kami pun berjalan ke arah keramaian. Namun seramai-ramainya Pantai Mawun tetap saja tak seramai pantai-pantai terkenal di Bali. Tak heran jika banyak turis memilih pantai ini untuk bersantai, sekadar berjemur sambil membaca buku di sana.
Dibandingkan dengan pantai-pantai di kawasan Kuta Mandalika yang sebelumnya saya datangi, tetap Pantai Tanjung Aan juaranya untuk pemandangan alamnya. Namun, Pantai Mawun jauh lebih bersih dari Pantai Tanjung Aan. Saat kami ke Pantai Mawun, air laut sedikit pasang. Tapi saya bisa tahu bahwa pantai ini tak selandai Pantai Tanjung Aan. Pasalnya, saat akan pulang saya lihat air laut mulai surut dan terlihat karang-karang di baliknya.
(Baca juga: Terbius Pesona Pantai Tanjung Aan dan Bukit Merese)
Karena masih satu garis pantai dengan kawasan Kuta Mandalika, maka tipikal Pantai Mawun pun hampir sama dengan pantai-pantai lain di sekitarnya. Pasirnya adalah pasir putih meski tak seputih Pantai Tanjung Aan. Yah, putih rada bluwek sedikit atau broken white lah ya warna pasirnya, haha. Selain itu, letak pantainya pun tersembunyi di balik perbukitan. Yang paling menakjubkan adalah air lautnya yang berwarna biru saat langit cerah. Walau saya datang pada sore hari, air lautnya masih terlihat kebiruan.
Di Pantai Mawun tak banyak penjual layaknya di Pantai Kuta atau Tanjung Aan. Ada satu dua anak yang menjajakan gelang seperti di Kuta tapi ketika ditolak membeli tidak akan memaksa. Selain itu, ada beberapa warung dan juga saung-saung kecil di depannya untuk bersantai. Banyak bule yang menghabiskan waktu di sana. Namun kami lebih memilih sisi pantai di dekat bukit yang relatif lebih sepi. Saya memilih menghabiskan waktu dengan memotret, sementara Cenie menggambar. Sesekali saya juga bermain air sambil mencari kerang-kerangan yang terdampar.
Sementara itu di sekitar kami ada beberapa wisatawan yang lalu lalang menuju ke arah bukit. Di belakang dan kanan kiri saya ada beberapa wisatawan asing yang asyik berjemur. Sesekali saya melihat wisatawan yang berenang di pantai. Ombak di Pantai Mawun lumayan tenang di tepiannya, jadi bisa digunakan buat berenang.
Tak terasa sudah hampir 2 jam saya dan Cenie menghabiskan waktu di Pantai Mawun. Kami pun harus segera bersiap pulang sebelum hari menjadi gelap. Semakin sore, Pantai Mawun pun semakin sepi meski ada beberapa wisatawan asing yang baru datang saat kami bersiap pulang.
Saya dan Cenie pun kembali menempuh perjalanan pulang di jalan terjal. Semua gadget saya masukan dalam tas, seperti halnya perjalanan berangkat tadi. Satu dua kali Cenie menawarkan pada saya untuk berhenti buat foto atau mengambil gambar vlog di perbukitan dengan view Pantai Mawun di kejauhan tapi saya tolak, saya mungkin udah parno duluan. Tapi tak apalah daripada terjadi hal-hal buruk. Kami pun berkendara selama sekitar 15 menit menuju hotel tempat kami menginap.
(Baca juga: Drama Tabrakan Mobil hingga Menginap di Airy Rooms Kuta Indah Hotel)
Hari itu, saya berkunjung ke satu lagi destinasi indah Lombok. Semoga di lain hari, saya bisa berkunjung kembali ke Pantai Mawun atau pantai-pantai lainnya yang belum sempat saya kunjungi di Lombok.