Siapa yang habis nonton Dilan terus keluar bioskop senyum-senyum melulu dan bapernya sampai berhari-hari? Sini salaman dulu sama saya, hahaha. Saya termasuk salah satu di dalamnya. Bukan karena Dilan yang emang gombalannya bikin baper dan si dedek Iqbaal yang ganteng yang sukses memerankannya, tetapi juga karena setting ceritanya mengingatkan saya sama Bandung, kota yang saya akrabi waktu kuliah dulu.
Hmm, emangnya Dilan sama Milea aja yang bisa pacaran di Bandung? Saya juga bisa.
Kalau quotesnya Ayah Pidi Baiq “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi” ya emang benar. Bandung begitu memorable buat saya. Tempat kuliah, ehm bimbingan maksudnya karena kuliahnya literally di Bandung coret dikit alias Jatinenjer atau Jatinangor, trus juga jadi tempat nongkrong, saya juga sempat setahun kerja di Bandung, dan yang pasti tempat pacaran sama pacar yang udah jadi suami saya.
Kalau Dilan sama Milea muter-muter di sekitar Buah Batu dan makan di Bakso Akung, saya dan suami pacaran di banyak tempat. Ya di Dago, BIP, datang ke pameran komputer di Braga, beli laptop di BEC, sampai datang ke Pasar Seni ITB yang sekalinya diselenggarakan ruaamee banget. Pokoknya memorable banget zaman masih pacaran dan pengen mengulanginya lagi, hihihi.
Nostalgia Beberapa Sudut di Kota Bandung
Dan setelah beberapa tahun terakhir ini wira-wiri ke Bandung cuma ke tempat Budhe atau kepentingan ‘sponsored post’ sama rombongan baik itu keluarga atau teman, akhirnya akhir tahun kemarin saya dan suami sempat ke Bandung cuma berdua. Sebenarnya sih ke Bandungnya dalam rangka datang ke pernikahan teman saya tapi ya sekalian liburan aja. Walaupun singkat tapi sempat muter-muter Bandung pakai motor kayak Dilan dan Milea yang mana nggak pernah saya lakukan pas masa pacaran dulu soalnya kita angkoters dan pecinta Damri gitu lho.
Walau muter-muternya cuma satu setengah hari dan nggak full karena ada acara meet & greet ((MEET & GREET)) sama teman-teman ex-TV One tapi saya cukup puas kok. Bisa kasih tahu ke suami tempat-tempat kenangan saya dulu: tempat job training saya yang sekarang udah jadi tempat bimbel, tempat nongkrong saya di depan Gedung Sate saat nunggu agenda Gubernur, Gasibu yang udah jadi bagus, taman kota tempat saya suka bikin film indie, dan masih banyak lagi.
Lelah berkeliling dan bingung mau nongkrong dimana, saya dan suami pun memarkirkan motor di kawasan Gasibu. Sore hari di Lapangan Gasibu ramai dengan orang. Kebetulan saat itu juga malam minggu dan pas liburan Nata; jadi ramai. Banyak yang nongkrong, olahraga, berfoto, atau sekadar jalan-jalan. Ternyata Gasibu sekarang sudah banyak berubah sejak beberapa tahun yang lalu kala saya masih di Bandung.
Gasibu zaman dulu identik sama pasar kaget yang biasanya ada saat Hari Minggu dan bikin macet. Tapi sekarang Gasibu sudah makin bagus, ada joging tracknya, rumputnya pun makin tertata rapi, ada fasilitas toilet, musala, dan juga parkir motor. Saya dan suami nongkrong, jalan-jalan, bikin video, sampai menikmati senja di sana sembari melihat Gedung Sate yang sore itu berbalut langit senja berwarna kemerahmudaan.
Saya dan suami juga berkesempatan sewa penginapan berdua di kawasan Dago Atas yang masih dingin, mengingatkan zaman awal-awal kuliah yang diisi acara bukber di restoran kawasan Dago Atas. Trus kasih tahu suami tempat nongkrong di Dago sampai pagi pas zaman kuliah karena nunggu Damri pas subuh. Nggak lupa nyari lumpia basah yang ternyata nggak ketemu karena abangnya ikut libur Natal kayaknya, haha. Esok paginya sempat jalan-jalan dan menghirup udara segar di Taman Hutan Raya Djuanda, Dago.
Menghirup Segarnya Udara di Taman Hutan Raya Djuanda
Saya sengaja memilih penginapan di Dago atas karena selain adem juga nggak begitu riweuh, apalagi saat itu jelang libur Natal. Penginapan saya dekat dengan beberapa cafe kekinian dan juga Taman Hutan Raya Djuanda (Tahura). Sengaja memang, biar pagi harinya bisa ke Tahura dan nggak mager (buat suami) karena sudah dipilihkan penginapan yang dekat looohh. Ya walaupun pagi itu, suami masih sedikit susah bangun karena malas dan dingin, tapi akhirnya dia mau juga.
Sebelum benar-benar jalan-jalan di Tahura, saya dan suami mengisi perut dulu di warung bubur ayam yang letaknya nggak begitu jauh dari Tahura, namanya Bubur Gowes. Kenapa Bubur Gowes? Karena yang makan di situ kebanyakan para pesepeda yang tiap pagi bersepeda ke kawasan Dago Atas. Nggak heran kalau di dekat gerobak buburnya ada tempat parkir sepeda.
Konon bubur ini enak dan laris manis khususnya di kalangan pesepeda. Benar saja, ketika saya makan di sana sekitar pukul 07.00 sudah banyak para pesepeda yang datang. Nggak cuma itu, banyak juga pengunjung yang akan ke Tahura dan mampir dulu di Bubur Gowes termasuk saya. Buburnya khas Bandung banget yang tanpa kuah. Topingnya pun banyak, ada hati ampela, ayam, telur, atau jamur. Pagi itu saya memilih toping jamur sementara suami hati ampela.
Kami nggak berlama-lama makan di Bubur Gowes karena diburu waktu akan kondangan siangnya. Selesai makan dari Bubur Gowes kami pun langsung menuju Tahura yang jaraknya sekitar 100 meter dari situ. Awalnya saya mengira dengan datang pagi ke Tahura belum penuh dengan pengunjung, nyatanya saya salah. Sudah banyak pengunjung baik itu yang bermobil, bermotor, atau jalan kaki kesana. Mungkin juga karena hari itu adalah Minggu pagi.
Selama di Bandung dulu, belum pernah sekalipun saya ke Tahura. Makanya saya takjub pas dapat kesempatan kesana akhir tahun kemarin. Bosan juga kan kalau ke Bandung ke factory outlet, kafe, atau Lembang melulu. Pengennya yang beda. Makanya saya putuskan ke Tahura saja yang dekat karena nggak sampai 5 menit dari penginapan.
Setelah memarkirkan motor dan juga bayar uang masuk, kami pun menyusuri jalanan Tahura pagi itu. Beruntung, di dalam Tahura masih relatif sepi walau sudah banyak pengunjung yang datang. Di sana saya bisa menikmati segarnya hutan bukan cuma dengan pohon pinusnya, tetapi juga pohon-pohon besar lainnya yang di beberapa titik telah dinamai.
Nggak begitu susah buat jalan-jalan di Tahura karena di beberapa sudutnya sudah ada papan petunjuk arah mau ke mana. Kalau mau capek sekalian ya silakan sampai rute yang jauh kayak penangkaran rusa atau Maribaya sekalian. Kalau saya sih cuma sampai Goa Jepang dan Goa Belanda. Itu aja udah lumayan banget buat yang nggak suka hiking kayak saya.
Secara keseluruhan Tahura tempat yang enak buat jalan kaki dan menikmati segarnya alam. Kalau lapar, di beberapa titik ada warung yang menjual ketan bakar, jagung bakar, mie instant, atau minuman. Bahkan di beberapa titik ada penjual jajanan kecil macam cilok. Eits tapi kalau sudah jajan jangan lupa sampahnya dibuang pada tempatnya ya. Di Tahura sudah disediakan juga tempat sampah di beberapa titik.
Titik pemberhentian saya yang pertama adalah Goa Jepang. Sebenarnya ini mirip kayak tunnel atau terowongan kalau kita ke Taman Sari. Bukan seperti gua yang di dalamnya banyak kelelawar dan juga stalagtit stalagmit. Goa ini lebih ke bangunan peninggalan sejarah yang memang dibuat khusus bukan karena peristiwa alam. Pun dengan Goa Belanda. Pengunjung malah bisa masuk menyusuri bangunan itu dengan menyewa senter atau pakai flash di hape. Suasananya ya dingin lembab khas bangunan tua. Tapi banyak juga lho yang penasaran gimana rasanya masuk ke lorong itu termasuk saya.
Selain bisa jalan-jalan sambil menikmati suasana dan kesegaran Tahura, bagi yang ingin merasakan sensasi berkuda bisa juga menyewa kuda-kuda yang ditawarkan mamang-mamang. Biasanya bagi keluarga yang membawa anak kecil, naik kuda ini jadi semacam hiburan tersendiri. Sementara itu, di Tahura juga sudah disediakan fasilitas toilet dan musala bagi pengunjung tapi ya itu sederhana banget nget. Mungkin ke depannya fasilitas ini perlu ditingkatkan agar pengunjung nyaman.
Oh ya, kalau kamu mau ke Tahura menurut saya sih prefer pagi-pagi ya karena masih sejuk dan belum begitu panas. Jangan lupa pakai alas kaki yang nyaman juga, jangan kayak saya pakai platform yang mau dipakai buat kondangan karena nggak bawa sandal ke Bandung. Yah walaupun track jalanan yang dibuat sudah dibangun beton tapi ada juga beberapa yang masih berupa tanah terjal berbatu dan agak repot kalau pakai platform (ya iyalah sapa suruh ke hutan pakai heels, hahaha)
Nah, yang penasaran sama perjalanan saya ke Bandung akhir 2017 lalu bisa lihat juga di rekaman perjalanan saya di bawah ini: