Saya terbangun di atas kursi pesawat lalu melihat ke luar jendela. Pesawat yang saya naiki terasa berbelok. Untuk sebuah pesawat ber-seat 2-2, getarannya terasa sekali. Sementara di bawah sana mulai terlihat pulau-pulau kecil dengan pantai pasir putih yang mengelilinginya. Saat itu juga saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pemandangan yang saya lihat dari balik kaca jendela pesawat.
Di bawah sana gugusan perbukitan terlihat sebelum akhirnya pesawat benar-benar mendarat di Bandara Komodo. Rupanya Bandara Komodo tempat mendarat pesawat yang saya tumpangi memang sepi dan terletak di antara perbukitan. Walaupun begitu, bandaranya sudah bagus dan memadai walau kecil. Hanya ada 1 pesawat yaitu pesawat yang saya naiki yang ada di situ. Saya tak lupa untuk berfoto terlebih dahulu di bandara yang terletak di Kabupaten Labuan Bajo itu.
Perjalanan saya kali ini sungguh istimewa dan berbeda dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Pasalnya, saya liburan bukan dengan para blogger melainkan dengan para pemenang writing competition Weekend Escape dari Insto. Selain bersama para pemenang, saya juga datang bersama pihak Combiphar selaku penyelenggara acara. Kami datang bukan hanya untuk bersenang-senang melainkan juga syuting program My Trip My Adventure.
Setelah kami selesai dengan urusan bagasi, di luar sudah menanti bus dan juga tour leader yang akan mengantar kami ke Pelabuhan Labuan Bajo. Satu persatu peserta tour pun diberi kalungan kain tenun. Kata tour leader yang juga penduduk lokal, ini adalah bentuk penghormatan kepada para tamu. Setelah seremonial pengalungan kain selesai, bus yang kami tumpangi pun melaju menuju pelabuhan.
Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, Labuan Bajo merupakan tempat yang damai. Area bandara saja sepi, saya seperti dejavu dengan suasana stasiun di dekat rumah yang sepi pada siang hari. Di sepanjang jalan, berjajar rumah-rumah penduduk. Kontur jalanan yang saya lewati berkelok, layaknya jalanan di atas bukit. Jalanan di sana tak begitu lebar, hanya cukup dilewati 2 mobil. Tak lama berjalan, bus pun berhenti terlebih dahulu. Kami dipersilakan untuk berfoto dan menikmati sejenak pemandangan di Bukit Waringin. Dari bukit ini, terlihat pemandangan Pelabuhan Labuan Bajo lengkap dengan lautan dan kapal-kapal yang bersandar.
Hanya sekitar 10-15 menit kami berhenti di Bukit Waringin, bus pun melanjutkan perjalanannya kembali. Tak lama, bus pun berhenti kembali di depan sebuah minimarket lokal. Minimarket ini letaknya di pusat kota Labuan Bajo. Jangan bayangkan pusat kota Labuan Bajo layaknya pusat kota di Jakarta dengan mall-mallnya. Pusat kota di sini terletak di pesisir pantai. Di kanan kiri jalan dipenuhi oleh rumah makan, warung, atau toko-toko yang menjual kebutuhan pokok. Pusat kota Labuan Bajo ini letaknya dekat dengan pelabuhan.
Tak butuh waktu lama bus berhenti. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Labuan Bajo untuk kemudian transfer ke ‘hotel’ yang kami tempati. Penginapan yang kami tempati bukan penginapan yang biasa karena saya dan teman lainnya akan menginap selama 3 hari 2 malam di atas kapal. Iya, kami akan menghabiskan hari-hari dengan cara Live on Board.
Live on Board, Hidup Layaknya Nelayan di Laut
Sejatinya live on board menurut saya adalah cara menikmati liburan yang berbeda. Traveler atau wisatawan akan menginap selama beberapa hari di atas kapal dan hidup ala nelayan. Kami akan melakukan aktivitas dari makan, mandi, dan tidur di atas kapal.
Untuk menuju ke kapal yang saya tempati, saya harus menaiki sekoci menuju ke perairan yang agak dalam. Agak sulit untuk kapal yang lumayan besar bersandar di tepi pelabuhan. Kapal-kapal yang digunakan untuk live on board biasanya adalah kapal pinisi. Seberapa besar dan fasilitas apa saja yang ada di dalamnya menentukan berapa tarif menginap semalamnya. Selama menghabiskan hari, kapal akan berlayar ke beberapa pulau yang akan disinggahi.
Rombongan kami dibagi dalam 2 kelompok  untuk kemudian ditempatkan di kapal yang  berbeda. Saya masuk dalam tim biru yang tinggal di kapal Lambo Rajo. Sedangkan kelompok lainnya, tim hijau, tinggal di kapal Lensa Flores. Satu kapal dihuni sekitar 10-11 orang. Sedangkan  ABK (anak buah kapal) terdiri dari 4-5 orang yang terdiri dari kapten (nahkoda), mekanik, chef, hingga bagian sekoci.
Kapal yang saya naiki memiliki fasilitas layaknya hotel. Ada 3 kamar dengan bunk bed yang mampu menampung 4 orang, 1 kamar VIP untuk 2 orang, 2 kamar mandi di bagian bawah, dapur, tempat makan, AC di setiap kamar, hingga tempat bersantai (yang jadi tempat favorit saat malam hari) dengan sun lounger yang bisa dijadikan tempat berjemur. Soal makanan tentu saja tak perlu khawatir karena ada chef yang sudah jago. Rasa makanan di atas kapal juga sama saja kok, sama-sama enak saat dimakan pas lapar, haha. Yang sedikit membedakan hanyalah suplai air. Suplai air di atas kapal tak semelimpah di daratan. Oleh karena itu, kami dianjurkan untuk menghemat air.
Yang paling menyenangkan dari live on board adalah minimnya sinyal provider. Kami semua bisa meninggalkan hape dan berinteraksi dengan sesama teman di meja makan atau sun lounger. Sungguh momen yang mungkin amat langka saat ini kala liburan bersama. Saat malam tiba, kami ditemani debur ombak, angin laut, dan bintang-bintang. Untuk membunuh kesepian pun kami memilih berjoged bersama bersama ABK. Ah, sungguh ini momen langka yang tak terlupakan.
Kala siang hari, saya dan teman-teman memilih berada di bagian belakang kapal untuk menikmati angin sambil tiduran di bean bag hingga akhirnya mata ini benar-benar mengantuk terbuai oleh angin laut. Ombak yang kadang tenang atau kadang sangat terasa goyangannya adalah tantangan buat saya dan beberapa teman lainnya. Pasalnya, untuk kami yang tak terbiasa akan terasa sangat mual. Bahkan di hari pertama saya sudah bolak-balik jackpot hingga akhirnya menyerah sama obat anti mabuk. Thanks to obat anti mabuk yang membuat hari-hari saya di atas kapal akhirnya bisa benar-benar dinikmati.
Menikmati Senja di Pulau Kelor
Pulau Kelor adalah tujuan pertama kami. Pulau Kelor adalah pulau tak berpenghuni di antara gugusan kepulauan di Labuan Bajo. Sama halnya dengan pulau-pulau lainnya di Labuan Bajo, Pulau Kelor memiliki pantai cantik berpasir putih dengan perbukitan yang bisa didaki. Jalur treking di perbukitan Pulau Kelor masih terjal dan membutuhkan keberanian lebih untuk mendakinya.
Untuk melihat betapa indahnya Pulau Kelor, saya harus naik ke atas bukit. Sayangnya, sore itu saya hanya naik sampai separuh bukit karena badan yang belum fit pascamabuk laut. Walaupun begitu, pemandangan dari setengah bukit saja sudah terlihat sangat bagus. Sementara beberapa teman lainnya memilih menikmati pantai dan snorkling. Sore itu langit mendung sehingga saya dan teman-teman pun tak bisa menikmati indahnya sunset. Namun kami masih bisa melihat langit berwarna gradasi jingga dan pink. Saat rintik hujan mulai turun dan langit gelap, kami pun harus menyudahi menikmati Pulau Kelor dan menaiki sekoci untuk kemudian kembali ke kapal.
Terpukau Keindahan Pulau Padar bersama Tim MTMA
Pagi di hari kedua saya terbangun sebelum subuh. Setelah mandi dan berdandan, saya masih sempat melihat indahnya sunrise dan gugusan pulau di perairan Labuan Bajo. Ombak mulai terasa ganas menyambut kapal kami. Saya pun segera menenggak obat antimabuk kala perut sudah terasa seperti diaduk. Pagi itu, kapal kami mengarah ke Pulau Padar, pulau kedua yang kami singgahi untuk syuting bersama tim MTMA (My Trip My Adventure).
Yang saya tahu pemandangan Pulau Padar sangat indah. Namun untuk melihat keindahannya, kami harus treking terlebih dahulu di perbukitan yang tingginya lebih dari 1000 meter. Pulau ini pas sekali dengan filosofi hidup, jika ingin merasakan sesuatu yang menyenangkan harus berusaha keras dulu sebelumnya. Untungnya, di Pulau Padar sekarang sedang dilakukan pembangunan tangga yang mempermudah wisatawan untuk treking. Tangga-tangga ini memudahkan kami para wisatawan namun konon pembangunannya jadi merusak lingkungan. Entahlah, namun saya merasa terbantu oleh adanya anak tangga di jalur treking ini.
Pembangunan tangga di Pulau Padar belum sepenuhnya selesai. Masih sekitar 3/4 bagian yang dibangun. Sisanya, kami harus treking di medan berbatu yang lumayan terjal. Walau agak sedikit repot karena takut jatuh, saya bisa menaiki Bukit Padar hingga puncaknya dan melihat dengan mata kepala sendiri keindahan yang sebenar-benarnya di pulau ini. Persis seperti yang saya lihat sebelumnya, pulau ini memiliki pemandangan yang amat memesona. Kalau saja tak ada kewajiban untuk syuting, mungkin saya sudah keasikan menikmati sepoinya angin sambil mengabadikan pemandangan dalam bidikan kamera.
Sementara itu di punakc bukit sudah menunggu 3 host MTMA beserta kru sedari tadi. Mereka memang sudah tiba dari subuh untuk mengambil gambar sunrise dan menunggu kami. Rikas Harsa, Widika Sidmore, dan Della Dartyan menyambut kami untuk kemudian berinteraksi guna kepentingan pengambilan gambar MTMA sponsored by Insto.
Setelah melalui pengambilan gambar yang lumayan lama, kami pun turun dari Bukit Padar. Panas semakin terik, udara kering pun semakin terasa, saya dan rekan-rekan harus turun bukit dan kembali ke kapal. Namun satu hal yang saya dapat adalah bisa menikmati keindahan Pulau Padar yang hakiki, yang biasanya cuma saya lihat di foto orang saat itu bisa saya nikmati langsung di depan mata.
Syuting My Trip My Adventure
Salah satu alasan saya dan beberapa teman pergi ke Labuan Bajo adalah untuk syuting My Trip My Adventure. Syuting mungkin bukan barang baru buat saya, namun kebersamaan dengan para pemenang writing competition, kru dan host MTMA, serta suguhan pemandangan alam Labuan Bajo yang indah adalah kombinasi spesial yang mungkin tidak akan pernah saya dapat dimanapun.
Syuting MTMA dilakukan di 3 tempat berbeda. Tempat pertama adalah di Bukit Padar. Di Bukit Padar, kami dibagi menjadi 2 kelompok. Saya selaku kelompok biru bersama Rikas, sedangkan kelompok hijau bersama Widika. Sementara itu tempat syuting yang kedua adalah di atas Kapal Lensa Flores. Di kapal ini, kami diajak berjoged bersama Rikas, Widika, dan Della. Selain itu, beberapa orang yang bisa berenang juga diajak nyebur ke laut dari atas kapal bersama mereka lalu berenang sebentar. Sedangkan tempat syuting MTMA terakhir adalah Pantai Pink. Di Pantai Pink kami diajak bermain dan berenang bersama host dengan properti giant floaties.
Pantai Pink yang Tak Lagi Pink
Awalnya, saya kira Pantai Pink yang akan didatangi terletak di balik Bukit Padar. Bukan tanpa alasan saya menduga seperti itu karena saat mendaki ke Bukit Padar saya bisa melihat dengan jelas pasir berwarna pink di balik bukit. Namun ternyata saya salah duga. Kami masih harus berlayar lumayan jauh untuk menuju ke Pantai Pink yang dimaksud.
Sambil berlayar menuju Pantai Pink, kami syuting dengan tim MTMA di atas kapal Lensa Flores. Saat sudah hampir sampai Pantai Pink, beberapa orang diajak oleh Widika untuk berenang dari kapal menuju bibir pantai. Sementara yang lainnya naik sekoci untuk sampai ke pantai.
Begitu sampai pantai, saya bertanya-tanya mana Pantai Pink-nya? Teman-teman bilang bahwa di tempat saya berdiri itulah Pantai Pink. Konon pasir di pantai ini sering dibawa orang-orang pulang ke rumah karena warnanya menarik, hingga akhirnya membuat warna pink-nya memudar. Makanya warnanya tak lagi pink pekat. Namun kalau diperhatikan dari jarak dekat masih terlihat butiran-butiran pink di antara pasir putihnya.
Ada 3 area yang saya explore di Pantai Pink. Area pertama adalah area dimana saya bermain giant floaties saat syuting MTMA. Area ini terletak di sebelah belakang pantai tempat mendarat sekoci. Pantai di area ini berbatu karang yang lumayan tajam. Saya sampai lecet-lecet saat berenang. Karena banyak karang dan kerikil, pasir putih di bagian pantai ini jadi tak terlihat putih.
Sedangkan area yang kedua adalah tempat mendarat kapal dan sekoci. Area ini adalah area yang paling umum dipakai orang-orang untuk bermain. Selain berenang dan bermain giant floaties, saya juga snorkling di area tersebut. Di pinggiran pantainya saja sudah bisa terlihat terumbu karang dan kumpulan ikan cantik berwarna-warni. Walaupun di pinggiran pantainya sudah bisa untuk snorkling, tetapi arus di pantai ini lumayan kencang. Saat asik snorkling saya sempat terbawa arus hingga mendekati karang besar di bagian samping pantai.
Nah area ketiga yang saya jelajahi di pantai ini adalah bebukitannya. Untuk naik ke atas bukit, saya harus treking terlebih dahulu. Jalur trekingnya lumayan landai namun agak licin karena tanah-tanahnya yang kering. Bukitnya pun tidak begitu tinggi. Sampai atas bukit, saya bisa melihat keseluruhan pantai pink yang cantik. Selain itu, saya juga bisa melihat gugusan perbukitan yang dikelilingi oleh pantai di pulau itu.
Bertemu Komodo di Komodo National Park
Gong dan tujuan akhir dari perjalanan ke Labuan Bajo adalah melihat dari dekat seperti apa komodo. Itulah yang juga kami rasakan di hari ketiga. Kapal yang kami naiki berlayar dan mendarat di Pulau Komodo. Berbeda dengan pulau-pulau sebelumnya, pulau ini berpenghuni. Bahkan tour guide yang ada di kapal saya pun berasal dari Pulau Komodo.
Setiap sisi Pulau Komodo nampaknya indah untuk dieksplor. Bahkan dermaga panjang di gerbang kedatangan saja nampak fotogenik dan indah dipandang mata. Namun, kami tak bisa sembarangan berfoto atau berpencar saat sudah memasuki Taman Nasional Komodo (TN Komodo) karena bisa jadi menarik perhatian komodo. Bagaimanapun juga komodo adalah binatang buas yang bisa saja membahayakan nyawa manusia.
Saat benar-benar masuk ke dalam TN Komodo, kami harus patuh perintah ranger. Kami nggak bisa sembarangan berpencar, foto-foto sendiri, berisik, lari-larian, atau melambai-lambaikan sesuatu karena itu semua bisa menarik perhatian komodo. Untuk perempuan yang sedang berhalangan atau haid, masih boleh ke dalam TN Komodo namun harus selalu berdekatan dengan ranger karena penciuman komodo terhadap darah sangat tajam.
Baru saja masuk TN Komodo, kami sudah bertemu dengan seekor komodo yang sedang tidur di bawah saung-saung. Kata sang ranger, komodo itu baru kemarin makan seekor rusa. Walaupun kelihatannya santai dan tidur, akan tetapi komodo bisa saja mengejar orang kalau kita tidak berhati-hati. Saat masuk lebih dalam lagi, kami bertemu 4 komodo sekaligus. Mereka sama-sama sedang bersantai. Di sini akhirnya saya dan teman-teman berfoto dengan komodo.
Soal berfoto sama komodo, ranger di sana sudah tahu trik-triknya. Mereka sudah tahu angle sebelah mana yang bagus untuk memotret komodo supaya kelihatan besar dan gagah. Walaupun sebenarnya si komodo nggak sebesar yang ada di bayangan saat kita lihat di foto. Selain itu, terkadang ranger juga menarik perhatian komodo agar mereka mau berjalan atau bergerak. Foto komodo paling bagus adalah saat mereka menjulurkan lidah. Jadi kelihatan deh lidah cabangnya.
Setelah puas berfoto dengan komodo kami pun harus menyudahi perjalanan hari itu karena kami harus buru-buru untuk mengejar pesawat. Sayang sekali memang. Padahal sekali masuk tiket di TN Komodo sudah mencakup treking sampai ke dalam hutan dan snorkling. Tapi ya gimana lagi daripada ketinggalan pesawat. Pasalnya, dari Pulau Komodo hingga Pelabuhan Labuan Bajo saja kami masih harus berlayar selama 3 jam. Jadi bisa dibayangkan kayak gimana kalau kita nggak patuh jadwal. Itu pun sembari berdoa agar angin dan ombak bersahabat.
Walaupun begitu, saya sudah senang sekali bisa mengeksplor Labuan Bajo dan melihat komodo dari jarak dekat. Binatang yang dulu hanya cuma bisa saya lihat dari buku atlas usang punya bapak dan diceritakan cuma terdapat di Indonesia sama bapak kini bisa saya lihat langsung. Perjalanan kali ini sungguh berkesan, apalagi ditambah sensasi tak ada sinyal membuat liburan jadi benar-benar liburan.
Siang itu, saya menghabiskan perjalanan sambil menikmati angin sepoi di bagian belakang kapal. Mata ini mengantuk namun saya takut melewatkan pemandangan Labuan Bajo yang sebentar lagi akan terpisah. Terima kasih, Labuan Bajo yang telah membukakan mata saya lebih lebar lagi dan menyadarkan betapa indahnya Indonesia.
Yang masih penasaran dengan kegiatan saya di Labuan Bajo, simak aja ya video di bawah ini: