Setelah sempat hanya jadi wacana saat merencanakannya bersama suami, akhirnya pertengahan Juli 2017 ini saya dan dia jadi juga untuk mengunjungi Negeri Laskar Pelangi, Belitung. Namun kunjungan kali ini berbeda karena saya dan suami ngetrip bersama travel blogger yang lain -meski mereka juga ada yang membawa pasangan- dalam rangka undangan pengelola Pulau Leebong, Belitung. Namun siapa yang sangka kalau trip kali ini justru menorehkan kenangan warna-warni.
Bulan Juli kalau di pelajaran geografi zaman SD dulu seharusnya sudah musim kemarau. Namun, musim yang tak tentu arah kali justru membuat Bulan Juli diguyur hujan. Siapa yang bisa menolak kuasa alam? Hari-hari setelah Lebaran yang tadinya cerah dan tanpa hujan mendadak jadi sering hujan ketika H-2 jelang keberangkatan kami ke Belitung. Dalam hati saya sih sudah ketar-ketir apalagi kalau hubungannya dengan penerbangan. Takut-takut kalau terjadi sesuatu atau delay lama atau malah dibatalkan karena cuaca buruk. Namun untungnya semuanya aman dan terkendali.
Mensyukuri Nikmat Yang Kuasa di Pulau Leebong dan Pasir Timbul
Sebelumnya saya pernah liburan atau datang ke beberapa pantai baik yang berpasir putih atau hitam namun pantai-pantai di Belitung ini berbeda dari pantai yang sebelumnya pernah saya kunjungi. Pantainya berpasir putih dan halus hampir seperti tepung, airnya pun berwarna hijau atau kebiruan terpantul cahaya matahari dan birunya langit. Sungguh pemandangan yang sebelumnya hanya saya lihat di gambar desktop Windows atau foto kalender benar-benar ada di hadapan saya.
Selain itu, jujur saja sebenarnya sebelum ke Belitung saya sudah mulai menggalakkan hidup sehat dengan makan buah, sayur, mengurangi karbo, serta tidak makan gorengan. Namun ketika sampai di Belitung dan Leebong, semua makanan enak tak dapat ditolak. Apalagi yang paling saya suka adalah pisang goreng pasirnya yang manis dan kriuk banget. Alhasil, jadwal makan sehat saya hanya tinggal mimpi, haha. Teman-teman pun ‘meracuni’ saya buat makan makanan enak. Akhirnya sampai sekarang, pisang goreng pasir itu jadi tumbal bahan candaan dengan menyebutnya sebagai FC, Fisang Combaining, hahaha.
(Baca juga: Menikmati Cita Rasa Kuliner dari Pulau Leebong hingga Belitung Timur)
Belum lagi saat Pak Toto dan kawan-kawan membawa rombongan kami ke Pulau Pasir Timbul. Pulaunya sangat kecil namun tak ada rasa takut di diri saya untuk berlarian dan bermain air. Iya, karena air laut di sana sangat bersahabat, dangkal, jernih, dan memiliki ombak yang tenang. Bahkan Lala, putri Mbak Dian Radiata, dengan senangnya main air dan paddle board di Pulau Pasir Timbul tanpa takut ombak atau dalamnya air laut. Iya, karena saat surut (dan kami bermain di sana saat air surut) air laut hanya semata kaki atau betis orang dewasa. Aman sekali untuk bermain.
Lalu ajakan untuk menyusuri hutan mangrove di Pulau Leebong merupakan pengalaman baru buat saya. Walau hanya sebentar karena hari mulai malam dan turun rintik hujan namun menyusuri hutan mangrove juga membuat saya punya pengalaman dan pengetahuan baru. Apalagi Pak Toto (PT Leebong Octa Samasta) dan Ko Darmawan (Mulia Rental Group) menjelaskan banyak hal soal Pulau Leebong dan hutan mangrove di sana.
Namun, lagi-lagi siapa yang bisa menolak kuasa alam. Hari kedua kami di Pulau Leebong hujan justru turun sepanjang hari, tak ada jeda. Rencana melihat sunrise, meditasi, berkeliling menyusuri pulau menggunakan sepeda, hingga berfoto di dermaga panjang pun urung dilakukan. Namun itu semua tak membuat kita murung karena pihak pengelola ternyata berbaik hati mengajak kami berkeliling menelusuri Pulau Leebong untuk mengenal flora asli di sana.
Saya juga jadi tahu bahwa walaupun di Leebong dibangun resort namun flora asli pulau tersebut tetap dilestarikan dan malah bisa pengetahuan baru bagi pengunjung. Di hari itu juga untuk pertama kalinya saya tahu pohon kayu putih, buah karamunting, jambu nasi, pohon sikas, simpor, hingga pinus teratai. Ya, walau hari hujan kami bisa membuat keseruan tersendiri. Alhasil, kami tetap punya foto-foto cantik berlatar Pantai Chikas dan gazebo-gazebonya. Alam memang tidak bisa ditebak namun bagaimana asyiknya perjalanan adalah kita yang menentukan. Itulah yang saya pelajari saat itu.
Perjuangan Menerjang Banjir Menuju Belitung Timur
Siapa yang menyangka kalau kali pertama saya ke Belitung kali itu juga dilanda banjir besar. Tak tanggung-tanggung bahkan warga Belitung sendiri yang bilang bahwa itu adalah banjir terbesar yang pernah melanda Belitung hingga akses dari Belitung Barat ke Belitung Timur sampai terputus. Lagi-lagi kuasa alam memang tak bisa ditolak, namun semua itu justru menorehkan kenangan tersendiri bagi saya dan teman-teman.
Hari kedua di Belitung kami menyeberang dari Leebong ke Belitung lalu melanjutkan perjalanan ke Belitung Timur. Cuaca memang hujan di sepanjang jalan perjalanan kami, namun siapa yang menyangka jika di beberapa titik di Belitung Timur sudah terperangkap banjir. Terhitung ada 4 titik banjir yang kami temui saat perjalanan ke Belitung Timur. Yang paling parah adalah di Desa Renggiang dimana air sudah mencapai paha orang dewasa.
Mobil yang kami tumpangi mau tidak mau harus menerobos banjir. Dengan rasa sedikit deg-degan (karena takut mobil terbawa arus atau mogok) kami pun nekat melewati banjir walau asap kopling dan baunya sudah menyeruak. Namun sopir-sopir dari Mulia Rental Group (Pak Atok dan Pak Yudi Uban) nampaknya cukup tangguh untuk melewati banjir. Walaupun di mobil satunya, sedikit air masuk ke dalam mobil saking tingginya banjir. Setelah itu sampailah kami di Pantai Serdang, Manggar, Belitung Timur untuk menikmati seafood di RM Sinar Laut Ayung BB.
Selesai dari RM Sinar Laut kami masih ingin melanjutkan perjalanan ke Museum Kata Andrea Hirata. Sampai Museum Kata pada pukul 16.30 namun sayang museum sudah tutup. Padahal saya penasaran pengen lihat seperti apa dalamnya Museum Kata yang konon sangat asyik.
Untungnya, saya sempat berfoto sebentar di samping Museum Kata. Yang paling saya suka dari Museum Kata adalah catnya yang berwarna-warni, bikin segar mata dan bagus di kamera. Saya yang waktu itu pakai celana tidur (iya karena hujan terus, celana basah, dan cadangan celana berpotensi habis makanya pakai celana tidur kemana-mana yang lebih mendingan daripada legging nyeplak kaki) punya insting melilitkan Batik Purworejo jadi semacam celana. Tanpa sadar juga, saya punya kipas hasil kondangan teman saya di dalam tas. Akhirnya kipas dan Batik Purworejo jadi properti foto di Museum Kata. Hasilnya not bad kok, malah menurut saya seru karena colorfull berpadu sama colorfull.
(Baca juga: Batik Purworejo, Siap Bersaing di Tingkat Nasional Maupun Internasional)
Kami pun berfoto di luar museum itupun tidak lama karena mendadak hujan turun dengan lebatnya. Karena tidak ada tempat berteduh maka kami melanjutkan perjalanan menuju replika SD Muhammadiyah Gantong atau tempat syuting film Laskar Pelangi sambil mencari tempat salat. Tempatnya ternyata dekat dan bisa ditempuh hanya dalam beberapa menit menggunakan mobil.
Sampai tempat tersebut, hujan pun masih mengguyur namun sempat reda sebentar. Saya, Mbak Rien, suami saya, dan Mas Arief (suami Mbak Rien) pun menyempatkan untuk berfoto sebentar dan menikmati tempat syuting film Laskar Pelangi yang cukup fenomenal itu. Saya juga sempat melihat kondisi bangunan yang dulunya dibuat khusus untuk syuting film yang diangkat dari buku laris karya Andrea Hirata tersebut. Selain kami, ternyata masih ada beberapa orang yang berkunjung sore itu. Hujan tak menyurutkan kami para wisatawan untuk melihat seperti apa replika sekolah yang menjadi lokasi syuting film garapan Riri Riza dan Mira Lesmana itu.
Menuju malam, kami pun kembali ke Belitung Barat. Cuaca masih mendung dengan sedikit gerimis namun beruntung di jalan pulang kami tidak menemui banjir seperti saat berangkat tadi. Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam kami pun sampai dan dijamu di Restoran Dynasty. Menu ‘jagoan’ kepiting saus padang pun mampu mengobati lelah kami setelah menerjang banjir.
Kenyang makan seafood bukan berarti menutup kegiatan kami malam hari itu. Pak Toto ternyata masih mengajak kami untuk menikmati malam hari dengan ngopi di OS Kopi Kong Djie, Jalan Mat Daud, Tanjung Pandan. Lelah yang bersemayam pun hilang seketika karena ternyata tempat ngopi yang dimaksud cukup instagramable jadi kami bisa memuaskan selera narsis di sana. Tak cuma itu, makanan yang disajikan pun menggoda saya. Walau perut kenyang saya tetap nambah pisang goreng pasir seporsi lagi, hihihi. Kegiatan malam itu pun selesai sekitar pukul 11.00 dan kami pun mengakhiri malam dengan check ini di Grand Orion Hotel, Tanjung Pandan.
(BERSAMBUNG)
Terima kasih tak terhingga untuk:
Bapak Sugianto (@totoleebongocta)
Direktur PT Leebong Octa Samasta
Leebong Island, Belitung – Indonesia
Telp: +62 21 5438 1355 , +62 21 5438 1356
HP: +62 812 9770 0776 (WhatsApp/LINE)
www.leebongisland.com
Telp: 0878 9778 8008, 0812 7324 691, 0719 21466, 0719 21579
Picniq Tour & Travel (@picniqtourtravel)