Ramadan di usia yang telah beranjak menjadi mak-emak sekarang seringnya dipadati dengan jadwal bukber, penantian THR, rencana mudik, atau list yang mau dibeli untuk Lebaran. Semuanya nggak jauh-jauh dari keriuhan dan kesibukan. Tapi pernahkah kita sejenak flash back kalau zaman dulu, zaman kita kecil, Ramadan begitu indah dan tak terlupakan dengan segala kegiatannya.
Kalau saya sih iya dan beberapa kali sering begitu.
Sebelum khutbah di masjid riuh dengan nuansa politik, zaman dulu masih ada kultum-kultum dengan materi simpel tapi ngena yang bisa dicatat di buku kegiatan Ramadan. Sebelum stasiun bersih, rapi, dan disiplin seperti sekarang ini, saya pernah jadi asongan dadakan saat Bulan Ramadan dan Lebaran. Sebelum suara petasan sekarang yang terasa sangat mengganggu, saya suka lihat anak-anak cowok main long, sejenis meriam-meriaman yang bunyinya boommm. Ah, indahnya masa kecil yang tak akan terulang lagi karena banyak hal telah berbeda saat ini.
1. Buku Kegiatan Ramadan dan Rebutan Tanda Tangan
Anak tahun 90-an pasti kenal banget dengan buku ini saat Ramadan tiba. Iya, ini adalah buku kegiatan Ramadan yang biasanya wajib dipunyai siswa SD dan SMP saat Bulan Ramadan tiba. Buku ini gunanya untuk mencatat jadwal kegiatan Ramadan selama 1 bulan penuh mulai dari puasa, tarawih, salat lima waktu, catatan kultum, Salat Jumat, hingga Salat Ied. Siswa di sekolah biasanya wajib mencatat semua ibadahnya dan setelah libur Lebaran buku ini akan dikumpulkan di sekolah.
Untuk meyakinkan guru, di beberapa tabel buku (khususnya di kolom Salat Tarawih dan kultum) harus diberi tanda tangan atau paraf imam dan atau ustaz. Jadi, saat Ramadan tiba imam salat dan ustaz serasa artis karena setelah salat biasanya banyak anak yang antri meminta tanda-tangan. Masjid-masjid juga penuh sama anak-anak yang (mungkin saja)ikut Tarawih demi bisa mendapatkan tanda tangan. Hmmm, buku ini sampai sekarang masih nggak ya? Soalnya di tempat saya sudah nggak pernah lihat imam salat dikerubutin anak-anak buat minta tanda tangan.
Ngomong-ngomong, saya pernah ‘nakal’ pas ngisi buku Ramadan ini. Saat kelas 2 SMP kalau tidak salah saya pernah memalsukan semua paraf dan isi ceramah. Alasannya sih sederhana soalnya di umur segitu udah malu rebutan minta tanda tangan bareng anak-anak kecil. Akhirnya, beberapa hari sebelum dikumpul, paraf imam dan khatib saya palsuin. Isi kultum pun saya ambil dari ceramah di televisi. Hahaha, duh yang bagian ini jangan ditiru ya. Ini contoh buruk.
2. Jadi Asongan Dadakan di Stasiun
Jauh sebelum stasiun jadi tempat yang nyaman, bersih, aman, dan disiplin kayak sekarang, saya pernah jadi asongan saat bulan puasa dan Lebaran. Dulu, stasiun itu imagenya adalah tempat umum yang kotor, ramai, dan riuh. Apalagi saat Lebaran tiba, banyak penumpang arus mudik yang keleleran karena kereta bisa telat hingga berjam-jam. Sebagai asesta (anak sekitar stasiun, rumah saya di pinggir stasiun) dan punya orang tua yang berjualan di stasiun, saya pun pernah jadi asongan dadakan kala itu.
Fenomena anak-anak yang jadi asongan dadakan saat Lebaran di Stasiun Kutoarjo itu biasa banget. Mereka yang jadi asongan dadakan biasanya memanfaatkan waktu libur Lebaran buat cari tambahan uang. Yang didagangkan pun simpel dari kipas, koran, tisu, hingga lilin (karena waktu itu kereta ekonomi yang penuh sesak itu sering mati lampunya). Kalau saya sih seringnya jualan kipas sama koran.
Jadi asongan dadakan itu seru. Saya biasanya motifnya lebih ke ikut-ikutan teman sih. Dagangan pun saya nggak modal karena tinggal ngambil di kios ibu. Kadang bahkan biar laku, kipas yang harga belinya Rp 300 saya lepas aja Rp 250. Biasanya orang yang suka kebangetan nawarnya yang saya kasih. Kalau di penumpang lain, saya menawarkan Rp 500. Rasa senang timbul kala dagangan anak-anak habis dan kami menghitungnya di pojok-pojok stasiun sambil pamer hasil uang yang didapat satu sama lain. Kalau dipikir saat ini, saya amazing juga pernah jadi asongan yang naik turun kereta padahal di stasiun kan bahaya banyak kereta lewat saat Lebaran.
3. Asmara Subuh
Dulu zaman masih sekolah sering banget teman-teman ngajak jalan-jalan setelah salat subuh pas bulan puasa. Di daerah saya, biasanya banyak yang keluar pagi buat jalan-jalan setelah subuh atau yang populer dengan nama asmara subuh. Entah kenapa dinamakan asmara subuh, mungkin yang jalan-jalan kebanyakan pasangan pacaran kali ya. Sayangnya, saya nggak pernah boleh keluar jalan-jalan sama bapak kalau pas subuh begini. Alasannya mungkin karena melihat banyak yang malah pacaran atau main petasan padahal kebanyakan anak kecil atau usia sekolah. Selain itu, takutnya saya malah ngantuk di sekolah kalau sok-sokan mau jalan-jalan. Kalaupun keluar rumah, saya diantar sama bapak sambil boncengan naik sepeda.
Kalau di daerah rumah saya, Kutoarjo, tempat paling populer buat jalan-jalan sehabis subuh adalah di Alun-Alun Kutoarjo hingga daerah Gunung Tugel. Di sana biasanya ramai sekali orang jalan-jalan pagi hari. ‘Destinasi’ yang lumayan populer saat itu adalah menara air PDAM di pojok alun-alun. Dulu, kayaknya keren banget kalau pas jalan-jalan trus berhasil naik di menara air ini sampai atas. Bahasan anak-anak kalau lagi ketemuan pun seputar naik tangga menara PDAM.
4. Libur Satu Bulan Penuh
Yang masih sekolah saat rezim Gusdur pasti dah tahu banget kalau di zaman presiden yang satu ini puasa sampai Lebaran full libur. Paling masuk hanya buat pesantren kilat atau piket (btw, sekarang piket nyapu-nyapu kelas masih ada nggak sih?). Makmur banget jadinya, waktu dihabiskan di rumah buat golar-goler. Tapi ada juga anak-anak yang ‘kontra’ sama libur puasa ini. Alasannya kalau pas puasa libur dan malah diam di rumah jadi kerasa lapar dan hausnya.
Kalau saya sih team yang senang-senang aja liburan full selama Ramadan karena bisa bangun siang walaupun tugas dari sekolah banyak banget. Kalau kamu team yang mana?
5. Mainan Meriam Bambu
Sebelum bunyi dar-der-dor menjadi bunyi yang sensitif, mainan meriam bambu jadi mainan yang khas saat bulan puasa zaman dulu. Sebenarnya saya sih bukan pemain meriam bambu, melainkan cuma penikmat. Setiap bulan puasa, saya suka lihat anak-anak cowok yang main meriam bambu dan penasaran sama cara membunyikannya. Setiap meriam berbunyi, saya bersorak-sorai sambil tepuk tangan kayak supporter, haha. Hanya saja, saya nggak pernah mau nyobain karena dilarang sama bapak dan takut meledak.
Ini dia kenangan-kenangan Ramadan saya waktu kecil. Kala kamu gimana? Share juga yuk di kolom komen!