Kalau ada orang lain, apalagi orang terdekat, yang tertimpa kemalangan akibat kelalaian atau kesalahannya sendiri padahal sudah berkali-kali diingatkan, sebagai orang yang suka mengutamakan emosi hal pertama yang pengen saya lakukan biasanya adalah misuh-misuh atau bahasa gampangnya ngomel.
Contohnya adalah ketika adik saya kehilangan dompet. Saya tahu dia memang anak yang teledor dalam hal menyimpan dompet dan sudah diingatkan berkali-kali, secara impulsif hal pertama yang pengen saya lakukan padanya adalah ngomel:
“Gimana sih kamu nyimpen dompetnya? Udah aku bilangin juga disimpan yang baik, masukin tas kalau perlu. Ini udah tahu kantong celananya dangkal, masih aja disakuin. Bego banget! Ngotak dikit bisa nggak sih?”
Atau ketika anak saya mainan air, trus sudah dibilangin jangan buangin air di lantai karena nanti dia terpeleset tetapi tetap ngeyel dan pada akhirnya jatuh juga, secara refleks biasanya saya pengen merepet dengan kata-kata:
“Tuh kan, ibu bilang juga apa. Nggak dengerin sih! Syukurin deh kepeleset. Kapok nggak?”
Kemudian yang bisa diperoleh dari ngomel, merepet, atau misuh-misuh itu apa?
Puas? Ya, pasti puas. Tapi seberapa lama puasnya? Beneran puas nggak? Trus gimana efeknya ke orang lain? Apa iya jadi menyelesaikan masalah?
Reaksi Emosi Berasal dari Lingkaran Setan
Oke, kita lihat ke diri saya sendiri dulu ya. Mengomel atau marah yang seperti itu menurut saya adalah perbuatan impulsif yang dilakukan secara refleks bisa jadi karena tumpukan kedongkolan yang selama ini kita pendam. Yang ada di pikiran saya (atau kita?) dengan mengomel, hati akan lebih plong dan puas karena berhasil mengeluarkan uneg-uneg dan sesuatu yang saya yakini ‘benar’. Tapi kepuasan itu ternyata semu. Karena dengan mengomel, kita justru tidak melakukan apapun selain memberi ruang pada emosi negatif.
Tapi apakah dengan mengomel dan menyalahkan orang lain semuanya akan selesai? Tentu tidak.
Dompet adik saya tidak akan ketemu hanya dengan saya mengomel dan menyalahkannya.
Anak saya tetap akan kesakitan karena jatuh, bahkan jadi double triple sakitnya. Sudah mah jatuh, masih kena omelan, disalah-salahin pula.
Sewaktu kuliah dulu saya masih ingat dosen menerangkan kalau salah satu sifat komunikasi adalah irreversible yang diartikan tidak dapat balik. Maksudnya adalah sekali pesan itu kita kirim ke orang lain, efeknya tak bisa kita cabut begitu saja. Begitu juga kata-kata yang keluar saat kita mengomel dan menyalahkan orang lain.
Omelan dan tindakan menyalahkan orang lain, kadang nggak kita sadari apa saja kata yang keluar yang penting asal tajam, intonasi tinggi, dan yang ada di pikiran aja yang menurut kita harus diluapkan. Nggak jarang kan kalau yang keluar kata-kata kasar atau makian? Coba kalau orang yang diomelin dengar kata-kata itu, apa nggak sedih, marah, atau sakit hati? Kadang kita yang emosi nggak mikir sampai segitu.
Itu sebabnya ada yang bilang, emosi itu jika dialirkan dengan nggak baik ke luar, bisa menyakiti hati atau merusak orang lain. Mengomel, memaki, dan menyalahkan orang lain ini bisa jadi salah satu contohnya.
Well, saya dulu orang yang juga suka mengomel dan menyalahkan orang lain. Suka banget. Kenapa? Karena saya berada di lingkungan yang juga seperti itu bertahun-tahun. Keluarga besar saya atau orang tua cenderung menyalahkan orang lain atau malah marah ketika ada yang berbuat salah dan tertimpa kemalangan.
Saya masih ingat, ketika ditimpa kemalangan karena kesalahan saya, kayak jatuh atau numpahin air sampai baju seragam sekolah saya basah, saya dimarahin dan dibilang “Goblok” alih-alih dibantu. Itu juga yang akhirnya tertanam ke diri saya hingga ketika melihat orang lain ditimpa kemalangan karena kesalahannya, naluri impulsif saya-lah yang pertama kali pengennya bekerja buat marah atau menyalahkan.
Itulah kenapa, kita diharuskan buat ngomong, bersikap, atau kasih respon yang baik terutama kalau kita adalah orang tua atau seorang yang dijadikan teladan. Jawabannya adalah karena semua tindakan kita bisa dicontoh.
Semua Ini Ternyata Bernama Self Control
Tapi semakin besar dan ketemu banyak orang, saya mencoba buat berubah. Karena apa? Ya karena nggak semua hal harus direspon penuh emosi dan impulsif.
Saya belajar itu dari suami saya yang ketika kami ditimpa kemalangan, keluarganya khususnya orang tua bukan jadi orang yang menyalahkan orang lain tetapi membantu pertama kali. Kemalangan dimaknai sebagai suatu musibah. Nggak ada yang mau kan tertimpa musibah?
Saya juga belajar dari rasa sakit. Bahwa ketika saya ditimpa kemalangan dan orang lain justru marah atau menyalahkan saya, kok rasanya ngenes dan sakit banget. Ini terjadi saat saya kehilangan Azka waktu IUFD dulu. Banyak orang yang menyalahkan saya karena masih kerja, capek, atau nggak jaga badan daripada menghibur, memberi bahu untuk bersandar, atau sekadar diam.
Dari situ, saya belajar buat mengontrol apa yang keluar dari diri saya. Dan saya bahagia ketika berhasil melakukannya.
Ketika saya mengetahui, rumah yang dibeli suami secara cash buat kami ternyata punya tetangga beda blok dan luar cluster yang toxic serta developer yang bermasalah, hal yang pengen saya lakukan adalah bilang “Gimana sih kamu beli rumah nggak dipikir dulu? Mana cash dan udah dibayar semua pula!”. Nggak, sama sekali nggak.
Yang keluar dari mulut saya saat itu justru “Aku tahu, kamu beli rumah ini buat kita. Biar aku bisa tinggal lebih nyaman dan nggak ngontrak di kontrakan yang bocor dan banjir lagi. Jadi ayo kita hadapin sama-sama. Apapun yang terjadi, rumah ini adalah usaha kamu biar aku bisa hidup lebih nyaman.” Kalau dengar kalimat ini saya rada amazing, ternyata saya bisa sekalem ini responnya.
Atau saat mendengar adik saya bilang dia nggak bisa ikut UTS karena ban motornya mogok di jalan, sebenarnya saya bisa dengan sangat mudah bilang, “Udah tahu motor mogok, bukannya telepon tanya harus gimana biar dikasih jalan keluar malah diam aja sampai bolos UTS. Kalau kamu ngulang, berarti tambah lama kuliahnya. Kamu kira cari duit buat nguliahin gampang apa?!”
Dan ternyata, respon saya saat itu adalah menuruti adik saya buat datang ke kampusnya, tanda tangan surat keterangan biar dia bisa ikut UTS susulan, dan bilang “Pait-paitnya kalau kamu harus ngulang matkul ya udah jalanin aja. Ini buat pelajaran besok-besok biar nggak keulang. Biar kamu juga belajar tanggung jawab sama kegagalan” yang saya ucapkan dengan lembut walaupun di dalam hati sambil putar otak gimana lagi cari uang buat bayar tambahan semester kalau ternyata harus mengulang.
Atau peristiwa terakhir yang saya ingat adalah ketika suami saya datang dari kamar mandi dengan gusi Aqsa berdarah karena jatuh. Rasanya mencelos banget hati saya karena Aqsa luka. Jatuhnya pun gara-gara luput dari perhatian karena suami saya lagi menyiram BAB Aqsa sementara anaknya pegangan potongan selang yang terpasang di mulut keran hingga terpeleset. Pengennya saya langsung ngomel, “Gimana sih, udah tahu itu selang nggak kencang malah dibiarin aja dia mainan itu, jadinya kepeleset kan?!”
Nggak, ternyata saya nggak bereaksi kayak gitu. Justru saya buru-buru gendong Aqsa, lihat lukanya, lap dengan handuk, dan chat di grup ibu-ibu gimana cara menangani anak yang gusinya berdarah karena jatuh. Semuanya bisa saya lakukan walaupun dengan tangan yang gemetar.
Jadi, sebenarnya saya bisa kok nggak langsung impulsif marah. Bisa kok mikir panjang dulu sambil narik nafas. Mikir lebih logis bagaimana jalan keluar untuk menghadapi masalah ini daripada meledakkan emosi dan mengeluarkan kata-kata yang tajam. Bisa kok, tinggal dibiasakan saja, tinggal dilatih aja.
Sesungguhnya, saya nggak pernah ikut kelas anger management atau mindfulness yang lain. Atau jarang banget baca-baca soal psikologi dan baru-baru ini akrab soal mental health lalu baru tahu yang kayak gini namanya self control. Makanya saya semakin amazing pas bisa mengendalikan emosi gini.
Sekarang, bukan berarti saya jadi berhati malaikat. Kadang masih sering emosian kok, tapi kadarnya sudah jauuuhh berkurang. Apalagi di depan anak. Saya nggak mau anak saya emosian, suka menunjuk tangan ke orang lain yang sedang ditimpa kemalangan, dan nggak bisa mengendalikan diri. Saya nggak mau. Cukup semua stop di saya. Saya pun sedang memperbaiki diri.
Kalau kata teman saya yang psikolog, nggak semua orang punya self control yang baik. Self control itu dilatih. Jadi semuanya kembali pada diri kita masing-masing.
Buat kalian yang sering mengedepankan emosi, merasa ada yang salah saat emosi meledak-ledak ketika orang lain berbuat salah, mungkin ini salah satu tanda bahwa mulai sekarang ada yang harus diperbaiki dari cara pengendalian emosi.