Pandemi dan tahun 2020 kemarin memang berat. Namun, satu hal yang saya harus berterima kasih adalah karena pandemi suami saya jadi bisa WFH selama berbulan-bulan. Bahkan hingga sekarang dan mau setahun berlalu, suami saya masih WFH. Karena WFH berkepanjangan ini pula saya bisa pulang kampung lebih lama bahkan hingga 2,5 bulan lamanya.
Pulang kampung 2,5 bulan ini menebus kesempatan pulang kampung yang seharusnya terjadi setahun 3-4 kali saat situasi normal. Namun karena pandemi, hampir setahun kami nggak pulang kampung dan rasanya kangen sekali. Begitu new normal datang dan ada kesempatan untuk pulang kampung, kami pun nggak menyia-nyiakannya. Rencana yang tadinya hanya 2 minggu molor menjadi sebulan, dua bulan, sampai akhirnya 2,5 bulan di kampung halaman. Mumpung kami juga bawa mobil sendiri dan nggak perlu terikat dengan jadwal tiket.
Berbulan-bulan di kampung halaman menebus kebersamaan yang sempat tertunda antara kami dan orang tua serta orang tua kami dan cucunya, Aqsa. Makanya sengaja banget kami puas-puasin. Saya pun bersyukur sama pandemi karena selama itu pula suami saya tidak terikat untuk kerja di kantor sehingga bisa dilama-lamain di kampung halaman.
Rasanya saya refresh banget ketika ´pindah sementara´ dari ibukota ke kampung halaman. Apalagi pandemi membuat saya benar-benar terkurung saat di rumah dan terkurung dengan anak 2 tahun yang sedang berlatih menata emosi itu sungguh menguras kesabaran banget. Berusaha menghadapi kebosanan dan tantrumnya tapi tantangannya nggak boleh refreshing keluar rumah. Duh, rasanya otak saya penuh banget saat itu. Dan ketika saya pulang kampung itu rasanya kayak dapat angin surga.
Tapi, hidup di kampung halaman selama 2,5 bulan nggak lantas semuanya jadi enak-enak aja. Oke, saya bisa jalan-jalan dengan minim rasa takut dari virus. Oke, saya bisa ke ruang terbuka hijau yang luas kapan pun tanpa takut berkerumun. Oke, tiap hari saya bisa menikmati udara pagi yang segar dan pemandangan hamparan pegunungan tanpa harus masuk atau mencari tempat yang sangat estetik bin instagramable untuk kesana. Tapi nyatanya, hidup di mana pun itu semuanya ada suka dukanya. Itu yang bisa saya simpulkan dari ´pindahan sementara´ 2,5 bulan di kampung halaman.
FYI, saya belasan tahun hidup di sebuah kota kecil, Purworejo, sebuah kabupaten di pesisir selatan Jawa Tengah yang berbatasan dengan Yogyakarta. Dari SD hingga SMA saya besar di sana dan hidup berdampingan dengan masyarakat yang mayoritas adalah monokultural (Jawa). Tumbuh besar dan menikah, saya dapat jodoh sesama orang Purworejo juga tapi berdasarkan geografis, tempat tinggal suami saya jauh lebih pelosok ketimbang tempat tinggal saya yang mepet dengan Stasiun Kutoarjo. Jadi, apapun yang saya tulis di sini pastinya berdasarkan pengalaman hidup saya yang menjalani kehidupan pedesaan di Jawa Tengah, yang mungkin saja akan berbeda pengalamannya dengan orang lain yang hidup di desa di daerah lain.
Hidup di Desa, Apakah Selalu Damai?
¨Cita-citaku pengen punya rumah dan hidup di desa/kota kecil yang jauh dari bisingnya kendaraan¨
¨Hidup di desa apa-apa serbamurah¨
¨Pengen deh menghabiskan masa tua di rumah nyaman yang letaknya di tengah sawah dengan perpustakaan yang diisi banyak buku favorit¨
¨Enak kali ya tinggal di desa, rasa tolong-menolongnya tinggi. Nggak kayak di kota, individualis orang-orangnya.¨
Itu kalimat-kalimat yang sering saya dengar dari orang soal hidup di desa. Ada yang sering dengar kalimat begitu atau mungkin mau menambahkan dengan kalimat puja-puji yang lain?
Well, tempat saya tumbuh besar masih rada sedikit ´ngota´ walaupun tetap kampung-kampung juga (nah loh gimana tuh). Ya yang pasti tetap beda jauh dengan kultur-kultur kota besar kayak Jakarta. Dan ketika kemarin pulang kampung (setelah hampir 10 tahun menetap di Jakarta dan 6 tahun di Bandung) saya jadi nostalgia lagi dan banyak merasakan perbedaannya. Apalagi 2,5 bulan yang lalu saya bukan tinggal di rumah saya aja tetapi juga pindah bergantian ke rumah mertua yang letaknya rada pelosok. Ya, intinya lebih desa lah dari rumah saya.
Mari kita ngobrolin senang-senangnya dulu.
Tinggal di desa itu sejuk, itu pasti. Di desa atau kota kecil kayak kampung halaman saya, Purworejo, masih banyak ruang terbuka hijau dan pemandangan alam. Kalau di Jakarta saya harus ´lari´ ke daerah Puncak, Bogor, atau Bandung demi melihat pegunungan dan yang hijau-hijau segar. Di kampung halaman saya tinggal keluar dan berjalan sebentar ke sawah maka hamparan pemandangan hijau, udara segar yang kadang masih berkabut, hingga siluet pegunungan bisa terlihat jelas. Bonusnya, kadang saya masih bisa menangkap banyak pemandangan alam dan human interest seperti para petani yang menggarap sawah di pagi hari.
Belum lagi masalah biaya hidup. Jangan heran kalau uang 5 ribu masih bisa bikin perut kenyang seharian di kampung halaman. Lhaaa harga lotek saja kisarannya 3-5 ribu. Nasi uduk yang seabrek-abrek kadang cuma dihargai 2 atau 3 ribu. Seikat bayam atau kangkung saja bahkan harganya hanya seribu yang saya bilang benar-benar nggak ada ´aji´-nya atau harganya.
Saya sampai nggak habis pikir berapa keuntungan petaninya dari panen sayuran yang sudah ditanamnya itu ya? Yang begini pun berlaku sama pendidikan. Sekolah di desa atau kota kecil biayanya jauuuhh lebih murah dari di kota besar sekalipun itu yang paling favorit. Tentunya jangan harap fasilitasnya juga akan sama ya karena semuanya juga menyesuaikan kemampuan hidup. Seperti kata pepatah, ada harga ada rupa.
Lalu kalau di Jakarta, mau bikin nasi bakar atau kolak, daun pisang dan pandannya saya harus beli dulu di tukang sayur atau online, kalau di desa tinggal petik. Nggak punya pun ada tetangga yang dengan murah hati memberi. Di Jakarta, jangankan buat memberi, lahan buat menanam saja sudah nggak ada. Gimana mau memberi?
Di kampung halaman pula, penduduknya penuh tepa selira dan gotong royong. Yang namanya kerja bakti sudah pasti rajin dan banyak yang berpartisipasi. Berbeda dengan di kota yang mana lebih memilih patungan untuk membayar tukang kebun daripada harus repot bangun pagi untuk kerja bakti. Di desa pula, saya akan dengan gampang melihat orang-orang yang ringan tangan ketika tetangga punya hajat. Mereka akan dengan sukarela meluangkan waktu dan tenaga secara gratis berhari-hari buat ´lagan´ atau bantu-bantu tetangga yang punya acara atau saat kematian.
Masih ingat film pendek berjudul Tilik yang mempopulerkan karakter Bu Tejo? Persis seperti itu karakter orang desa ketika mendengar tetangganya sakit dan dirawat di RS. Mereka akan bahu-membahu memberi tahu tetangga lain dan jadi orang yang paling pertama menjenguk di rumah sakit walaupun harus repot-repot sewa mobil, angkot, atau malah truk. Untuk urusan solidaritas dan ringan tangan, hidup di desa memang nggak ada matinya.
Namun, nggak semuanya lantas enak-enaknya saja. Hidup di desa juga banyak dukanya.
Okelah harga barang-barang dan makanan lumayan murah di desa tetapi sedihnya juga UMR atau upah harian pekerja lepas di sana juga sangat rendah. Nggak heran kalau penjual menyesuaikan sekali harga (dan juga kualitas barang jualannya) dengan pendapatan masyarakat.
Lha ini kalau urusan makanan yang masih bisa di-nego. Kalau harga barang lain biasanya kan tetap saja sama dengan kota sebagai contoh kuota. Kalau pecel di kota seporsi bisa Rp 20.000 dan di desa hanya Rp 5.000, nggak berlaku dengan kuota. Kuota 4GB di desa atau di kota tetap sama harganya Rp50.000. Ini baru kuota, belum barang atau kebutuhan lain yang harganya memang harus sama antara di kota dan desa.
Buat urusan solidaritas, di desa memang nggak ada matinya. Tapi buat urusan privasi bagaimana? Ya nanti dulu.
Kesadaran akan privasi ya masih rendah. Sebagai contoh orang yang sakit atau baru melahirkan dan pengen punya ruang buat istirahat dulu sehingga belum mau untuk dijenguk bisa jadi dicap sombong atau aneh (meskipun nggak semuanya akan digituin). Padahal sah-sah saja sih jika orang sakit atau habis melahirkan memilih untuk nggak mau dijenguk dan istirahat dulu.
Untungnya karena pandemi (orang Indonesia selalu ada untung di balik buntung ya), kebiasaan ini sekarang udah mulai berkurang drastis. Sejak pandemi, setiap mau besuk seseorang harus konfirmasi sakit apa. Pun RS di sana sangat ketat atau bahkan melarang kalau ada pembesuk yang mau menjenguk di RS.
Ketidakenakan yang lain yang jelas-jelas terpampang nyata adalah fasilitas yang belum lengkap, sangat jomplang dengan kota besar kayak Jakarta. Di desa tempat suami saya tinggal aja, sinyal berbagai provider susah. Nggak heran kalau PJJ nggak jalan di sana. Setiap saya mau upload atau buka apapun di hape harus lari ke tengah sawah dulu biar sinyal lancar jaya. Yang kayak gini bikin pekerja digital yang mengandalkan sinyal internet kayak saya dan suami kalang kabut.
Sebenarnya sih bisa-bisa saja pasang wifi. Untuk di rumah saya, masih okelah bisa pasang karena dekat dengan sarana umum seperti stasiun dan sudah banyak yang memasang fasilitas wifi. Kalau di tempat suami saya, bisa sih bisa tapi mungkin harus narik kabel lebih dari 1km, hiks. Ini pun hanya 1 provider internet BUMN yang bisa. Effortnya banget-banget kan?
Belum lagi urusan kesehatan. Di Jakarta saya dengan mudah menemukan DSA, dokter subspesialis/ konsultan, atau RS dengan fasilitas-fasilitas yang bagus tetapi di kampung halaman saya DSA saja bisa dihitung dengan jari dan itu ngantrinya puoooll panjangnya. Belum lagi kalau mau imunisasi nggak bisa sekarang daftar, besok tinggal datang tetapi harus dari jauh-jauh hari dan nggak semua jenis imunisasi langsung ada saat itu juga. Bahkan imunisasi tambahan pun belum tentu ada.
Beberapa hal di atas hanya segelintir suka dan duka tinggal di desa atau kota kecil. Saya yakin ada yang senasib, sependapat, atau malah nggak setuju.
Hidup di Kota, Keras tapi…
Setelah 2,5 bulan hidup di desa di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, saya kangen banget sama Jakarta. Jakarta dengan segala sumpek, macet, dan individualismenya. Iya, sebagai kota metropolitan, Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya memang mengharuskan kita untuk tahan banting banget.
Hidup selama hampir 10 tahun di kota besar kayak Jakarta mengajarkan saya satu hal yaitu setiap orang harus berusaha maksimal untuk mencapai tujuan hidupnya. Iya, Jakarta yang keras akhirnya membuat orang jadi individualis karena tiap orang punya tujuan sendiri dan fokus untuk menggapai tujuannya itu.
Selain individualis, biaya hidup di kota besar kayak Jakarta juga lumayan mahal. Oleh karena itu, UMR-nya pun lumayan tinggi jika dibandingkan dengan daerah. Makanya saya bilang kalau di kampung halaman itu saya berasa sultan karena harga-harga khususnya makanan murah banget. Tiap ketemu penjual makanan yang murah di kampung halaman, saya selalu berseloroh ¨Jualannya pindah Jakarta aja ya, ntar aku beli tiap hari¨, haha. Nggak heran, karena biaya hidup tinggi, orang pun jadi banting tulang kerja keras demi survive sehingga jatuhnya tiap orang terkesan individualis karena terlalu fokus sama masing-masing tujuannya.
Di kota besar juga apa-apa sebisa mungkin harus beli. Setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing, boro-boro akan saling memberi kalau nggak kenal-kenal amat. Daun pisang atau pandan yang di desa tinggal petik, di kota besar bisa dilabeli Rp5.000-10.000 per ikat, yang mana nilai uang segitu sangat berharga di desa.
Di kota besar pula, saking banyaknya penduduk hawanya jadi sumpek. Rumah ukurannya kecil-kecil karena lahannya mahal dan terbatas. Setiap hari orang-orang di kota besar kayak Jakarta selalu dihadapkan dengan perkara macet atau transportasi umum yang berjubel. Orang-orang kota memulai hari dengan kompetisi di jalanan yang sedikit banyak bisa menyebabkan stres. Karena masa pandemi aja sekarang semuanya jadi agak berkurang.
Tapi hidup di kota besar itu kayak love-hate relationship. Sebel sih dengan berbagai dukanya, tapi susah lepas karena banyak kesempatan yang bisa bikin kita, saya khususnya, jadi senang.
Di kota besar, lapangan pekerjaan banyak dan luas mencakup berbagai bidang. Pekerjaan nggak cuma mandeg di guru, dokter, pedagang, atau petani tetapi ada influencer, content writer, social media specialist, bussiness analyst,beta tester, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang serba digital atau yang namanya asing di telinga dan nggak bakalan (kalaupun ada kansnya sangat kecil) ada di desa.
Di kota besar pula, masyarakatnya seperti dimanjakan dengan berbagai fasilitas. Contoh kecil saja, buat saya yang nggak bisa naik motor atau mobil, nggak perlu khawatir. Ada banyak pilihan transportasi dari MRT, commuter line, ojek online, taksi, atau Transjakarta yang memungkinkan untuk bepergian jauh sendirian. Kalau di desa, nggak bisa naik motor itu nelangsa. Pilihannya adalah kemana-mana capek karena naik sepeda atau nggak usah bepergian sama sekali.
Di kota besar pula, fasilitas internet buat saya pekerja digital melimpah ruah. Banyak pilihan provider dan sinyal lancar jaya sehingga pekerja digital kayak saya dan suami saya pun bisa nyaman bekerja dari rumah.
Untuk fasilitas kesehatan, kota besar juga nggak ada matinya. Dari faskes tingkat 1 yang sederhana sampai rumah sakit dengan segala fasilitas mumpuninya, ada. Dokter pun juga begitu. Kita jadi punya pilihan mau pakai dokter yang terkenal, konsultan, yang antriannya bejibun atau bahkan yang biasa saja. Untuk masalah kesehatan, kota besar menawarkan banyak pilihan.
Akhirnya (lagi-lagi) hidup harus memilih. Kalau boleh bebas memilih sih, saya pengen hidup dengan suasana dan biaya hidup pedesaan tapi gaji dan fasilitas standar kota besar. Itu adalah pilihan yang kayaknya semua orang pengenin ya. Tapi toh nyatanya tidak bisa.
Jadi, dimana pun sekarang kita tinggal yang paling penting adalah bersyukur dengan segala keadaannya dan pandai beradaptasi. Karena saya yakin, tidak ada kehidupan yang sempurna bahkan untuk tempat tinggal sekali pun. Yang ada hanya kita yang pandai bersyukur dan beradaptasi.
Let´s enjoy our life!